Bab 6 - Pembicaraan Lelaki

84 29 1
                                    

Kasian ya Madd WKWK

Kira-kira mereka bakal ketemu lagi nggak, ya? 🐰

Haha mari berdoa gaes.

Happy reading!

Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

Denting sendok beradu dengan piring di ruang tamu diakhiri dengan pertanyaan Bunda. Aku baru saja selesai minum air putih, luka-lukaku terpaksa diobati oleh dokter di klinik terdekat. Aku urung beranjak untuk nyebat setelah Bunda bertanya dengan nada yang sangat dingin.

"Mungkin aku akan kuliah di tempat Bang Langit?" Aku melirik Bang Langit yang makanannya belum tandas.

"Jurusan apa?" tanya Bang Langit, membuat kecanggungan makin pekat. Ini pertanyaan sensitif buat Bunda, aku tahu.

"Tidak ada jurusan lari di perkuliahan."

Aku membasahi bibir. "Madd tau, Bun."

"Lantas kamu akan mengambil jurusan apa setelah SNMPTN dan SBMPTN tidak kamu pedulikan sama sekali? IPB dan UI kamu singkirkan dengan cuma-cuma, Madd. Andai saja-"

"Bun..." ucap Bang Langit pelan sembari mengelus punggung Bunda. "Aku mohon, jangan ungkit apa yang sudah terjadi. Nggak akan ada baiknya jika kita terus larut dalam penyesalan."

"Aku akan ambil Filsafat Murni."

Bunda dan Bang Langit sontak melotot ke arahku. Bagi mereka mungkin jurusan ini aneh, tapi aku pernah membaca sebuah artikel mengenai Filsafat, yang mempelajari berbagai ketidakmungkinan di bumi.

"Madd, lo masih waras, 'kan?"

Aku terkekeh. "Masih, Bang."

"Nggak ada Filsafat di strata-1," ujar Bang Langit sambil tertawa. "Adanya di program magister, departemen Nature Science, Art and Philosophy. Lain kali kalau mau gila, riset dulu, Madd."

Aku menggaruk tengkuk. Bunda terkikik di sebelah Bang Langit. Iya, aku asal sebut saja. Namun, saat melihat wajah Bunda telah bersahabat, rasanya aku ingin sekali memeluknya. Bunda telah comeback. Bunda sudah berhenti marah padaku.

Memang benar, kasih Ibu itu tidak terhingga sampai sepanjang masa.

"Ya udah, temenin gue sekarang ke belakang, kasih gue saran terbaik lo. Kalau perlu kasih tau gue cara pegang mikroskop dengan benar."

Aku sarkastik. Bang Langit adalah mahasiswa Kimia Murni yang sedang menempuh pendidikan S-1, semester akhir. Dia sudah melewati masa-masa stres, tapi akan mengalami puncak stres karena dia sedang sibuk membuat skripsi. Kemudian, aku tadi pagi melihat snapgram dari pacar Bang Langit, memutarkan video Bang Langit yang sedang dimarahi oleh dosen karena salah memegang mikroskop dalam sebuah penelitian di laboratorium.

Itu lucu. Aku masih ingat bagaimana wajahnya yang memerah karena menjadi bahan tertawaan.

Bang Langit menunjukku pakai garpu, seakan dia ingin membunuhku setelah makanannya habis.

***

"Kurang-kuranginlah nyebat, Madd."

Kedatangan Bang Langit diawali dengan sebuah permintaan. Aku masih menghisap rokok, mengeluarkan lalu membuang abu ke asbak. Ketika Bang Langit duduk di sebelahku, barulah kutawari dia rokok juga.

"Jangan sungkan," ucapku sambil menyodorkan sebungkus rokok. Man will be man. Merokok setelah makan itu wajib. Lagipula Bang Langit juga suka ngerokok. Aku yakin di Bandung dia juga tidak kalah parahnya dari aku.

Setelah Bang Langit nyomot rokokku, barulah aku tertawa kecil.

"Inilah yang namanya godaan."

Gue menghela napas. "Dulu, gue bisa nahan untuk nggak ngerokok, Bang."

"Karena ada Hanni?"

Aku mengangguk. "Gue galau banget anying dia ngilang gitu aja."

"Bunda cerita tadi sama gue."

Aku tidak butuh untuk tahu itu.

Bang Langit menepuk satu pahaku. "Madd, lo udah banyak banget baca buku. Di dalam buku-buku yang lo baca pasti ada salah satu perintah untuk nggak melawan orangtua, 'kan? Kadangkala, lo kacau begini emang karena restu Allah udah nggak nyampe sebab lo udah berhasil bikin Bunda sedih."

Aku ingin menyangkal, tapi Bang Langit langsung berkata lain.

"Bayangin, seorang anak yang udah banyak hafal ayat Al-Qur'an, hadist, bahkan ilmu-ilmu tafsir malah gagal pergi ke Kairo. Bukannya itu terlihat menyedihkan banget? Lalu alasan dia nggak pergi cuma karena perempuan?"

"Bang, you know what I mean. Gue bukan jenis manusia agamis."

"Tapi setiap manusia harus punya pegangan yang kuat, Madd."

"Lo tau sendiri, Bang, bidang gue sebenernya itu musik. Di kamar gue dulu penuh alat-alat musik. Ketika Bunda membuang semua itu lalu memaksa gue menjadi seseorang yang dia mau, gue tetap nurut. Gue nggak melawan. Itu karena gue sayang sama Bunda, Bang."

"Jadi, lo udah nyesal menyelam dalam sesuatu yang bersifat spiritual?"

Aku mematikan puntung rokok sepenuhnya. "Bukan menyesal, cuma sedikit muak. Dari kecil gue udah jadi robotnya Bunda. Dan untuk pergi ke sana, gue sebenarnya nggak pernah setuju. Makanya, setelah umur gue udah 18 tahun, gue bertekad untuk memilih pilihan-pilihan hidup gue sendiri, tanpa harus ada campur tangan Bunda."

"Lo nggak bisa muak untuk hal-hal yang benar. Dari dulu gue selalu kagum sama pencapaian lo. Boleh, boleh aja lo nggak nurutin perintah Bunda, asalkan lo tetap mempertahankan eksistensi lo sekarang. Jangan sampai lo jadi anak durhaka, Madd, cuma karena lo galau sama cewek yang udah ninggalin lo." Bang Langit menepuk punggungku. Rokoknya sudah habis terbakar. "Jadi gimana, mau ngambil jurusan apa di kampus gue?"

"Ya paling nggak jauh-jauh dari science, Bang."

"Ya, apa?"

"Biologi."

Bang Langit tersenyum lebar waktu mendengar pilihanku. "Mantap, gue setuju banget! Nilai biologi lo sejak kelas satu emang nggak pernah ngotak."

Hanni, itulah jurusan yang kita inginkan berdua. Aku akan kuliah di ITB, bagaimana dengan kamu?

Ponselku segera bergetar. Kulihat ada nama Kelinciku yang berhasil memberikanku sebuah pesan.

Test.

Aku buru-buru mengambil ponsel, berusaha untuk menghubungimu, tapi ternyata gagal. Nomormu itu kembali tidak aktif.

Hanni, kamu kangen juga ya sama aku? []

Visual Langit:

Visual Langit:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang