Bab 8 - Pemuda di Kedai Kopi

84 24 0
                                    

Balik lagi ke POV's Hanni!

Here we go!

Semoga dapat mengambil intisari yang ada, ya! Happy reading!

Semoga dapat mengambil intisari yang ada, ya! Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

Hao tahu rumah orangtua angkatku. Dia tiba-tiba ada di depan rumah sembari memegang bingkisan buah yang mau tidak mau aku terima. Rumah sedang kosong, sebab Ibu dan Ayah masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Biasanya sekitar satu jam lagi baru mereka sampai di rumah.

"Kak Hao dari mana tau aku tinggal di sini?"

Hao tersenyum, membuat mata sipitnya semakin tidak terlihat. "Mind to hang out? Tenang, gue yang bakal traktir lo."

Aku yang memang bosan di rumah langsung mengangguk. Aku meminta Hao menunggu di teras dengan segelas teh hangat yang telah aku siapkan untuknya. Aku bersiap-siap,memilih outfit seadanya dan nyaman untuk aku pakai. Tidak sampai setengah jam aku balik lagi menemuinya.

Sebelum pergi, aku menelepon Ibu. Ternyata Ibu sudah mengenal Hao. Ini hal yang tidak kusangka, terlebih Hao ternyata adalah anak dari bos Ibu—pemilik toko bunga terbesar di kota ini. Pasti itulah yang membuat Hao bisa ada di sini. Dia telah mendapatkan informasi mengenaiku dari Ibu.

Dalam hati, aku berdecak. Kenapa dunia ini terkesan sempit sekali?

***

Perubahan yang aku lihat dari Hao—bidang dadanya makin lebar, tulang pipinya makin runcing, kemudian cara dia berinteraksi denganku begitu lancar.

Dia adalah seorang Katolik. Aku pernah menerimanya sebagai pacarku sejak aku duduk di kelas 9, masih SMP. Sepertinya itu tergolong cinta monyet karena memang aku dijodoh-jodohkan oleh temen sekelasku. Katanya aku cocok jika berdiskusi dengan Hao, apalagi perihal kegiatan OSIS. Ya, aku pernah menjadi sekretaris sementara Hao ketuanya. Itu saat-saat terakhir Hao ada di SMP. Setelah dia masuk SMA, hubungan kami renggang. Dia juga sibuk dengan berbagai kegiatan, sementara aku sibuk persiapan ujian kelulusan.

Setahun kemudian, aku terdampar di SMA buangan, karena memang dana panti hanya sanggup untuk menyekolahkanku di sana, tapi setelah setahun, aku mendadak mendapatkan donatur yang begitu bersahaja. Namanya Pak Ali, dia menyarankan agar aku pindah ke SMA favorit, dan di sanalah aku bertemu dengan Maddrian Dewangga.

"Lagi sibuk ngurus berkas-berkas kuliah, ya?" tanya Hao pertama kali saat kami berada di dalam mobil.

"Ibu yang ngasih tau?"

Hao terkekeh. "Gue beneran kaget kalau dia nyebut nama anak angkatnya Hanni Wulansari."

"Kenapa harus kaget? Itu mungkin aja terjadi, 'kan?"

Hao tersenyum. "Iya, gue kaget kalau gue ternyata bakal ketemu lagi sama lo."

Tanganku bergerak untuk mengganti beberapa siaran radio yang sedang menyetel lagu. Bosan sekali mendengar berita tentang beberapa anggota dewan yang terseret ke dalam kasus korupsi.

How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang