Aku bermimpi.
Mimpi singkat nan membekas. Berulang seperti kaset rusak. Apa maksudnya?
Entah sejak kapan Nicole berada di ruangan ini hingga penglihatannya sudah beradaptasi terhadap kegelapan yang mengelilinginya. Lagi-lagi pemandangan yang sama. Tak ada satu objek pun di sana, kecuali …
Laki-laki yang duduk manis di seberangnya. Sepertinya sosok itu sedang melihat ke arahnya. Siapa?
“Dad?” Nihil. Tidak ada jawaban.
Nicole menyeret kakinya mendekat. Anehnya, tidak peduli berapa kali mimpi ini terulang, Nicole tidak pernah berhasil merekam bagian kepala. Seakan-akan ada yang memburamkan dan memaksa lupa ketika terbangun. Mimpi dengan sosok tak berwajah. Apakah itu masuk akal?
Jangan takut.
Ia selalu mengutarakan kalimat yang sama setiap Nicole menyejajarkan tinggi badan mereka.
Nicole masih meraba-raba situasi ketika tiba-tiba tubuhnya ditenggelamkan dalam sebuah dekapan.
“Ceritalah,” bisiknya.
Lelaki misterius itu menarik bagian belakang kepala Nicole ke dadanya dengan kelembutan yang membuat Nicole melupakan sandiwara baik-baik saja-nya. Why?
Aku ingin menumpahkan semuanya padanya. Peran protagonis yang harus selalu bangkit dari keterpurukannya--hei, maukah mendengarkan ceritaku?
Bolehkah? Lagipula, ini juga cuma mimpi ‘kan?
Nicole tidak begitu ingat apa saja yang ia katakan pada pemuda itu. Yang jelas, pasti sepaket keluh kesah yang dikuburnya di sudut tergelap sanubari.
Semuanya terasa terlalu menyakitkan, kau tau?
Sembari mengelanyuti kemeja katun di bahu bidang itu, Nicole menangis dan terus menangis. Lama sekali. Lelaki itu tidak mengatakan apapun.
“Peluk aku.”
Dia melakukannya. Benar-benar meremas tubuh ringkih Nicole lamat-lamat.
Lagi.
Lebih erat lagi.
Siapapun dirimu … Kumohon … Sembunyikan aku dari dunia suram ini.
Ruangan gelap. Pintu yang tiba-tiba menjadi satu-satunya sumber penerangan. Kemudian, siluet perempuan di muka pintu.
Si lelaki melonggarkan lingkarnya. Nicole menoleh. Sunyi menguasai ruangan. Kenapa mereka berdua diam saja?
“Kami tidak melakukan apa-apa!” serunya.
Kenapa malah mengatakan itu? Memangnya dia akan mengira kami melakukan apa!?
Bukannya menjernihkan permasalahan, sosok yang sejak tadi bersamanya bergeming. Persis episode-episode sebelumnya. Lagi-lagi begini.
Padahal tadi dia menghibur Nicole. Sekarang malah memegangi siku. Sama sekali lepas tangan. What’s wrong with him? Sebenarnya dia dan sosok siluet itu siapa? Then, this one dream, why can’t I get over it?
“Ini tidak seperti yang kau lihat!”
Barangkali delusi, namun Nicole mendapati lengkungan tipis di wajah si wanita siluet. Satu-satunya yang Nicole ingat sebelum wanita itu membalikkan badan.
“HEI, TUNGGU!” teriaknya putus asa ketika suara tapak kaki terdengar menjauh, “Dengarkan aku dulu! Tolong … Jangan pergi mengatakan hal-hal salah lagi tentangku. Aku-”
KAMU SEDANG MEMBACA
Borderline
RomanceNicole Artemisia Thompson didiagnosis menderita kelainan mental. Katalisnya Ethan Huang, psikiater yang menariknya ke Klinik Kesehatan Jiwa Nirvana malam itu. Bukannya berhasil membuat Ethan menyerah, si model belia malah terjerumus dalam labirin ke...