Ada banyak sekali ‘kebetulan’. Ethan bisa memaparkannya satu per satu—misalnya ketika ia mendapat ide membelikan Olivia album musik Ed Sheeran usai mendengar lagunya diputar di supermarket atau kebetulan Julian terluka saat berlatih basket dan kebetulan ialah anggota PMR sekolah yang bertugas. Namun, yang paling sejati di benaknya saat ini adalah hari pertemuannya dengan Nicole Artemisia Thompson dan Arik di Hotel Batavia.
Idealnya Ethan akan menikmati makan malam mewah bersama Pak Aldo, bersukacita mendengar bagaimana terapi yang dijalankan menjadi titik balik dari keterpurukan. Bukannya malah mengkhawatirkan ‘escort’-nya Arik yang kebetulan suami tantenya. Menggaetnya ke mobil menuju klinik karena kebetulan (lagi) kelupaan menitipkan kunci pada Julian. Hei, apa mendengarkan Sandra curhat soal Nicole juga terhitung kebetulan?
Pokoknya, jumlahnya sudah keterlaluan.
Tapi hidup memang begitu ‘kan? Hal-hal yang paling kita butuhkan datang dari kejadian-kejadian paling tak terduga yang sama sekali tidak diwacanakan. Seperti sekarang, Ethan mendesah pelan ketika menutup laci meja. Dihempasnya punggung ke sandaran bangku.
Aku jemput di sekolah. Biar aku yang antar pulang.
Perkataan spontan yang diucapkannya pada Nicole kembali terngiang. Waktu itu Nicole bilang Arik memintanya menemani ke festival semester baru di sekolah Aiko sebagai perwakilan Elina. Tantenya kebet—Lupakan. Apa Tuhan sengaja memaksa--coret--memberi kesempatan untukku?
Ethan masih menimbang apakah ini memang waktu yang tepat ketika pengingat waktu ponselnya berdering. Ia menekan perintah panggil kemudian loudspeaker. Padahal mungkin bukan apa-apa, mengapa detak jantungnya menggila?
Nada tunggu terdengar menyebalkan.
“Aku masih di auditorium. Will be … Let me see, 30 minutes? Kurang lebih. I’ll be out late if it’s okay with you.” Suara Nicole dilatarbelakangi musik bernada dramatis dan obrolan-obrolan kecil. “Et? Kau marah? Aku bisa pamit sekarang.”
“Take your time. Aku nggak marah, kok. ‘Kan demi Ai juga,” jawab Ethan, “Kalian lanjut aja sampai selesai. Have fun!”
Ia tidak begitu menyimak perkataan Nicole setelahnya. Yang pasti, foto Aiko memerankan ibu peri muncul di benda gepeng di meja. Ethan terpejam melipat tangan di depan wajah walaupun jemarinya sedang tidak bisa disilangkan. Samar aroma kapur barus bekas laci menempel di sana.
Aku hanya ingin bahagia, Tuhan. Menantikan hari esok yang bukan sebuah titian emas yang sudah dipatok. Menentukan bahagiaku tanpa syarat. Tanpa rasa bersalah. Tanpa perintah.
Ethan telah menunggu untuk menyelesaikan apa yang selalu dihindarinya selama ini.
Dan ia yakin, Nicole juga sedang menunggunya.
●●●
Berjam-jam sebelum Ethan menelepon, Nicole sempat menghabiskan waktu berdua saja dengan Arik. Mobil Arik yang menunggunya di parkiran minimarket melewati gedung-gedung yang seakan bergerak mundur.
“Ar, nanti aku pulangnya sama Et,” kata Nicole membuka obrolan.
Arik hanya membuat simbol oke dengan tiga jari. Papa Aiko cenderung lebih pendiam dibanding biasanya dan Nicole tahu alasannya. Selain karena si tante berada di luar kota, salah satu alasan Ethan membiarkannya menemui Arik adalah karena ia berpikir itu ide bagus untuk menetralkan suasana di depan Aiko setelah ….
“Ethan sudah memberitahu soal kami ‘kan?” Speaking of the devil.
Mau tidak mau Nicole mengganggukkan kepala. “Kudengar kalian sudah mendiskusikan detailnya sebelum kau mengajukan gugatan. Apa kau yakin ini memang jalan yang terbaik, Ar?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Borderline
Storie d'amoreNicole Artemisia Thompson didiagnosis menderita kelainan mental. Katalisnya Ethan Huang, psikiater yang menariknya ke Klinik Kesehatan Jiwa Nirvana malam itu. Bukannya berhasil membuat Ethan menyerah, si model belia malah terjerumus dalam labirin ke...