Cerita ini akan terbagi menjadi dua sudut pandang ya. Jadi, Madd sama Hanni bakal saling bercerita. Oya, alur cerita ini maju-mundur. Aku harap kalian masih bisa menikmatinya.
See you.
Happy reading! (⊃。•́‿•̀。)⊃
Kita harus bertemu.
Jam setengah dua pagi aku menyambar jaket dari nakas tempat tidur, membuka kunci rumah, menghidupkan motor, menghiraukan pertanyaan bahkan seruan Bunda untuk tetap berada di rumah. Kita harus bicara yang jelas. Soalnya aku tidak menemukan inti saat kita berbicara lewat rambatan jaringan telepon.
Aku kendarai motor dengan kekuatan penuh, beberapa kali nyaris tertabrak mobil pembawa BBM, karena aku gelisah. Aku tidak peduli, aku benar-benar tidak ingin kita putus, Hanni.
Kalau perlu aku menolak semua rencana mereka. Karena beasiswa itu juga bukan kehendakku. Bunda sudah jauh-jauh hari mengurus semuanya, tanpa memedulikan keinginanku agar tetap di Jakarta.
"Ang tu harus jadi pengganti Ayah ang, Madd. Jadi ustadz, jadi ulama yang berpengaruh di sekitar, jadi manusia yang suci. Kalau ang tetap di siko, Bunda jamin ang indak akan berkembang. Kawan-kawan ang kacau sadoalahnyo. Bunda melakukan iko untuak kebaikan waang, Madd. Katiko ado kesempatan ameh iko, harus ang ambiak. Kesempatan ameh indak datang untuak kaduo kali, Madd. Adat biaso kito pakai, limbago nan samo dituang, nan elok samo dipakai nan buruak samo dibuang."
Perkataan Bunda terngiang di pikiranku. Bunda itu casing-nya aja yang lembut, tapi di dalam keegoisannya tinggi. Hanni, maaf kalau selama ini kamu pernah ditolak secara kasar oleh Bunda. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Sebagai anaknya saja aku kaget bahwa ternyata Bunda pernah berbicara seperti itu padamu.
Aku bahkan masih tidak habis pikir, sebenarnya kebahagiaan anak itu penting tidak untuk kehidupan anak itu sendiri?
Kenapa Bunda tidak pernah memberikanku pilihan hidup? Sejak kecil aku selalu dituntut jadi ini-itu, harus hafal surat ini-itu, hadist ini-itu. Tanpa sekalipun aku mengekang karena sekesal apa pun aku padanya, aku tidak akan tega untuk melawan perintah-perintahnya.
Lalu, saat umurku sudah 18 tahun, apakah aku masih saja harus nurut dengan perkataan-perkataannya?
Kurasa tidak.
Dari dalam buku self-improvement karya James Clear dengan judul Atomic Habits yang pernah kubaca, katanya kebiasaan baik akan meninggalkan kebiasaan buruk. Selama ini aku tidak pernah melakukan kebiasaan buruk. Berani bersumpah, aku selalu menjalani semua perintah yang Bunda ucapkan, tapi untuk yang masalah perasaan, kendali ada di tanganku. Aku tahu cara menjalankan rutinitas kecil yang baik untuk memperoleh hasil yang luar biasa, konteksnya serupa seperti hubungan yang telah kita pupuk sejak awal berkencan.
Tidak ada yang buruk dalam perihal mencintai, bukan?
Maka dari itu, aku bertekad menciptakan keputusan-keputusanku sendiri, berikut menanggung semua konsekuensinya. Tanpa melibatkan Bunda. Atau siapapun itu yang memiliki tendensi merusak hubungan kita.
Setelah aku masuk ke dalam pekarangan Panti Cinta Jiwa, aku langsung melompat turun lalu bertemu dengan penjaga malam—Bu Fatimah dan Pak Teguh, tengah duduk berdua di bangku besi depan pintu utama. Persis di tempat kita pertama kali saling menautkan jemari.
Pak Teguh berdiri, heran melihat seorang cowok tolol datang ke panti tengah malam gulita. "Maddrian?"
"Pak," kataku sembari menyambut kedua tangan Pak Teguh untuk dicium. "Bu." Kemudian beralih pada Bu Fatimah.
"Ada apa gerangan kamu ke sini, Nak?"
"Mau ketemu Hanni." Aku nyengir. "Tapi kalau dia lagi tidur dan nggak bisa diganggu, boleh aku nginap di sini sampai menjelang pagi? Di manapun aku bisa tidur kok, kalian jangan khawatir."
Bu Fatimah dan Pak Teguh saling memandang. Ekspresi mereka seperti ada sesuatu yang sulit untuk dikatakan.
"Ada apa, Bu?" Aku memberanikan bertanya. Bu Fatimah sangat baik padamu. Dia telah merawatmu sejak kecil, pasti tahu betul apa yang terjadi padamu.
"Hanni telah dibawa oleh orangtua angkatnya, Madd. Baru saja pergi sekitar lima belas menit yang lalu."
Hanni, kamu....
"Ibu nggak bohong, 'kan?" Aku menatap mereka berdua, mencoba mencari kebenaran. "Aku belum ulangtahun, kalau ini lagi bikin kejutan, nggak lucu jadinya."
Bu Fatimah menangis, sementara Pak Teguh menenangkan.
"Benar, Madd. Hanni tidak sudah tidak tinggal di sini." Pak Teguh itu orangnya selalu jujur, yang katamu teguh pendirian.
"Dia pergi ke mana? Di mana alamat orangtua angkatnya itu?!" Dadaku berdebar cemas. "Tolong. Tolong kasih tau aku!"
"Mereka juga tidak ingin memberikan alamat karena itu bersifat privasi."
"Loh, kenapa bisa kalian nggak tau alamat mereka?!" Nada suaraku meninggi. Refleks. "Gimana kalau Hanni dibeli sama orang jahat? Gimana kalau Hanni akan dijadikan budak seks oleh mereka? Gimana kalau Hanni dijual ke oknum humantraficking? Otak kalian berdua di mana, hah?!"
Mereka tidak bisa berkata-kata. Aku pun sadar, aku terlalu banyak menghakimi. Lantas setelah jeda di antaraku dengan mereka, aku mencoba menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Jika ini benar, aku akan terima. Tapi, Hanni, sebenarnya apa salah aku sampai kamu menciptakan luka sebegitu perihnya? Kenapa kamu tidak pernah cerita?
Mengusap wajah, aku mencoba menenangkan diri. Melirik pekarangan Panti yang lengang, di saat bayang-bayang kita berjalan di sekitar sana dengan hati yang riang, seketika itu juga aku menangis.
Untuk kali pertama aku dihancurkan olehmu dengan teramat. []
*
Arti dialog dalam bahasa Minang: “Kamu itu harus menjadi pengganti ayahmu, Madd. Jadi ustadz, jadi ulama yang berpengaruh di sekitar, jadi manusia yang suci. Kalau kamu tetap di sini, Bunda jamin kamu tidak akan berkembang. Teman-temanmu kacau semuanya. Bunda melakukan ini untuk kebaikan kamu, Madd. Ketika ada kesempatan emas, harus kamu ambil. Kesempatan emas tidak datang untuk kedua kali, Madd. Kebiasaan baik sama dipakai, kebiasaan buruk sama dibuang.” (pepatah Minang)
KAMU SEDANG MEMBACA
How Madd Lost His Love
Teen Fiction(RELIGI - ROMANCE) Hidup Maddrian adalah krat-krat berisi botol wine yang usang setelah Hanni meninggalkannya. #WritingProjectAE4