"Yon, gue denger-denger lo punya adik ya?"
Dion mengangguk pelan. Matanya masih terfokus pada laman internet yang menunjukkan foto baju lucu anak-anak, "Iyalah. Leo kan emang adik gue. Ya meskipun sebenernya ogah ngakuin dia adik."
Sahabat karibnya, Elang, mendengus. Bukan itu yang ia maksud. Dia juga tau kalo Leo adik Dion. Yang menjadi pertanyaan adalah terdapat seonggok makhluk kecil di ruangan bermain dengan kaca tembus pandang sedang bermain dengan hebohnya. Elang asumsikan itulah bungsu baru keluarga Altezzio yang kini menjadi desas-desus di kalangan pebisnis setelah kejadian Mattew diserang beberapa waktu lalu.
"Gue ga nanya Leo."
Pandangan Dion pun beralih menatap Elang. Kedua alisnya bahkan mengerut tajam, "Jangan bilang Alva udah terkenal—"
"Emang. Bonyok gue sampe ngomongin dia dua puluh empat jam. Dari foto yang mereka dapet sih katanya itu anak lucu. Eh beneran ya ternyata. Malah lebih lucu aslinya." Potong Elang seraya menunjuk ruangan tembus pandang paling ujung. Dion tersenyum melihat kesayangannya tertawa bahagia seperti itu.
"Lagian kenapa sih anak selucu dia dikurung terus? Om Matt ga kasihan apa? Sekali-kali dikenalin ke yang lain."
Pernyataan Elang membuat Dion tercekat. Bukan. Bukan tega atau bagaimana, seperti yang sudah dibilang, Alva adalah permata berharga. Selayaknya permata, mereka ingin menjaga dan melindungi Alva untuk selamanya. Jika dibiarkan bebas, mereka hanya takut permata itu terluka atau bahkan hilang. Dan kalau sampai itu terjadi, sisa penyesalan yang ada dalam hidup mereka.
"Alva terlalu murni dan polos. Ga cocok bergaul sama orang-orang kotor kayak lo."
Bibir Elang gatal sekali ingin mencaci maki orang sok ganteng di sampingnya ini. Sebelum akhirnya objek percakapan mereka datang menghampiri, "Kak Dion! Main sama Apha—eh.. ada olang lagi.."
Sebenarnya Alva tidak masalah akan kedatangan teman-teman kakaknya ke rumah. Ia justru senang karena sudah semingguan ini bermain dengan teman kakak-kakaknya. Tapi yang jadi masalah adalah Alva terlalu malu jika bertemu dengan orang baru.
Kemarin saja ketika teman-teman Leo berkunjung, butuh waktu 3 jam agar Alva mau bermain dengan mereka.
"Kenalin, gue Elang. Jujur boleh ga? Lo imut banget."
Dengan tidak sopannya Dion menepuk mulut Elang dengan ponsel yang sedang ia pegang, "Adik gue ga kenal kosakata kayak gitu. Ngomong yang sopan."
"Kakak ndak boleh pukul-pukul!" Yang Dion lupa, masih ada Alva disitu. Melihat dengan kedua mata besarnya yang penuh amarah.
"Ga dipukul sayang, nih liat. Cuma ga sengaja kesenggol aja." Jelas Dion sambil mengulang kejadian tadi. Bilangnya sih kesenggol, namun sakit yang Elang rasakan tampak sangat nyata. Bibirnya terasa kebas sekarang.
Alva tak tega. Ia mendekati kakak bernama Elang itu dan mengusap-usap bibirnya, "Maapin kak Dion ya, Elang. Kakaknya Apha ndak sengaja.."
Selama hampir dua puluh tahun hidupnya, Elang tidak pernah sesenang ini. Maklum, jarang diperhatikan. Sekalinya diperhatikan apalagi sama makhluk lucu bersertifikat langsung terbang melayang. Dion hanya tersenyum miring. Belum tau saja ia beserta keluarga sudah diperlakukan Alva lebih dari itu.
"Iya, aku gapapa. Makasih ya udah perhatian. Besok ngedate yuk!"
Maka Dion tak segan mengambil bantal cukup besar dan menimpuk wajah Elang sampai mampus.
***
Hari ini Alva mulai sekolah. Tentu privat dengan hanya mengundang guru ke rumah. Mattew dan perintilannya tidak akan membiarkan Alva keluar tanpa sepenglihatan mereka. Meskipun sekedar sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVA
Teen FictionHanya tentang Alva yang tak sengaja terperangkap dalam keluarga Altezzio.