Part ini udah bebas?
HOHO belum tentu wkwk
Intinya, happy reading!
*
Ini adalah kali terakhir aku kuliah karena mulai besok aku harus ke Sumatra Barat. Ayah menyuruhku ke sana terlebih dahulu sebelum berangkat ke Aceh.
Dengan air mata yang membasahi pipi keluargaku, mereka sama sekali tidak bermaksud untuk membuatku hancur. Kesalahanku yang satu itu memang harus ditanggung dengan konsekuensi cambuk di dalam ajaran Islam. Aku harus kuat. Aku akan terus memaksa diriku agar selalu terlihat kuat.
Sejak dosen bergantian masuk ke dalam kelas, Hanni terlihat diam saja. Biasanya dia akan aktif bertanya kemudian menampakkan detail-oriented yang dia miliki terhadap pemahamannya sendiri—yang selalu membuat mahasiswa lain terkagum dengannya. Namun, hari ini berbeda. Bukan hanya pakaiannya yang telah tertutup membuat dia menjadi bahan pembicaraan, melainkan dengan karakternya yang semakin misterius.
Setelah pelajaran usai, aku segera menemuinya saat semua mahasiswa telah bubar. Aku mengejarnya di koridor, lalu memegang tangannya agar dapat aku sentuh. Dia berhenti setelah sadar aku menahannya.
"Maaf," kataku sambil melepaskan tangannya. Aku tahu, saat ini yang kami butuhkan adalah sama-sama menjaga diri, membunuh semua perasaan cinta dan melakukan semua hal yang dilarang Allah, termasuk untuk saling bersentuhan. "Kamu beneran mau ke Aceh? Kamu beneran setuju dengan ide itu?"
Hanni memutar matanya jengah lalu kembali melangkah. Aku tetap mengejarnya.
"Hanni, kita bisa untuk nggak melakukannya," ucapku pelan dan mampu membuat Hanni berhenti lalu menatapku lagi. "Kita lari saja, Hanni. Kita bisa pergi ke tempat yang bisa menerima kita."
Pemikiran itu sudah tercetus di kepalaku jauh-jauh hari. Aku benar-benar tidak ingin Hanni dicambuk karena perbuatan yang telah kami lakukan itu atas dasar keinginanku. Hanni hanya menjadi korban. Kemudian tentang janin yang ada di perutnya, tidak akan mungkin dia ingin membiarkan Bundanya merasakan sakit sekeji itu. Jadi, untuk keinginan kabur dari segala macam aturan sialan ini sudah menjadi ideku sejak lama.
"Aku hanya punya dua pilihan untuk konsekuensi ini, Hanni. Kita lari saja atau aku yang dicambuk sebanyak 200 kali. Aku yang menggantikan semua hukuman kamu karena aku sadar kamu hanyalah korban. Aku nggak bisa menerima kalau kamu dicambuk juga, Hanni." Aku membasahi bibir. "Aku akan berusaha untuk—"
"Madd, berhenti untuk mengatakan hal yang sia-sia." Hanni membalasku. "Kamu harusnya sadar, semua ini adalah konsekuensi kita. Malam itu bukan cuma kamu yang melakukan kesalahan, tapi aku juga, Madd."
"Bagaimana jika kamu nggak diasuh oleh orangtua angkat seperti mereka? Pasti tadi kamu sudah aktif di kelas, tertawa dengan teman-teman karena memang kamu nggak akan dihukum. Ini terlalu brutal, Hanni. Lihatlah orang-orang beragama Islam yang ketahuan juga, tapi mereka nggak mendapatkan hukuman itu. Kenapa? Karena ini perihal kemanusiaan."
"Berhenti untuk mengkhawatirkanku, Madd." Hanni tersenyum. "Aku nggak masalah, seandainya—"
"Aku mencintaimu, Hanni. Aku peduli karena aku nggak ingin melihat kamu terluka, terlebih kamu sedang mengandung anakku." Aku berkata pelan. "Please? Kita bisa membantah aturan ini karena memang kita bukan warga Aceh, lantas menurutmu kita berhak untuk menjalankannya? Orangtua angkatmu tidak punya hak atas dirimu. Lagipula, kita consent."
Hanni tertawa pelan. "Apakah kamu sudah paham definisi consent itu apa, Madd?" Aku kaget ketika Hanni menarik tanganku untuk duduk di kursi yang ada di koridor. Aku menurut saja. Setelah situasi benar-benar aman, dia kembali melanjutkan. "Salah satu syarat consent diberikan oleh seseorang yang telah dewasa dan memiliki kapasitas. Kamu tau berapa umur kita waktu melakukannya? 17 tahun, Madd. Age of consent menurut negara Indonesia yang tercantum dalam pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, usia kedewasaan berdasarkan hukum Indonesia biasanya dilihat dari dua hal: pertama, apakah sudah berusia setidaknya 21 tahun; atau apakah sudah pernah menikah. Nah, dari poin ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa kita belum mendapatkan rasionalitas yang memadai untuk memahami konsekuensi atas perbuatan yang telah kita lakukan."
Aku memandang mata Hanni lekat. Ternyata Hanni telah banyak membaca mengenai permasalahan ini, dan aku semakin tertarik untuk berdiskusi dengannya. "Terus, apakah menurut kamu masuk akal tentang kita yang bukan warga Aceh tapi tetap menjalankan hukuman di daerah itu?"
"Kenapa nggak? Itu syariat Islam yang harus kita penuhi, Madd."
"Syariat yang benar-benar nggak ada rasa manusiawi?"
"Manusiawi menurut kamu itu apa?"
"Hanni," ucapku lembut. Berusaha memberikan pemahaman padanya. "Ketentuan hukuman badan seperti cambuk bertentangan dengan HAM Internasional dan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia khususnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM loh. HAM dalam versi barat bersifat antroposentrisme yang menekankan kepada hak individu dan melepaskan manusia dari setingnya yang terpisah dengan Tuhan. Sedangkan dalam Islam, HAM bersifat theosentris yang memiliki sifat ketuhanan. Dalam pengertian demikian, manusia bekerja sesuai dengan kesadaran dan kepatuhan kepada Tuhan, dan bahwa HAM adalah anugerah dari Tuhan. Nah, dari ini kita bisa menyimpulkan bahwa sebuah dosa yang telah dilakukan oleh manusia itu urusan vertikal mereka terhadap Tuhan. Tidak ada urusannya orang lain dalam kesalahan yang telah kita lakukan, Hanni."
"Kita beragama Islam, Madd. Kita nggak bisa membaurkan hukum HAM dengan aturan itu. Hal ini sama saja kita lari dari tanggungjawab. Kamu tahu sendiri berzina itu dilarang keras oleh Allah, 'kan?"
Hanni sepertinya sudah di-brainwash oleh orangtua angkatnya. Dia benar-benar sudah pasrah tubuhnya dicambuk. Aku menghela napas, mengingat kembali apa yang telah aku baca selama dua hari ini.
"Dari dokumen Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, anak yang melakukan jarimah—dosa, terbebas dari cambuk tercantum pada Bab VI Jarimah dan Uqubat bagi Anak-anak. Pasal 66 tertulis; Apabila anak yang belum mencapai umur 18 tahun melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap Anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan mengenai peradilan pidana anak.
Selanjutnya pada Pasal 67 ayat 1; Apabila anak yang telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan Uqubat paling banyak 1/3 dari Uqubat yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan atau dikembalikan kepada orangtuanya."
Hanni menatapku dengan kelopak mata yang besar. Aku tersenyum. "Kalau nggak percaya, cek google sekarang, Hanni. Kita masih umur 17, 'kan? Kita masih tergolong di bawah umur. Aku tahu ini sulit untuk kita yang beragama Islam, tapi kamu harus sadar bahwa kesalahan ini cukup jadi pelajaran buat kita. Lagipula, kita bukan warga Aceh. Kita warga Jakarta. Aku bisa menuntut Komnas HAM jika mereka masih bersikeras ingin menghukum kita."
Hanni tiba-tiba menangis. Aku tidak tahu dengan perasaan Hanni, tapi yang jelas dia seperti menemukan sebuah cahaya dari dalam kegelapan. Aku menyeka air matanya, tidak kuasa Hanni akan berada di situasi pelik seperti ini.
"Kamu juga udah dengar kan ceritaku kalau pelacur saja bisa masuk surga cuma karena telah menolong anjing yang kehausan?" Aku tersenyum. "Itu poinnya. Kita masih bisa mendapatkan ridha Allah jika kita benar-benar bertaubat." []
KAMU SEDANG MEMBACA
How Madd Lost His Love
Teen Fiction(RELIGI - ROMANCE) Hidup Maddrian adalah krat-krat berisi botol wine yang usang setelah Hanni meninggalkannya. #WritingProjectAE4