1

38.2K 1.5K 31
                                    

Pagi hari biasanya disibukkan dengan orang-orang yang berangkat kerja. Semua angkutan umum menjadi sangat padat. Berdesak-desakkan adalah hal lumrah.

Sekiranya itulah yang dirasakan Alva, bocah 6 tahun yang sudah merasakan kerasnya kehidupan. Bukan tanpa alasan. Hidupnya kini hanya berdua dengan sang kakek. Alva sudah mulai mengerti beban berat yang dipikul kakeknya. Maka dari itu, Alva memaksa untuk menggantikan pekerjaan beliau, penjaja makanan keliling.

Kurang lebih 2 bulan Alva menjalani pekerjaannya. Dan selama 2 bulan itulah kakeknya selalu memaksa Alva untuk diam saja dirumah. Serenta apapun dirinya, ia tidak akan pernah memperbolehkan cucu satu-satunya bekerja seperti ini. Namun bukan Alva namanya kalau tidak nekat.

Setiap pagi, dirinya mengendap keluar rumah lewat pintu belakang. Kakeknya memang jarang mengunci pintu tersebut. Kesempatan ini Alva gunakan untuk bisa pergi berjualan.

"Dek, mau kemana sayang? Orangtuamu mana?"

Baru saja duduk, Alva sudah ditanya oleh salah satu penumpang. Ia meremat baju sambil berucap pelan, "Saya sendili, bu. Ini mau jualan."

Tak hanya ibu itu, penumpang yang lain juga merasa iba. Mau membantu tapi keuangan mereka juga pas-pasan. Akhirnya salah satu penumpang berbaik hati membeli 2 jenis jajanan di keranjang kecil yang Alva bawa.

"Belum ada kembalian, bu." Alva hapal semua jenis uang dari warna dan angka nol. Jajanan yang ia perjualkan seharusnya hanya dibayar dengan uang berwarna abu-abu dan 3 nol. Namun ibu ini memberikan uang berwarna biru tua dengan nol yang Alva tidak yakin ada berapa. Ia asumsikan uang ini memiliki nominal besar.

"Buat kamu saja. Anggap itu hadiah dari ibu." Alva mengangguk senang. Belum sempat mengucapkan terima kasih, ibu-ibu tersebut sudah keluar dari bus. Semoga ia dan ibu tersebut dipertemukan kembali di lain waktu.

                             ***

"Leo Nathaniel Altezzio! Hadap daddy-mu sekarang juga!"

Tidak perlu mencari tau sumber suara, semua orang di mansion tersebut sudah hafal. Satu-satunya orang yang bisa berteriak seperti itu hanya sang kepala keluarga, Mattew Altezzio.

Kalau bukan karena anak bungsunya yang terlampau nakal, Mattew tak akan rela berteriak seperti orang gila di kediamannya sendiri.

Leo—bungsu yang tidak pernah mau menjadi bungsu—hanya mendengus kasar. Kadang ia heran, daddy-nya seperti tidak pernah muda saja. Hal-hal ajaib yang ia lakukan masih dalam batas wajar. Kenakalan remaja orang-orang bilang. Biasa saja 'kan?

"Maaf tuan Leo, fasilitas anda akan dicabut tuan besar jika dalam 5 menit anda tidak turun ke bawah."

Pengawal pribadi si bungsu—Edgar—berusaha mati-matian agar keributan ini cepat usai. Ia turun ke bawah untuk menenangkan Mattew dan lari ke atas lagi untuk membujuk Leo. Sungguh, semua ini sangat melelahkan.

Leo menyugar rambutnya ke belakang. Tak lupa ia sisir bagian samping kanan dan kirinya agar lebih rapi, "Tarik saja. Masih ada grandma yang menafkahiku."

Ia berujar sangat tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Dan soal grandma, itu benar. Ketiga anak Mattew selalu berlindung dibalik kekuasaan sang nenek. Terlebih lagi Mattew tidak kuasa menolak setiap perintah ibunya.

"Tapi tuan, Nyonya Grisella kali ini bersekongkol dengan tuan besar. Jadi jika tuan besar menarik semua fasilitas anda, maka Nyonya Grisella tidak akan membantu apapun."

Ah, sial sekali nasib Leo kali ini. Ia tidak punya pilihan. Maka dengan berat hati ia langkahkan kaki menuruni tangga ke lantai bawah. Terpampanglah wajah keruh Mattew. Para maid  dan pengawal menundukkan kepala. Terlampau takut hanya untuk menatap kilatan amarah tuan mereka.

ALVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang