Bab 4 - Pandangan Pertama

102 34 1
                                    

Hai, update kembali!

Di scene ini nano-nano wkwk

Dahlah, happy reading! ⊂(・﹏・⊂)

Dahlah, happy reading! ⊂(・﹏・⊂)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

Orangtua angkatku baik. Dia selalu memberikanku sebuah pilihan yang harus aku pertimbangkan secara matang. Mereka selalu bertanya apa tujuan hidupku selanjutnya: kuliah sampai tamat atau langsung bekerja di kantor kargo tempat papa menjadi direktur—yang ada di Kota Padang. Dikarenakan aku sudah banyak cerita tentang keinginanku yang ingin menjelajah kota Padang, aku akhirnya memilih agar langsung bekerja.

Madd, kamu tahu sendiri aku paling tidak bisa bertemu dengan banyak orang, 'kan?

Energiku mudah tersedot, persis seperti keadilan di negara kita yang hilang entah ke mana. Lagipula, kuliah tanpa ada kamu bagaikan kopi tanpa gula.

"Kamu yakin, Hanni? Di kota Padang juga ada kok kampus yang menjadi top 20 terbaik di Indonesia. Sayang dengan nilai-nilai di rapor kamu yang punya rata-rata 90-an. Kamu pintar, Hanni."

"Ibu... bagiku kuliah atau nggak itu sama aja. Yang penting itu pengalaman yang kita dapatkan, Bu."

"Di dunia kerja kamu juga akan bertemu dengan banyak orang, Hanni."

Skakmat. Betul juga. Bu Fatimah pasti sudah menceritakan segala tentangku—termasuk ketakutanku. Aku tidak pernah terpikirkan itu sebelumnya.

"Tapi—"

"Dan kamu juga nggak perlu ke Padang cuma untuk belajar agama. Di sini banyak kok ustadz dan ustadzah yang ngisi kajian di masjid, apalagi untuk belajar adat-adat Minangkabau."

Aku merenung, menatap rumput jepang yang tertanam di halaman rumah. "Berarti, aku nggak harus ke Padang, Bu?"

Ibu tersenyum. "Itu pilihan kamu, Hanni. Apa pun keputusan yang kamu ambil, Ibu akan selalu setuju. Peran Ibu cuma berdiri di belakang kamu, ngasih apa pun yang kamu butuhkan."

Madd, ternyata seperti ini rasanya memiliki orangtua. Sekarang rasanya aku ingin cerita padamu, betapa senangnya hari ini. Setelah aku diajak keliling mal oleh Ibu, mengambil apa pun yang aku butuhkan, akhirnya aku sampai di percakapan penting ini. Madd, jika aku tetap di sini, apakah masih mungkin kita bertemu kembali?

Tidak apa jika tiga atau lima tahun kemudian kamu akan balik ke Indonesia, pun dengan status kamu yang sudah menjadi suami orang. Aku akan menerima semuanya, Madd. Aku bahkan sudah ikhlas dengan kemungkinan terburuk daripada itu.

Aku hanya ingin melihatmu sekali lagi di dalam hidupku.

***

Aku menangis dalam sujudku kepada Allah di sepertiga malam. Sejauh apa kesalahanku sehingga membuat Bunda begitu tidak menginginkan aku berada di sisimu, Madd?

Masih saja aku sedih tentang obrolan kita terakhir kali. Aku tidak pernah bisa putus dari kamu, Madd. Aku mencintaimu. Aku melakukan ini semua karena terpaksa.

Berulangkali aku berpikir. Apa karena aku tidak mempunyai keluarga yang jelas makanya Bunda menatapku seperti seonggok sampah?

Dari buku yang kubaca, Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, artinya kesejahteraan seorang anak menjadi tanggungjawab semua keluarga ibu(komunal) yang dipimpin oleh mamak(saudara laki-laki ibu). Itu artinya jelas sekali bahwa ibu memiliki peran penting dalam keberlangsungan kehidupan.

Dari segi materi, perempuan atau ibu merupakan pemilik harta pusaka, yakni warisan yang menurut adat Minangkabau diterima dari mamak kepada kemenakan. Maka, ibu harus menjaga keutuhan harta pusaka ini. Harta ini nantinya akan diturunkan kepada keturunan yang perempuan sebagai penerus garis keturunan.

Dijelaskan dalam buku Perempuan dan Modernitas: Perubahan Adat Perkawinan Minangkabau pada Awal Abad ke-20, hal unik lain dari sistem kekerabatan matrilineal dalam adat Minang adalah perkawinan dalam adat Minangkabau. Dalam perkawinan, yang menjemput sang pasangan bukanlah laki-laki melainkan perempuan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga merupakan sebuah tahapan untuk masuk ke lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sementara itu di pihak keluarga perempuan, hal ini menjadi proses dalam penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang mereka.

Hanya satu yang dapat kutarik kesimpulan; peran pihak perempuan di adat Minangkabau sangat penting dan krusial. Aku lantas menatap diriku sendiri di dalam cermin. Sebenarnya, apakah kita pantas untuk saling menyulam cinta?

Aku tidak bisa menjawab itu, karena hubungan kita juga didasari oleh love-hate sehingga di satu titik kamu mendapati suratku di dalam lokermu, tepat sehari setelah pengumuman bahwa kamu menjadi pelari terburuk di sekolah ini. Peringkatmu dikalahkan oleh tujuh orang sekaligus.

Kamu mengira aku penggemar kamu, padahal aku hanya ingin memberikanmu kalimat semangat. Tapi, kalau boleh jujur, sebelum pindah ke SMA Tirtayasa, aku sudah banyak melihat profil sekolah itu dua bulan sebelumnya. Dan di salah satu aspek ada ekstrakurikuler lari. Di kolom itu aku melihat kamu sedang lari dengan mata yang tajam. Peluh membanjir di seluruh wajahmu.

Dan, aku mencintaimu sejak itu.

Semudah itu.

Kamu menemuiku tepat setelah aku baru keluar dari ruang ganti baju, usai pelajaran olahraga. Tanpa menghiraukan tatapan murid perempuan lain yang kaget karena kamu berani masuk ke wilayah yang bukan teritorialmu, kamu angkat surat itu tinggi-tinggi ke hadapan wajahku.

"Ini apa?"

Aku mengernyit. "Itu surat."

Kamu mengusap wajah. "Apa maksud lo kirim beginian?"

"Nggak boleh?"

Kamu tampak kacau. Wajahmu antara merah karena kesal atau tersipu, aku tidak tahu, tapi yang jelas, setelah dari sana, kamu menyeretku ke halaman belakang sekolah cuma untuk meminta nomor ponselku.

"Buat apa?"

"Buat ngingetin, kalau gue lebih suka disemangatin secara langsung."

Di saat itulah aku tahu bahwa kamu benar-benar unik dari lelaki lain.

Seharusnya aku juga sadar, perasaanku sudah terbalas detik itu juga. []

How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang