Bab 3 - Alasan Aku Pergi

110 36 1
                                    

Kali ini POV's Hanni. Aku harap kalian suka dan bisa memetik pelajaran yang ada.

Jadi, here we go!

Madd, kamu pernah ingat tidak kalau aku pernah punya mimpi yang sangat besar?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Madd, kamu pernah ingat tidak kalau aku pernah punya mimpi yang sangat besar?

Aku ingin mempunyai orangtua. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya diperhatikan oleh sosok ayah dan ibu. Aku ingin seperti gadis-gadis lain yang memiliki tempat pulang untuk mengadukan masalah-masalah yang terjadi, mendapatkan solusi, selesaikan, lalu bersiap untuk menghadapi masalah lagi.

Aku pernah mengungkapkan itu ketika kita berada di puncak bianglala. Ketika orang-orang di kubikel lain teriak histeris karena takut atau cuma pura-pura terkesan seru—padahal ingin muntah karena pusing. Kita berdua malah terhanyut dalam resonansi detak yang hanya kita sendiri yang merasakan. Kamu memakai hoodie hitam, yang kontras dengan warna kulitmu. Aku selalu kagum saat kamu memakai sesuatu berwarna gelap, karena kamu tampak bercahaya dan sangat tampan.

Ah ya, di pasar malam itu adalah kencan kita yang kedua kali, tepat saat kamu tidak lagi malu-malu ketika aku ajak berbicara. Kencan pertama kita sungguh penuh dengan salah tingkah—setiap kali aku mengingatnya, aku selalu ingin scene itu tidak pernah terjadi.

"Kita aneh, ya?" tanyaku saat tanganmu melingkar di pinggangku.

"Mereka yang aneh," jawabmu sambil tersenyum. "Masa iya naik ini harus teriak-teriak? Emang nggak bisa tenang gitu?"

"Dih, nggak boleh begitu, Madd. Kamu terbiasa banget deh menyamaratakan orang lain." Aku mencubit pelan lenganmu.

Kamu cuma nyengir. "Maaf."

"Madd...."

"Hm?" Alismu naik sebelah.

"Aku punya mimpi."

"Jadi dokter?"

"Ih, bukan!"

"Kamu pernah cerita kalau kamu pengin jadi dokter bedah, Sayang."

Jeda sejenak. Saat itu aku belum terbiasa dengan panggilan itu darimu. Sebab, ketika kamu mengatakannya, hatiku selalu terasa disiram oleh air hangat.

Akhirnya aku bisa kembali menetralkan degup jantungku. "Mimpi dan cita-cita itu berbeda, Madd."

"Mimpi adalah keinginan yang belum direncanakan, sedangkan cita-cita adalah keinginan yang sudah direncanakan dan sedang dikejar saat ini?"

Aku membelalakkan mata, bukan karena kamu tahu pengertian mimpi dan cita-cita, melainkan karena definisi itu serupa dengan isi pikiranku. "Itu definisi dari siapa?"

Kamu kembali nyengir. "Dari Abdul Latief, dokter spesialis kandungan di rumah sakit Hermina, Ciputat."

Kita berdua tertawa, karena tidak ada korelasi antara quotes-nya dengan pekerjaan.

"Dokter itu dulunya jadi rival Mario Teguh, tapi karena dia punya pikiran maju, dia memilih untuk jadi dokter kandungan—karena lebih banyak diperlukan oleh banyak orang."

"Serius?"

Kamu terkekeh sambil menggeleng. "Itu bohong, hehe. Tapi kalau mau percaya juga nggak apa-apa sih."

Aku mencebik kesal. "Kamu ih, suka bercanda terus!"

"Maaf, maaf." Dua detik setelahnya tatapan kamu serius. Duality yang kamu pancarkan begitu selalu membuatku takjub. "Emangnya mimpi kamu apa?"

"Aku baru punya mimpi itu ketika orangtua Aliya datang ke sekolah, marah-marah karena anaknya di-bully sama manusia-manusia necis di Tirtayasa."

Kamu menatapku dengan lamat.

"Karena itu, Aliya udah nggak di-bully lagi cuma karena pernah ada kutu di seragam sekolahnya. Sampai sekarang dia aman-aman aja, 'kan?"

Kamu menyentuh pipiku lembut. "Kamu pengin punya orangtua?"

Entah kenapa saat itu perasaan iba merasuk ke hati. Tanpa sadar air mataku mengalir. Sambil mengangguk, aku menyeka air mata.

Kamu mendekapku seketika.

"Hanni, aku yakin, Allah punya alasan untuk itu." Kamu mengelus kepalaku. "Sayang, kamu mau dengar cerita nggak?"

"Cerita apa?"

Kamu tersenyum ragu. "Cerita dari Ustadz Khalid Basalamah."

Madd, setiap kali kamu bercerita tentang ajaran-ajaran Islam, aku selalu membayangkan bahwa kelak, kamu akan menceritakan pelajaran-pelajaran itu dengan memakai baju koko dan kopiah putih—tidak lupa jenggotmu yang mulai memanjang—kepada anak-anakmu.

Aku selalu antusias, karena caramu bercerita itu begitu tenang, seakan setiap kata yang kamu keluarkan itu penting untuk didengar.

"Go ahead."

"Suatu hari, ada sebuah keluarga miskin. Di hari itu, sang ibu sudah menyediakan makanan di meja makan. Namun, ketika keluarga ini hendak menyantap makanan tersebut, tiba-tiba pintu rumah mereka ada yang mengetuk.

Ternyata, mereka kedatangan keluarga miskin lain yang sedang kelaparan. Kemudian sang suami yang bertaqwa kepada Allah SWT menyuruh istrinya untuk memberikan seluruh makanan kepada keluarga miskin tersebut.

Lalu, pada malam harinya, anak-anak mereka sudah mengeluh kelaparan. Sang istri juga sudah bertanya kepada suaminya tentang makanan sebagai pengganjal lapar.

Suami ini pada pukul 02.00 dini hari berangkat ke masjid untuk melaksanakan Shalat Tahajud. Dia berdoa meminta makanan kepada Allah SWT. Doa itu ternyata dikabulkan oleh Allah SWT saat itu juga.

Dia didatangi seorang raja yang sudah sepekan ingin bertobat kepada Allah SWT. Raja bingung mau pergi kemana. Akhirnya pada malam tersebut, raja pergi dengan membawa sekantong uang emas dan sekantong makanan terbaik dari istana.

Dia berserah kepada Allah SWT. Dia kemudian pergi menggunakan kuda, tanpa memakaikan tali untuk menuntun kuda tersebut. Ternyata, kuda itu mampir ke masjid, tempat dimana kepala keluarga dari keluarga miskin itu shalat Tahajud.

Raja itu kemudian mendengar keluh kesah dari kepala keluarga itu dan memberi sekantong emas serta makanan yang dibawanya dari istana. Sejak awal keluar membawa hartanya, raja tersebut memang sudah berniat sedekah. Namun kepada siapa dia bersedekah, raja itu berserah dan Allah SWT menggiringnya ke arah masjid tersebut."

"Jadi, harta itu dikasih ke sang kepala keluarga?"

Kamu mengangguk. "Intinya, meminta sesuatu agar nikmatnya ditambah atau dipertahankan itu pahalanya lebih besar daripada ketika cobaan sudah datang lalu baru minta diangkat cobaan tersebut. Nikmat Allah bukan cuma kasih sayang orangtua, Hanni. Kamu tetap sehat, diberi ingatan yang kuat, dan dikelilingi orang-orang baik juga sebuah kenikmatan."

"Aku kurang bersyukur, ya?"

Kamu cepat menggeleng. "Nope. Maksudnya, sebagai manusia kita harus tetap mensyukuri apa yang telah Allah berikan. Percayalah, suatu hari kamu akan menemukan arti penting kenapa Allah memisahkan kamu dengan orangtuamu."

Di saat yang sama, keinginanku untuk memiliki orangtua kembali meningkat. Aku hanya ingin merasakannya sekejap. Aku bukannya berada di pihak kontra dalam cerita itu, tapi karena mimpi cuma ada satu di dalam hidupku. Maka dari itu, ketika ada sepasang suami istri yang mencari seseorang untuk diangkat sebagai anaknya ke panti, aku yang paling pertama maju.

Alasan pentingnya juga karena mereka keturunan bumi Minangkabau. Sehingga aku bisa banyak belajar tentang adatmu yang kental dengan ajaran-ajaran agama.

Agar aku bisa menjadi sosok yang Bunda harapkan. []

How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang