Mattew menggeram pelan. Setumpuk kertas berupa catatan dari psikolog telah ia terima. Beberapa kali mengumpat karena dirinya yang tidak peka akan banyak hal, berimbas pada tumbuh kembang sang anak yang sedikit terhambat.
"Dad, makan yuk. Dion udah masakin ayam lho."
Sudah dua jam seperti ini. Dion tidak tinggal diam. Ia membujuk Leo agar mau mendobrak pintu kamar Mattew, "Ayo dong Le. Sekali ini aja gue minta tolong sama lo."
"Pintu kamar daddy paling tebel diantara kita semua. Waktu itu Edward dobrak aja keliyengan dia. Apalagi gue?"
Dion berdecak, "Ini cuma pintu kamar bukan pintu brangkas. Gaakan bikin badan lo hancur lebur. Dobrak cepetan!"
Meskipun malas, Leo tetap menuruti permintaan kakaknya. Ia menyiapkan tenaga sebelum akhirnya..
"Lho Leo? Suruh siapa kamu rebahan depan kamar daddy?"
Tepat sebelum beraksi, Mattew sudah duluan membuka pintunya dari dalam. Alhasil Leo jatuh dengan posisi tengkurap.
Hal itu mengundang tawa kecil dari Dion. Ia membantu sang adik untuk berdiri walau berakhir dengan kekehan geli, "Tadi Dion nyuruh Leo dobrak pintu daddy. Dion takut daddy kenapa-kenapa di dalem. Eh malah begini jadinya."
"Ya sudah. Panggil semua ke meja makan. Kita makan bersama."
Belum sampai meja makan, Keenan menahan sang ayah dengan tatapan menusuknya, "Apa maksud daddy bentak Alva?"
Mattew total diam. Kali ini ia tidak berani membalas tatapan lawan bicaranya. Nyalinya ciut duluan.
"Bang udah bang, kita makan dulu aja ya. Biar daddy ngasih perutnya asupan. Urusan itu kita bahas nanti."
Keenan berdecak kesal, "Kita bicarain di ruang kerja daddy nanti."
***
"Lo kenapa sih Ken diem mulu? Biasanya juga cerita tentang adek lo. Siapa sih namanya? Alva ya?"
Enggan menjawab, Keenan hanya melirik teman-temannya yang penasaran akan si bungsu. Wajar, selama ini dirinya selalu membanggakan apapun yang adik kecilnya lakukan.
"Bukan urusan lo pada. Rokok mana rokok? Asem mulut gue."
Keenan perokok aktif. Tidak ada yang tau kecuali teman-teman dekatnya. Itupun karena di semester pertama kuliah, ia ketahuan merokok di rooftop gedung.
Tapi tenang, Keenan tidak pernah menunjukkan benda terlarang itu pada si kecil. Ia sudah berjanji dan akan selalu ditepati.
"Lain kali beli. Tajir doang rokok masih ngemis."
"Ba? Cot."
"Heh! Mulut!" Tegur seorang teman dekat Keenan. Hanya dialah yang bisa menegur si anak tajir dengan santai.
Jeremiah Hardianto. Biasa dipanggil Jery dan tidak suka ditanya 'lho Jery? Tom nya kemana?'
"Percuma Jer. Ini anak nurutnya sama kesayangannya doang."
"Rey! Mulut lo gue sumpel ya lama-lama."
Nah yang satunya lagi bernama Rey. Punya nama panjang tapi tidak mau diekspos. Takut banyak media menyoroti katanya.
Kalau Jery adalah teman Keenan yang bijak dan lurus, maka Rey merupakan kebalikan dari semua itu. Ibarat jalan, Rey sudah belok meliuk hingga jurang.
"Gue aduin Alva ya kalo lo macem-macem."
Andalannya Jery. Mengancam dengan embel-embel 'Alva' agar Keenan menurut. Dia tau bahwa Keenan super duper bucin akut.
"Ngancem mulu bisanya. Iya gue diem." Ujar Keenan seraya mendumel pelan. Jery maupun Rey hanya terkekeh. Mengejek si paling muda adalah hal menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVA
Teen FictionHanya tentang Alva yang tak sengaja terperangkap dalam keluarga Altezzio.