Bab 7 - Confess

123 24 0
                                    

Part ini bikin aku geli sendiri wkwk anw thanks yang sempat baca cerita ini! Pokoknya happy reading, ya! Semoga selalu suka sama Madd dan Hanni! 🐰

Part ini bikin aku geli sendiri wkwk anw thanks yang sempat baca cerita ini! Pokoknya happy reading, ya! Semoga selalu suka sama Madd dan Hanni! 🐰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

Madd, aku tidak salah melihat, 'kan?

Email-mu yang masih tersambung di laptopku menunjukkan bahwa kamu masih di Indonesia, hanya puluhan kilometer dari tempatku tinggal sekarang. Itu berarti kamu tidak jadi pergi ke Kairo?

Apa-apa saja yang sudah aku lewatkan tentang kamu?

Kenapa bisa kamu masih bertahan di sini?

Karenanya, aku langsung saja menonaktifkan pemblokiran nomor ponselmu, lalu mencoba tes nomormu, apakah masih aktif atau tidak. Aku tidak menyangka kamu masih berada di sini.

Sadar bahwa aku telah memutuskan tali di antara kita, aku kembali memblokirmu. Ini salah. Tidak seharusnya aku mempermainkanmu. Aku sudah berbuat jahat padamu, melukaimu, dan menendangmu dari segala kenangan yang telah kita jalin. Aku juga telah berjanji untuk tidak mengusikmu lagi, Madd.

Maaf. Setelah ini, aku akan memindahkan semua tentangmu dari amigdala ke hippocampus, sebagai sebuah informasi yang baru. Aku ingin mengingatmu sebagai Maddrian Dewangga, seorang anggota klub atletik, persis seperti aku mengenal nama Umar bin Khattab sebagai seorang khalifah. Tidak ada embel-embel perasaan. Tidak ada hal-hal yang harus dihubungkan ke dalam emosi dalam ingatan baruku.

Ini tidak mudah, tapi aku akan terus berusaha.

Aku memang sudah gila. Jika aku menyebut hal ini di depan kamu-ingin membalikkan proses pembentukan ingatan alias melawan ketentuan—pasti kamu akan mengetuk kepalaku, lalu misuh-misuh sambil bilang, "Pas belajar, otaknya lagi di mana?"

Padahal, sederhananya proses terbentuknya ingatan itu dimulai dari hippocampus yang terletak di lobus temporal. Sebuah bagian yang berfungsi sebagai pusat kendali reaksi emosional, bahkan menjadi tempat transit memori deklaratif—jenis memori yang melibatkan hal-hal yang sengaja diingat—sebelum disimpan sebagai memori jangka panjang. Kemudian dilanjut ke amigdala, berbentuk seperti kacang almond, berhubungan dengan proses emosi, pikiran dan memori, benar-benar membuat seseorang kesulitan untuk menghilangkan ingatan yang sudah membekas.

Jika aku berada di dalam novel Hujan karya Tere Liye, aku juga akan mengikuti Lail, yang ingin segala ingatan tentang Esok dihapus, menjadi sebuah ingatan yang baru.

Sebab, jika aku mengingatmu sebagai Madd yang selalu ada untukku, aku akan semakin terperosok ke dalam jurang kesedihan.

Tidak ada yang bisa disebut bahagia karena telah dicintai oleh seseorang yang sepertimu, Maddrian Dewangga.

Aku sedang berkutat dengan laptop di dalam kamar, menyiapkan berkas-berkas kuliahku di ITB serta belajar untuk ujian mandiri. Kemudian, sebuah nomor panggilan yang kurasa darimu masuk, ingin meneleponku.

Ketika kuangkat, ternyata dari Hao.

Pemuda yang pernah mengisi sebagian hatiku.

Pemuda yang pernah sekarat karenamu, Maddrian Dewangga.

***

Sebelum kita menjadi apa-apa, aku selalu berharap kamu menjadi nomor satu di lapangan.

Adegan di UKS adalah adegan di mana kita sudah saling menotis perasaan, tapi kamu belum menyatakan perasaanmu sama sekali padaku. Aku pernah digantung olehmu. Seorang Maddrian Dewangga yang friendly, selalu tersenyum kepada banyak murid perempuan membuatku kadang kesal hingga di pertandingan lari jarak jauh antar kabupaten, aku sengaja tidak hadir-di sisi lain karena aku sakit. Namun, tanpa kusangka kamu mendadak datang ke panti, memaksaku agar keluar untuk menemuimu.

Aku tidak sempat berpikir karena yang kudengar suaramu dingin dan tajam memanggil namaku tepat di depan pintu kamarku. Ketika kamu marah, semua orang pasti akan ketakutan.

"Keluar," pintamu. "Aku akan tunggu di sini sampai kamu mau keluar."

Aku flu kala itu, dan merasa seluruh tubuhku dingin. Karena aku benar-benar mengantuk setelah minum obat dan ingin tidur, aku terpaksa membuka pintu kemudian menemuimu yang ternyata masih mengenakan seragam olahraga yang masih basah. Ada kalung medali melingkar di lehermu.

"Ada apa?"

"Kenapa nggak ada kabar?" tanyamu dengan rahang yang mengatup.

Aku bisa mencium aroma matahari dari tubuhmu, berbaur dengan tembakau dan citrus dari parfummu. Wajahmu masih memerah karena lari 10 kilometer yang sudah kamu tempuh.

Maddrian Dewangga adalah sosok yang paling unik. Dia tidak peduli dengan banyak orang yang menatapnya di panti, seolah saat itu kita seperti sepasang tokoh di dalam sebuah film.

"Aku menang. Aku bisa raih juaraku lagi. Jadi, aku mau kamu ngucapin sesuatu buat aku, seperti biasanya."

"Buat apa?" Aku bertanya, karena berpikir kita tidak memiliki hubungan apa-apa.

"Buat apa?" Kamu tertawa miring. "Masih nanya?"

Aku menggeram kesal. "Aku lagi nggak mood berdebat sama kamu!" Aku akan berbalik ke dalam kamar, tapi kamu mengambil langkah untuk menarik tubuhku ke dalam pelukan.

Di depan banyak pasang mata.

"Hanni, kamu sakit." Kamu merasakan suhu tubuhku yang tinggi.

"Lepasin, Madd!"

"Bentar," katamu sembari melepaskan kalung medali di lehermu kemudian tanpa kuprediksi sama sekali, kamu mengalungkan benda itu ke leherku. "Jaga medali ini."

Aku menautkan alis.

"Untuk kenang-kenangan sekaligus sebagai rasa terima kasih karena kamu udah bikin aku kembali semangat."

Aku tercenung.

Kamu menggaruk tengkuk—kebiasaan jika kamu sedang bingung dan merasa malu. "Terus, aku mau ngomong sesuatu."

"Dari tadi juga kamu udah ngomong. Cepat bilang sebelum aku pingsan."

"Aku Maddrian Dewangga, bolehkah aku mengisi ruang kosong di hati Hanni Wulansari?"

Yap, seperti itulah kalimat confess yang kamu tuturkan. Setegang kanebo kering. Senorak orang-orang yang hidup di jaman Siti Nurbaya.

Sebagai jawaban, aku akhirnya mengangguk. Sebab, inilah yang aku nantikan sejak dulu. Aku berjinjit, berbisik padamu. "Selamat ya, Madd. Kamu hebat. Kamu bisa membuktikan dirimu sendiri."

Sebagai jawaban, kamu tersenyum. Kita resmi jadian saat itu sebelum kamu bertemu dengan Hao untuk pertama kali.

Aku yakin, jika kamu mendengar bahwa Hao ingin bertemu denganku, pasti kamu akan kembali membuat dia sekarat di rumah sakit.

[]

Visual Hao:

Visual Hao:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang