Epilog

113 15 1
                                    

HUAA akhirnya ending! Terima kasih banyak untuk kalian, yang sempat-sempatnya membaca kisah ini. Terima kasih atas support kalian semua. Percayalah, aku bahagia banget telah membagikan kisah Maddrian kepada kalian. <3

Jujur, dadaku sakit banget waktu nulis cerita ini. Sejak awal aku ragu karena tema yang aku angkat sensitif, tapi semoga kalian bisa memahami pesan moralnya, ya!

Happy reading dan sampai jumpa di ceritaku yang lain!

Happy reading dan sampai jumpa di ceritaku yang lain!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

Aku pernah iseng membaca novel milikmu dengan judul What If, karya Morra Quatro. Satu-satunya novel non-wattpad yang kamu punya. Di sana mengisahkan dua orang yang berbeda agama, bernama Piter dan Kamila. Aku tidak terlalu ingat alur ceritanya, tapi aku masih ingat sampai sekarang perdebatan-perdebatan yang mereka alami terlalu kompleks. Mereka saling mencintai, tapi mereka memiliki sekat tinggi dan itu menyinggung keyakinan.

Aku suka prinsip Piter, yang tidak peduli dengan keadaan, memercayai bahwa dua orang yang saling mencintai akan selalu bersama selamanya.

Sampai di satu halaman, aku setuju pendapat Piter yang berucap tegas setelah Kamila berusaha menjauh.

"Serius, Mil? Kamu benar-benar membiarkan itu jadi masalah? Kalau berbeda, tidak boleh saling mencintai? Lalu bagaimana ... bila after all this time, cuma kita yang bisa saling melengkapi satu lain?"

Kamu pernah bilang, sifat Piter persis sepertiku; lembut, perhatian, dan keras kepala. Karena dialog itulah aku percaya dengan pendapatmu dan tergugah untuk membaca novel romantik itu sampai ending.

Perihal mencintai, itu urusan hati. Tidak ada yang boleh melarang karena hati kita bukan robot yang bisa diatur atau disetel ulang. Aku sangat setuju dengan ucapan Piter itu, bahwa dalam beberapa hal setelah mencintai kita hanya harus percaya untuk selalu bergandengan tangan. Persetan dengan aturan-aturan yang ada di bumi.

Sama sepertiku yang berusaha mempertahankan kita walaupun Bunda melarang keras agar tidak mencintaimu. Aku bahkan telah kehilangan Anton, tapi aku tidak peduli karena aku hanya ingin kamu selalu berada di hidupku, Hanni.

Sekalipun aku mendengar pembicaraan Bunda dengan Ayah perihal dirimu yang ternyata adikku. Aku tetap membawa kapal ini secara ugal-ugalan. Kamu tidak boleh pergi dari hidupku, tidak peduli jika orang-orang mengetahuinya dan mengatakan bawah diriku sosok incest.

Aku paham sejak dulu; bagaimana Allah, Rasulullah, dan adat kita melarang berhubungan sedarah. Sebab, dalam aturan medis itu akan membawa petaka, salah satunya keturunan yang dihasilkan akan cacat. Aku paham betul konsekuensinya.

Anak hasil hubungan sedarah akan memiliki keragaman genetik yang sangat minim dari DNA-nya. Kurangnya variasi dari DNA dapat meningkatkan peluang terjadinya penyakit genetik langka. Hal ini juga bisa membuat sistem kekebalan tubuh anak melemah.

Pada pembentukan sistem kekebalan tubuh, ada komponen penting dalam DNA yang disebut Major Histocompatibility Complex (MHC). MHC terdiri dari sekelompok gen yang bertugas sebagai penangkal penyakit.

Agar MHC bisa bekerja dengan baik, keanekaragaman alel (varian gen) harus sebanyak mungkin. Semakin banyak alel dalam tubuh, akan semakin baik kerja tubuh untuk memerangi penyakit. Lagi-lagi, anak akibat pernikahan sedarah memiliki rantai DNA yang tidak variatif. Alhasil, jumlah dan keberagaman alelnya sedikit.

Alel MHC yang terbatas akan membuat tubuh kesulitan dalam mendeteksi zat-zat asing. Dampaknya, individu yang memiliki kondisi ini akan lebih cepat jatuh sakit karena imun tubuhnya tidak dapat bekerja dengan optimal.

Hanni, sungguh, kenapa kita harus ditampar fakta menyakitkan ini sehari sebelum kita akan menikah?

Kalau bisa memilih, aku ingin kita tetap hidup seperti biasanya. Tidak masalah jika kita memiliki keturunan yang cacat. Aku hanya ingin kamu, Hanni. Kamu yang telah memberi warna di hidupku yang abu-abu. Kamu yang memberi semangat ketika aku dipecundangi dunia. Kamu yang selalu ada di saat terpuruk.

Aku ingat, untuk pertama kalinya kamu menarik tanganku ke ruang musik setelah aku menceritakan betapa rindunya aku memerik senar gitar. Saat itu harusnya kita mengikuti ulangan Matematika setelah jam istirahat selesai, tapi kamu menyuruh agar kita bolos saja. Tidak mengikuti satu pelajaran itu tidak akan memengaruhi kemampuan kita juga. Nilai hanyalah angka.

Kamu menarik tanganku di sepanjang koridor, mengabaikan tatapan orang-orang. Aku juga bimbang menuruti permintaanmu, sebab seumur hidup, aku tidak pernah melakukan bolos di jam pelajaran.

"Pintunya terkunci?" tanyaku ketika kamu menggerakkan daun pintu, tapi tidak terbuka. "Kalau nggak bisa kapan-kapan aja."

"Nggak, Madd. Aku dari dulu banget pengin ngajak kamu ke sini."

"Dari dulu?"

"Iya! Sejak aku lihat covermu di kanal YouTube SMP-mu dulu! Kamu punya skill, apalagi suaramu juga bagus, Madd! Makanya, bentar, tunggu di sini. Aku bakal cari usaha buat dapetin kunci ruangan ini."

Kamu berlari ke ruang para guru. Selama lima belas menit aku menunggu di depan ruang musik. Kamu begitu effort hingga membuatku berkali-kali menggeleng. Itulah kamu. Dengan caramu tersendiri aku bisa merasakan kehangatan. Aku bisa melupakan semua masalah di hidupku.

Kamu tergopoh-gopoh datang dengan membawa kunci lalu segera membuka pintu.

"Nih, gitarnya." Kamu mengambil gitar yang ada di salah satu lemari. "Ayo mainin."

Aku terkekeh, menghela napas panjang. "Kamu ini ... kenapa bar-bar banget sih? Padahal aku cuma bilang kangen main gitar doang."

"Karena itu, makanya harus segera direalisasikan! Jadi manusia jangan terlalu kaku deh," protesmu sambil bersungut. "Nah, ayo, sekarang nyanyiin aku sebuah lagu."

"Aku udah lupa cara mainnya."

"Madd...." Kamu melotot sambil meletakkan tangan di kedua pinggang. "Please."

Aku awalnya gugup karena sudah lama tidak menyentuh gitar. Namun, karena ini permintaanmu aku tidak kuasa untuk tidak melakukannya. Aku masih ingat semua kunci gitar. Lantas, ketika kekakuan jemariku mulai kembali lentur dan mulutku bisa bernyanyi, aku merasa hidup kembali.

Lagu Marry Your Daughter aku senandungkan di hadapanmu yang senantiasa tersenyum selama aku bermain gitar. Seharusnya aku menyanyikan ini di hadapan ayahmu, bukan? Kamu bahkan sempat merekamku menggunakan ponsel dan itu tidak masalah. Mungkin satu-satunya masalah saat itu adalah ketika kamu mendadak memelukku setelah permainanku selesai. Erat, hangat, dan menenangkan.

"Madd ... it's beautiful. You are musician."

Aku terkekeh.

Kemudian, setelahnya kamu mengecup pipiku. Tanpa aba-aba.

"Hanni?" tanyaku sembari membulatkan mata. "Yang tadi—"

"Itu bayaran dariku karena kamu udah bikin aku baper parah."

Percaya atau tidak, itulah kenangan yang terlintas di benakku saat malaikat perlahan mengambil nyawaku.

Hanni, maaf, aku telah meninggalkanmu dengan cara seburuk ini. Maaf jika aku tidak bisa menemanimu lagi. Maafkan aku yang ngeyel ini. Maafkan aku yang tidak pernah jujur padamu bahwa selama ini aku selalu menahan kesakitan sendiri. Aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir.

Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu tabur di dalam hatiku yang gersang.

Hanni, sampai kapanpun segala kenangan tentangmu akan selalu kuputar.

Selamanya. []

How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang