Prolog

591 49 29
                                    

Cast utama di cerita ini:

(Han Yujin Zb1 sebagai Maddrian Dewangga)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Han Yujin Zb1 sebagai Maddrian Dewangga)

(Han Yujin Zb1 sebagai Maddrian Dewangga)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Hanni Newjeans sebagai Hanni Wulansari)

Anw, aku bikin cerita ini dari hati banget dan dibuat khusus mengikuti writing challenge marathon dari penerbit Book Office, tema Crush. So, aku harap kamu juga nggak pelit buat ngasih vote dan komentarnya!

Gitu aja. Happy reading, ya!

***

"Hanni, aku mohon... jangan menangis," katamu, pelan.

Aku tidak cukup mengerti apa yang salah dari kisah kita. Bahkan untuk memercayaimu—yang ingin menimba ilmu di Al-Azhar, Kairo—tidak masuk ke dalam logikaku. Mungkin, bisa jadi karena hafalan kitab Al-Qur'anmu yang telah mencapai 12 juz memberikanmu tiket emas itu. Namun, tetap saja, bagiku kamu terlalu anarkis terhadap hubungan kita. Madd, sungguh, aku menangis bukan karena kita akan pergi jauh, tapi karena kamu yang tiba-tiba mengatakan ini sehari sebelum kamu menyusuri langit.

Kita bahkan malamnya baru berbincang di taman kota, mengenai rencana-rencana kita yang bakal satu kampus, sejurusan. Kita memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, seperti kamu akan menjadi aktivis kampus yang tampil di balik mimbar atau bahkan tampil di televisi. Menjadi idola senior, sedangkan aku hanya akan sibuk pada tugas-tugas dari dosen—sama sekali tidak akan bergabung dengan organisasi apa pun karena sifatku yang pemalu.

"Kamu... jahat, Madd."

Napas gusarmu yang terdengar berat itu membuat dadaku semakin terbakar. "Hanni, listen. Kita nggak akan melakukan tindakan bodoh, 'kan? Apa yang perlu kamu khawatirkan?"

Cowok. Pemikiran statis. Sempurna.

"Hanni? Kamu masih mendengarku 'kan, Sayang?"

"Iya," jawabku lirih. "Oke kalau begitu, Madd. Sepertinya lebih baik kita putus."

Aku mendengar decakanmu merambat. Hening lagi beberapa saat, sampai kamu berkata, "Kita udah melalui kesakitan ini bersama-sama sejak tiga tahun yang lalu, Hanni. Dan kamu—"

"Lagipula Bunda tidak pernah menyetujui hubungan kita, Madd."

Aku salah, baru kali ini aku mengungkapkan rahasia itu.

"Kita bahkan juga sudah bersatu. Apa sedangkal itu pemikiranmu?"

Aku kembali menangis. Hatiku sesak sekali. Kamu tidak salah, Madd. Mungkin yang harus disalahkan adalah perasaanku, yang tidak bisa menahan keinginan untuk mencintaimu—keturunan bumi Minangkabau, kuat agamanya, bahkan selalu diajarkan mantra-mantra hadist oleh kedua orangtuamu. Sementara aku terlahir tanpa memiliki orangtua yang jelas, sampai tiba-tiba aku berada di panti asuhan sampai sekarang. Perbandingan ini terlalu mencolok, benar-benar masuk akal jika kita berakhir.

Bundamu pernah berkata gamblang padaku agar secepat mungkin berhenti mencintaimu, karena sampai selamanya dia tidak akan pernah menyetujui kita.

"Jadi, kalau aku membatalkan seluruh rencana mereka, kita nggak akan putus?"

"Jangan gila, Madd."

"Pilih, Hanni. Kamu mau apa? Kalau aku jelas, nggak ingin kita berakhir menjadi pecundang seperti ini."

Aku tidak menyangka jika pada akhirnya, kamu pun mengekspresikan rasa sedih dengan cara menangis. Wajahmu yang bersih, hidungmu yang mancung ternyata bisa basah juga oleh air mata. Tarikan ingusmu terdengar jelas. Sesulit itukan bagimu memutuskan kita?

Pertanyaannya, kenapa?

Padahal, banyak sekali ribuan bahkan jutaan perempuan muslimah di luar sana yang worth it untuk kamu cintai.

"Please..." ucapmu, memohon. "Jangan putus. Jangan bikin aku makin stress, Hanni. Aku janji, setelah selesai dari sana aku akan melamarmu. Kita akan menikah, lalu mempunyai empat anak—seperti keinginan yang pernah kamu cetus padaku. Masalah Bunda bukanlah hal terpenting yang harus kita pikirkan. Kita cuma harus menjalani ini sekali lagi, Hanni. Aku dan kamu. Atlet marathon sekolah dan anggota klub jurnalistik. Fiksi dan non-fiksi."

Aku menggeleng. "Nggak. Kamu terlalu berkhayal. Kamu nggak realistis. Kita cukup sampai malam ini, Madd. Aku akan menghapus semua kenangan tentang kita mulai saat mataku terpejam nanti. Jangan marah, Madd. Aku bahkan sudah merencanakan ini jauh-jauh hari." Aku menyentuh dadaku, mengusapnya berkali-kali. Aku yakin, kamu tidak akan melakukan tindakan bodoh. Aku tahu, alasan kamu mendadak mengabarkan ini hanya karena kamu tidak ingin melihatku hancur seperti ini. Jadi, sampai kapan kamu akan menjaga perasaanku sementara kamu tidak memikirkan bagaimana nasibmu ke depan?

"Hanni, kamu sukses membuatku kecewa."

"Aku memang jahat, Madd." Aku tersenyum kecut. Sekarang posisi benar-benar terbalik. Aku yang jadi penjahat di hubungan kita. "Makanya, carilah perempuan lain yang tidak akan jahat—"

Tut.

Sambungan telepon kamu putuskan. Di saat yang sama aku kembali membasahi bantalku dengan air mata yang terus mengalir.

Ini sudah selesai.

Kamu membenciku, pasti akan mudah untuk kamu melupakanku.

Aku telah mengambil jalan yang tepat bukan, Maddrian Dewangga? []

How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang