Bab 11 - You Are Too Special

87 21 0
                                    

Bab ini khusus 18+, under dari itu maaf jangan baca dulu, ya!

Cerita ini udah mulai masuk konflik, jadi aku mohon kita tetap bersama sampai ending!

Terima kasih! (っ.❛ ᴗ ❛.)っ

)っ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

Gagal.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mencintaimu, Madd.

Melupakanmu adalah hal yang paling berat. Seringkali aku berusaha untuk melupakanmu, tapi di saat itu juga kenangan yang pernah ada di antara kita merusak keinginan itu. Aku mencintaimu terlalu dalam, sama sepertimu saat melihatku di kafe yang sama-benar-benar mengejarku saat aku berusaha hilang dari hidupmu, seakan kamu hanya bisa hidup jika kita berdua. Padahal aku telah menyakitimu.

Ketika tiba kamu mendadak hadir di balik pintu, yang sungguh-sungguh kukira dari tukang paket langganan Ibu, aku tak kuasa untuk luruh ke dalam pelukanmu. Di saat itu aku sadar, kata putus yang terucap dari bibirku sekedar tameng agar aku kuat hidup tanpamu. Kamu sadar itu, karena kamu juga yakin aku tidak akan pernah bisa mencintai pemuda selain dirimu.

Kita terlalu lekat. Mungkin kamu tidak pernah ingat saat-saat kita terperangkap di ruangan itu-untuk kali pertama kamu mabuk karena ayahmu di bumi Minangkabau sana memaksamu agar menemuinya, menggantikan seluruh pekerjaannya sebagai buya. Kamu adalah tipe orang yang keras kepala, tapi ketika keras kepalamu berbenturan dengan orang lain, kamu selalu mengalah dengan melakukan hal-hal tak terduga.

Rokok tidak membantu sama sekali.

"Madd, ayo kita pulang."

Beruntunglah Lars dan Jens Eilstrup Rasmussen itu hidup di dunia, kakak-beradik asal Denmark yang berhasil menciptakan goggle-maps, karena dengannya aku bisa tahu di mana kamu malam itu.

Kamu menenggak minuman itu seolah tidak bisa berhenti. Kamu menuangnya ke dalam gelas dengan tatapan kosong, tapi aku yakin kepalamu riuh dengan pertengkaran yang telah terjadi di antara keluargamu yang berantakan. Kamu paling benci berdebat, terlebih saat harus melihat orangtuamu bertengkar karena dirimu.

Aku menjauhkan botol dan gelas itu dari hadapanmu. Aku ingat sekali wajahmu begitu merah padam akibat reaksi yang terjadi. Kamu menatapku lama sebelum kamu tertawa lalu tanpa kusangka kamu berdiri hanya untuk menciumku tanpa ampun, tanpa sempat membiarkanku meraup oksigen dengan tenang.

Dalam satu ciuman itu. Satu ciuman lagi. Kamu merebahkanku ke atas sofa burgundi dengan napas yang memburu, sementara tubuhku kian terdesak ke sudut sofa.

Aku menunggu dengan tidak sabar waktu tanganmu merambat ke seputar rusukku.

Sama sepertimu, yang aku tahu saat itu, aku sangat ingin melakukannya denganmu.

"Madd-"

Kamu membekap mulutku. Percakapan tidak penting di saat-saat seperti itu.

"Aku ingin melakukannya sekali sebelum kita menikah," katamu tiba-tiba. "Sama seperti temanku yang bahkan udah pernah melakukannya sebanyak dua belas kali dengan pacarnya."

Kamu setengah sadar.

"Konsekuensinya bukan hanya ke sosial, tapi hubunganmu-"

"Shh, diam, Sayang."

Aku terhanyut oleh embusan napasmu yang menerpa wajahku.

"Kenapa?"

"Karena you are too special."

Setelahnya, aku bisa merasakan cinta murni darimu, yang kutahu pasti lebih berarti dari kenikmatan orgasme yang kita rasakan.

Sejak saat itu, kamu makin protektif dan manja kepadaku. Kamu tidak pernah membiarkan seorangpun laki-laki masuk ke hidupku. Kamu memblokir semua akun mereka yang berusaha berkenalan denganku di akun sosial mediaku.

Aku tidak tahu apakah kamu ingat atau tidak, tapi, Madd, dalam hidup itu ada batasan-batasan yang bahkan kamu sudah hafal semua aturan itu di luar kepalamu. Sama seperti sekarang, ketika kamu telah berani membentak Bunda setelah Bunda kembali menolakku untuk ke sekian kali.

"Bunda ndak pernah tau apo yang Madd rasokan! Bunda ndak akan picayo kalau Madd cuma bisa hiduik jo Hanni! Di kapalo Bunda, Hanni itu selalu buruak, padahal Madd surang nan marasoan! Hanni selalu bisa memahami apo nan Madd inginkan, indak seperti Bunda nan taruih mengekang Madd!"

Seharusnya kita datang ke rumah ini untuk membuat tugas karya tulis ilmiah tentang asal-usul makhluk hidup, bukan untuk ini, Madd. Aku sungguh tidak ingin melihat kamu bertengkar dengan Bunda.

"Telponlah Apak ang kini! Sabuik ka inyo kalau ang alah tasasak ka babini! Ang minta restu, 'kan? Nah, tanyo inyo dulu, kalau buliah baru Bunda ikuik pulo!" Bunda membenarkan letak hijabnya sebelum pergi ke kamar lalu membanting pintu dengan sangat keras.

Aku hanya bisa mengusap punggungmu ketika air matamu turun ke pipi. Aku tidak berani menginterupsimu, karena kamu tidak akan bisa diinterupsi.

"Hanni," ucapmu sembari menatap mataku dengan lekat. "Kamu mau hidup bersamaku tanpa restu dari orangtuaku?"

Aku menggeleng pelan.

"Kenapa?"

"Karena hidup memiliki aturan, Madd."

Setelah mendengarkan jawabanku, kamu kembali menangis. Kali ini lebih sesak dan aku tahu kamu benar-benar ingin kita bersama selamanya. []

How Madd Lost His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang