Bab 10 - Sebuket Bunga Edelweis

78 23 2
                                    

Part ini lumayan bikin dadaku sesak wkwk

So, siapkan hatimu juga!

Sekian terima kasih!

Sekian terima kasih!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

Aku berhasil menangkapmu di antara orang yang berlalu lalang di trotoar. Aku butuh penjelasan, Hanni. Kamu melihatku seperti sedang bertemu dengan rentenir. Aku seakan menjadi orang yang paling kamu takuti. Aku mengejarmu, tapi kamu malah terbirit-birit menjauh. What happened?

Maaf, aku akan semakin menguatkan genggamanku di pergelangan tanganmu. "Tell me," ucapku parau. "Tell me something."

Kamu berusaha melepaskan tanganmu. "Madd, please... banyak orang yang motret kita," tekan kamu sembari menatap sekeliling.

"Makanya, ucapkan sesuatu yang jelas. Kenapa kamu ngejauh dari aku? Aku udah rela-rela nggak ke Kairo demi kamu, tapi—"

PLAK!

Barusan kamu menampar wajahku, Hanni. Aku terkesima. Tamparanmu lumayan kencang dan cukup melukai kewarasanku.

"Kamu yang bodoh. Aku nggak pernah minta kamu stay di sini! Sekarang kenapa malah nyalahin aku? Dan ingat, ini pilihanku untuk menjauh atau nggak dari kamu!"

"Alasannya apa?" Aku benar-benar memindai tubuhmu. "Kita nggak ada masalah sebelumnya, Hanni."

"Masalahnya karena kamu! THAT'S YOU! Kamu terlalu kekanakan, menganggap cinta lebih penting dari segalanya! Kamu rela menyakiti hati Bundamu karena aku! Sekarang gimana? Udah ngerasa hebat? Dengan kamu yang jadi korban bully orang-orang itu membuktikan bahwa kesalahan semua ini ada di kamu! Jadi, jangan nyalahin orang lain dalam tindakan kamu sendiri!"

Aku sungguh terkesima. Kamu menyalahkanku sepenuhnya. Tidak ada ucapan lembut yang biasa aku dengar dari bibirmu. Sepertinya kamu sudah membuangku dari setiap kenangan yang pernah kita jalin. Aku tertawa kecut. Bisa-bisanya cuma aku pihak yang merasa kehilangan, sementara kamu tidak. Kenangan sialan. Kenangan brengsek. Kenangan my ass.

Kepalan tanganku menguat ketika aku menemukan keseriusan dari amarahmu. Tidak ada penyesalan dari garis-garis di wajahmu setelah mengatakan demikian, menghancurkan hatiku yang beku kedinginan karena kamu tinggalkan.

Hanni, kamu benar-benar menganggap semuanya telah berakhir?

Aku tidak cukup memiliki energi untuk membalas kata-katamu, tapi aku mampu untuk mengukir senyum—yang katamu mirip bayi, oppa Korea, boy crush school, you name it. Aku berusaha untuk tidak marah karena aku memang tidak bisa melakukannya padamu.

"Thanks, Hanni. Semuanya berkesan. Kamu membuat semuanya jadi lebih jelas."

Kamu berbalik, sepenuhnya pergi. Aku hanya bisa bermurung durja, menatap punggungmu sambil membawa handbag di satu tanganmu. Tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Tanpa memiliki rasa penyesalan.

Hanni, you broke me first.

***

Pokable selalu ada. Walaupun mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, ketika aku ingin berkumpul, semuanya sigap memenuhi. Aktivitas kami berbeda, seperti melewati masa orientasi di kampus berbeda, merintis usaha sedari dini—ya, siapa sangka Geri sudah punya usaha nasi uduk? Dia tidak ingin kuliah karena baginya kuliah itu membuang energi, yang pada ujungnya kita sendiri yang harus mencari pekerjaan. Terus ada juga yang sibuk sama band sendiri. Terkadang aku iri dengan Hazel yang selalu bebas. Musik bagi orangtuanya tidak haram. Virza akhir-akhir ini sibuk mepetin cewek Bali yang dia temui di lapangan basket. Hanya Anton yang tidak cerita apa-apa. Yap, aku dengan cowok itu tidak memiliki kemistri. Mungkin efek perkelahian dulu masih membekas. Sementara aku stagnan dengan rasa patah hati.

Kami berkumpul di sebuah tempat karaoke private yang ada di salah satu hotel. Malam minggu. Ini adalah kali kedua kami ke sini. Tidak ada yang berbeda dari kali terakhir aku kunjungi—ruangan yang bersih, wangi lemon, pemandangan gedung pencakar langit jika ordeng digeser, lalu berbagai macam tumbuhan palsu yang ada di setiap sudut. Musik keras dari Nirvana dan gelak tawa yang meluncur dari mereka tidak cukup membuatku terdistraksi.

Pemandanganku hampa. Aku hanya bisa sesekali menjawab beberapa pertanyaan sebelum kembali larut dalam tembakau dan zat lainnya yang terbakar. Berulangkali aku menghisap asap sebelum mengeluarkannya perlahan. Rokok adalah penenang, aku setuju dengan pernyataan itu.

"Buset! Lo ketemu sama Danielle juga?" Virza menyikut lenganku. Ponsel berada di genggamannya.

Aku mengangguk.

"Di waktu yang sama lo ketemu Hanni?"

"Ya, di tempat yang sama."

Mereka menertawakanku.

"Si goblok!"

"Pantesan, anying!"

"Otak lo di mana sih?!"

Hazel menepuk pipiku. "Woi, sadar! Lo yang bikin Hanni sakit hati duluan! Itu kenapa dia marah sama lo!"

Aku menatap mereka semua. "Maksud kalian apaan, njing?"

"Lo kagak peka, nyet!" Virza memperlihatkan ponselnya yang ternyata sebuah snapgram Danielle yang menunjukan sebuah tangan di atas meja. Tanganku itu. "Lo punya tendensi balikan sama Danielle dan itu yang ada di pikiran Hanni! Lo tau sendiri kalau cewek gampang banget menyimpulkan sesuatu."

"Dia tau kalau gue nggak pernah suka sama mantan-mantan gue."

"Ya tapi dia cemburu! Bayangin aja, setelah beberapa hari nggak saling ngasih kabar, terus tiba-tiba dia ngelihat lo lagi sama cewek lain! Dia cewek, bro! Makhluk perasa! Ya wajar kalau dia marah sama elo!"

Aku menegapkan punggung, mengacak rambut frustasi. "Jadi gue harus gimana?"

"Samperin dia, terus ajak dia bobo!" seru Geri asal, membuat kepalanya jadi korban pukulan seketika.

"Ya bener, samperin dia, jelasin kalau lo nggak punya hubungan apa-apa sama Danielle. Barulah keluarin jurus andalan lo, yang selalu berhasil bikin dia senyum-senyum sendiri!"

Itulah yang benar-benar aku lakukan. Aku menemui Hanni di rumah barunya. Dengan berbagai rayuan akhirnya Bu Fatimah memberikan di mana alamat rumah orangtua angkat Hanni. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku.

"Paket!" seruku, menyamar jadi tukang paket. Hanni tentu tidak akan menyangka ketika dia membuka pintu ternyata ada aku berdiri dengan memegang sebuket bunga edelweis—kesukaannya.

Aku tidak membiarkan dia kabur sebab aku langsung membawanya ke dekapanku. "Aku ketemu Danielle cuma kebetulan. Aku nggak pacaran sama dia. Aku cuma sayang sama kamu, Hanni."

Di dekapanku, Hanni menangis. Dia mengeratkan cengkeramannya pada pinggangku dengan sangat kuat.

"Maaf," katanya pelan. "Maafin aku." []

How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang