Bab 12 - Konsekuensi

74 19 0
                                    

Ini konflik utamanya udah masuk, tapi jangan sangka semuanya semudah itu wkwk

Dahlah, pokoknya aku ingin kalian masih bisa mencintai Madd dan Hanni sampai ending.

Sekian terima kasih!

Sekian terima kasih!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

"Madd, aku mau ngomong sesuatu," ucapku, memecah keheningan yang pekat saat kamu mengantarku ke rumah. Aku belum pernah kepikiran untuk mengatakan ini. Karena selain masa-masa perkuliahan telah dimulai, kamu juga sedang sibuk menyiapkan diri menjadi bagian Himpunan Mahasiswa Keagamaan. Aku selalu melihat kamu bolak-balik dari kelas, melewati koridor, melompat ke paving blok yang terbakar cahaya matahari sambil menutup kepalamu dengan map yang isinya berkas-berkas, kemudian pergi ke ruang sekretariat BEM—ingin menjadi bagian darinya juga.

Kamu selalu ambis. Bukan karena kamu ingin dikenal, tapi memang kamu menyanggupi semua kegiatan itu. Aku memahamimu betul bagaimana watakmu yang sekalinya kamu ingin maka siapapun tidak bisa melarang, sama sepertimu yang menginginkan kita untuk terus bersama.

"Aku lapar, sekalian mampir ke warungnya Kang Mamang, yuk?"

Kang Mamang itu penjual ketoprak paling enak yang berhasil kamu temukan di antara jejeran gedung pencakar langit, dekat dengan pemukiman penduduk. Aku ingat kamu mengajakku untuk kali pertama ke sana dengan menggebu-gebu, seakan menemukan titik harta karun yang selama ini kamu cari.

Aku mengangguk dan kamu tersenyum, membuatku juga refleks tersenyum—walaupun isi kepalaku ingin meledak sekarang juga. Kamu itu jarang tersenyum, tapi sekalinya senyum kamu sangat lucu. Mirip bayi, membuatku selalu ingin mencubit pipimu yang bersih—yang katamu nggak semua perokok itu wajahnya kusam. Makanya, shalat, karena dengan shalat wajah kita bisa berseri-seri.

"Kang Mamang!" serumu saat berdiri di samping penjual itu.

"Oi, Madd, tumben ke sini?" balas Kang Mamang sambil tertawa.

"Saya lagi kangen Kang Mamang soalnya." Kamu tertawa kemudian mengelus bahu Kang Mamang. "Kayak biasa, dua piring yang satunya nggak pedes. Terus yang pedes telornya double, ya, Kang! Teh esnya dua, dan yang nggak pedes tahunya double juga! Wokeh, Kang?!"

"Wokeh, tunggu sae yo, Madd!" Kang Mamang melihatku sambil tersenyum. Sementara aku masih meremas jemari karena memang warung itu sedang ramai.  Aku tidak cukup yakin ada tempat yang kosong, tapi saat kamu menarik tanganku ke dalam, aku bisa merasakan efek kehadiranmu mampu membuat orang yang selesai makan sadar bahwa mereka harus segera pergi karena pembeli lain yang baru datang alias kita butuh tempat duduk.

Dua perempuan itu salah tingkah saat menatapmu, aku yakin mereka mengenalmu sebagai bagian dari klub atletik SMA Tirtayasa atau sebagai Mahasiswa Baru ITB yang Memiliki Wajah Seperti Idol Korea.

"Silakan duduk, Tuan Putri," bisikmu, membuatku ingin segera mencubit pinggangmu.

Kamu tertawa kecil sebelum duduk juga di hadapanku. "Gimana kuliahnya?"

"Kamu tau sendiri kita sekelas, Madd!" ujarku geram dan kamu kembali tertawa. "Tapi sejauh ini cukup bikin pusing sih."

"Ya gitulah dunia perkuliahan. Awal aja udah bikin pusing, belum empat semester ke depan. Bahkan Bang Langit sampe sekarang pas aku ajak ketemu selalu nggak bisa."

"Itulah proses pendewasaan, Madd."

Setelahnya pesanan kita datang, diantar oleh rekan Kang Mamang. Kamu mengucapkan terima kasih sebelum buru-buru kamu mengambil sendok dan garpu. Kamu kalau sudah kelaparan tidak akan kenal dengan namanya sabar.

Aku menatapmu yang sedang melahap makanan dengan khidmat. Bagaimana tanganmu mengambil kerupuk, memotong lontong, menyicip kuah kacang yang kental. Seakan membuatku terpikirkan apakah di masa tua kelak aku masih bisa melihat sosok seperti ini juga?

"Hanni?" Kamu sadar bahwa aku hanya menontonmu. "Kenapa nggak dimakan? Jangan bilang kamu baru terkesima karena wajahku makin ganteng dari hari ke hari?"

Aku mencibir, lalu berusaha menghabiskan ketoprak dengan potongan tahu yang banyak. Kamu selalu ingat makanan kesukaanku.

Saking ramainya warung itu, aku jadi urung mengatakan hal yang ingin aku katakan. Jadi, setelah kita kembali ke dalam mobil, dan kamu bisa menahan diri untuk tidak merokok karena ada aku yang akan memarahimu, rasanya ingin sekali aku mengatakannya padamu. Namun, aku takut jika kamu menolak dengan esensi yang keluar dari mulutku.

"Kamu mau merokok?" tanyaku saat kamu gelisah dengan mengetuk jemari ke stir.

Kamu menoleh. "Emang boleh?"

Aku mencubit pipimu. "Dulu kamu berhasil nggak merokok selama dua bulan loh." Itu adalah saat-saat kita bersama, aku menjadi pendukungmu setelah kamu dinobatkan sebagai pelari terburuk di sekolah. Kamu berhasil bebas dari pola hidup yang rusak selama itu. "Tapi kalau emang kamu udah nggak kuat, ya udah rokok aja."

Kamu tetap menggeleng sebelum sadar kamu punya permen di saku kemejamu. "Hanni, makanya, jangan lari-lari lagi. Aku yakin kalau kamu selalu ada bersamaku, ingatin aku untuk melakukan hal-hal baik, aku nggak akan melakukan hal buruk lagi." Kamu tersenyum padaku. "You are my doctor, my breathe, my soul, my—"

"Madd," tekanku, menyadarkanmu yang berlebihan. "Jangan mulai."

Kamu tertawa sebelum teringat akan sesuatu. "Oh ya, kamu tadi mau ngomong sesuatu, 'kan? Let me see."

Aku mencengkeram tali ransel yang ada di pahaku. Aku merasa tidak cukup keberanian untuk mengatakannya.

"Hanni?" Kamu menatapku dengan alis yang naik sebelah. 

"Madd, aku hamil." Aku mengatakannya dengan sangat cepat, tapi aku bisa melihat raut wajahmu seketika berubah keruh. "Aku hamil anak kamu, Madd."

Kamu mengusap wajah. Rahangmu bertambah tegas karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, belum lagi kita juga tidak direstui oleh Bunda dan Ayahmu.

Kamu menepikan mobil lalu mematikannya saat memasuki komplek perumahan tempat tinggalku. Kita saling diam, tak sanggup berkata-kata. Sebab, segalanya telah terjadi.

"Surat An-naziaat ayat 37 sampai 41." Kamu seketika melantunkan ayat itu dengan irama yang begitu merdu, menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, membuatku ingin menangis saat itu juga. "Kalau sudah seperti ini, apakah kita masih bisa mendapat surga-Nya, Hanni?"

Air mataku mengalir deras ke pipi sambil menggeleng lirih. Tidak, Madd. Tidak akan luruh dosa orang yang telah bermaksiat.

"Itu juga jadi alasan kenapa aku telah berhasil membentak Bunda, karena aku butuh restu. Aku butuh restu untuk segera menikahimu, Hanni. Aku nggak lupa apa yang telah aku lakukan padamu di kelab malam itu." Kamu memindaiku sampai tatapanmu jatuh ke perutku. Untuk sekian kalinya kamu menangis. "Hanni, apa yang harus kita lakukan ketika Allah saja sudah menghukum kita seperti ini?"

Untuk ukuran seseorang yang telah hafal 12 juz serta mantra-mantra hadist di luar kepalanya saja kebingungan dengan pertanyaan itu, apalagi aku, Madd?

Perihal keagamaan masih jauh dari duniaku.

Bukankah jika seandainya kamu menuruti keinginan Bunda untuk melanjutkan pendidikan ke Kairo, segalanya akan baik-baik saja? Biarlah aku di sini seorang diri, mengurus hukuman yang telah Allah berikan padaku, tanpa melibatkan seorang ahli agama sepertimu.

"Hanni," ucapmu lembut. "Allah itu Maha Pemurah. Dia nggak akan menguji manusia dari batas kesanggupan." Kamu menyeka air mataku. "Aku janji, aku akan menghalalkanmu secepat mungkin." []

How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang