"Apa jam istirahatmu masih lama? Kudengar ada kafe baru dekat klinik. Mau mencobanya bersama?"
Yvaine mendengus mendengar kekehan Julian. "Kau tidak akan menjawab rupanya. Pada akhirnya, Yvaine akan selalu menjadi Yvaine 'kan?"
Memangnya harus jadi siapa? Bukannya kau juga yang bilang 'Tidak apa' dan 'Selama denganku tidak masalah. Aku tidak akan menyalahkanmu'?
"Baiklah. As you wish, Cinderella-atau Drizella?"
Yang dimaksud menggigit bibir. Curiga Julian menyadari nama aliasnya. Alhasil ia hanya melepas sebuah tawa--yang semoga terdengar--alami.
Yvaine membuka lemari. Ditariknya pakaian lengan panjang yang tergantung rapi. Sepertinya bukan ide buruk juga.
●●●
Julian mengamati gadis di seberangnya. Dilihat dari sudut manapun, perpaduan sweater ungu yang familiar, legging hitam, dan sepatu ketsnya itu tak setema dengan interior kafe estetik ini. Seorang penggiat mode yang aktif di media sosial seperti Yvaine, harusnya memperhitungkan hal seperti itu 'kan?
She's slightly changing. Apa ada tren baru? Don't fool yourself, Ju. Sejak di rumah sakit waktu itu Yvaine memilih menggunakan pakaian yang lebih nyaman dibanding terusan-terusan bergaya. Selain itu ....
"Sepertinya belakangan Tuan Putri lebih menyukai wajah polosnya," celetuk Julian membuat Yvaine mendecih.
"Segitunya kau memerhatikanku, heh," sindir Yvaine sambil memelintir sebagian rambutnya centil, "Apa itu membuatmu terpana, Pangeran?" godanya lengkap dengan kedipan sebelah mata.
Sebelum apapun terucap dari bibir Julian, pramusaji datang mengantarkan pesanan. Gadis itu bahkan tidak merasa perlu repot-repot menanggapi barang hanya sebuah anggukan formalitas. Mulai dipotretnya meja yang ditata sedemikian rupa. Dua porsi kue dan segelas milkshake stroberi nampak cukup kontras dengan sandwich dan amerikano yang menjadi latar belakang. Apa Yv tidak takut itu dipertanyakan kalo di-post?
Gadis menakjubkan. Itu yang terlintas di pikiran si psikiater.
Julian menyunggingkan satu sudut bibir. Melempar pandangan ke luar kaca kafe.
●●●
"Kuenya enak? Kau bela-belain ke sini untuk mencobanya 'kan?" Yvaine mendengar Julian menanyainya tanpa mengubah titik pandangnya.
Piring kue pertama sudah kosong. Yvaine menggumamkan 'uhuum' singkat sembari menarik piring kedua. "Btw, kan aku yang ngajak kesini, nanti split bill aja." timpalnya to the point.
Wah, sepertinya itu agak ofensif. Sekarang lelaki yang memangkukan tangan itu memandanginya jengah. Alisnya terangkat sebelah.
"Bukannya mau menyinggungmu. Cuman, aku bis-" Sentilan pelan menggelitik dahi Yvaine. "H-hei! K-k-kenapa‒Aah, aku melakukannya lagi, ya?"
"Hm."
"Uhm ... T-T-THANKS!?" Yvaine berkata canggung. "Errgh. Mau cicip?" tawarnya kilat, mengarahkan kue yang ditusuk dengan garpu ke depan wajah Julian.
Yvaine memutar bola mata. Aku sudah mengatakannya tapi tidak ada reaksi? What a stoic prince he is!
Kata itu. Tawaran malu-malu itu. Seandainya Yvaine tahu alasan Julian tiba-tiba kembali melahap habis sisa sandwich-nya yang sudah dingin, maka ia pasti mengerti mengapa Julian menolak asal dengan, "I'm good, Lady. Ngomong-ngomong namamu memang cuma Yvaine? Satu kata?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Borderline
RomanceNicole Artemisia Thompson didiagnosis menderita kelainan mental. Katalisnya Ethan Huang, psikiater yang menariknya ke Klinik Kesehatan Jiwa Nirvana malam itu. Bukannya berhasil membuat Ethan menyerah, si model belia malah terjerumus dalam labirin ke...