2

20.6K 1.3K 13
                                    

Sementara itu, di sisi lain...

Sudah siang dan perut Alva berbunyi kencang sekali. Lapar rasanya. Kepalanya dimiringkan ke kiri dan ke kanan, berusaha melihat apa saja yang bisa dibeli dengan 3 tumpukan uang hasil berjualannya hari ini.

"Pelmisi pak, Alva boleh beli nasinya?"

Bapak-bapak penjual nasi itupun tersenyum senang. Akhirnya, setelah menunggu berjam-jam ada juga yang membeli dagangannya.

"Adek mau yang mana? Ada yang 5 ribu, 10 ribu, dan 15 ribu. Tinggal pilih."

Alva berpikir keras. Bolak balik melihat uang di tangannya dan pilihan nasi. Kalau ia membeli nasi seharga 5 ribu, uang hasil keringatnya hari ini akan sisa seribu saja. Kakek pasti kecewa. Tapi lapar di perutnya juga sudah mengamuk, "Alva beyi ima yibu, pak. Ini uangnya."

"Ini dek kembaliannya. Terima kasih ya."

Alva balas tersenyum tulus. Dengan bahagia ia berjalan menuju samping toko dekat penjual tadi. Hendak memakan nasi yang makin membuat perutnya bunyi sebelum seseorang menginterupsi, "Hei! Pergi kamu! Pengemis dilarang duduk disini. Bisa baca ga sih?! Pergi sana!"

Alva tersentak. Diliriknya ibu-ibu yang ia yakini pemilik toko itu. Matanya nyalang penuh emosi. Bukannya takut, Alva justru cuek dan mulai membuka bungkus nasi. Lapar diperutnya tidak bisa ditahan lagi. Urusan ibu-ibu ini nanti dulu.

"Heh! Budek ya kamu! Ga denger tadi saya bilang apa?! Pergi bangsat!!"

Duk!

Kepala Alva pusing seketika. Terkena gagang sapu ibu pemarah yang kini menendang kakinya cukup keras, "Pergi kamu! Pergi!! Dasar miskin! Toko saya anti orang miskin kayak kamu!!"

Dan jatuhlah nasi bungkus itu didepan mata Alva. Padahal baru suapan kedua, tapi sudah berhamburan begitu saja. Ditambah harus menahan sakit sekujur tubuh karena ditendang-tendang. Alva ingin menangis..

"Maaf, bu. Alva pegi ya. Maaf sekayi."

                                 ♤♤♤

"Ya Tuhan.. Alva kamu kenapa sayang? Kenapa kotor begini? Tangan dan kakimu juga kenapa Alva? Jawab kakek!"

Alva diam saja. Matanya sudah agak rabun karena airmata. Kalau mendongak sedikit saja, ia yakin airmatanya akan turun deras.

"Gapapa, kek. Tadi Alva jatuh. T-tapi.. nasi Alva.."

Buyar sudah pertahanan bocah kecil itu. Tangisannya cukup kencang hingga sesenggukan. Kakek panik. Ada apa dengan cucunya?

Alva pun bercerita tentang apa saja yang ia alami tadi. Terkecuali bagian ia diusir dan ditendang, ia ganti dengan dirinya jatuh karena lalai dalam melihat sekitar.

"Sudah, tidak apa. Lain kali Alva jalannya yang serius ya, jangan lalai lagi. Lagipula kenapa kamu masih nekat berjualan? Kakek sudah larang kamu kan? Alva tidak sayang kakek?"

Alva menggeleng kencang. Kakek yang melihatnya saja takut kalau kepala cucunya copot, "Alva sayang sekayi sama kakek. Kalena Alva sayang, Alva bantu kakek jualan. Kakek seying batuk-batuk, alva ga tega."

Kakek tersenyum miris. Merasa bersalah pada Tuhan. Ia yang seharusnya memenuhi kehidupan sang cucu, bukan kebalikannya. Terlebih di umur Alva yang sudah menginjak 6 tahun namun belum bisa berbicara dengan benar. Ia selalu menyalahkan dirinya atas tumbuh kembang Alva yang tidak sesuai usianya, "Alva, kakek juga sayang sekali sama Alva. Kakek justru lebih ga tega liat Alva jualan kayak tadi. Kamu masih kecil, Alva. Seharusnya dirumah saja, belajar yang rajin, biar kedepannya bisa sukses. Bukan jualan panas-panasan. Mulai besok Alva dirumah ya? Nanti kakek kasih hadiah pulang jualan. Oke?"

Dengan senjata menyogok, Alva akhirnya menurut. Dengan syarat kakek tak boleh pulang diatas jam 6 sore. Ia sangat tau tabiat kakeknya; tak akan pulang sebelum jualan habis.

"Abis ga abis, kakek hayus puyang ya. Alva mayah nanti."

Maka dengan segenap jiwa raganya, kakek mengangguk mantap. Yang terpenting Alva baik-baik saja dirumah.

                                  ♤♤♤

Berulang kali Alva mengecek jam dinding. Sudah jam setengah 6 namun belum ada pertanda kakek akan pulang. Hatinya gelisah.

Meskipun perkembangannya terlambat dari anak-anak lain, Alva termasuk peka. Ia memang belum bisa baca, tulis, bahkan berbicara dengan kosakata yang benar. Namun instingnya tajam. Ia merasakan ada sesuatu yang terjadi dengan kakek.

"Kakek kapan puyang.. sudah mau malam, kek.."

Sibuk dengan pemikiran buruknya, Alva tak sadar pintu rumahnya berulang kali diketuk. Ketika sadar ia langsung membuka pintu tersebut. Alangkah terkejutnya Alva melihat kakek tak berdaya di gendongan kakak tampan yang tidak Alva kenal.

"Kakek!"

"Maaf dek, saya ga sengaja lihat kakek ini lemas di jalan. Saya anter pulang tapi si kakek udah pingsan duluan. Mungkin kecapekan."

Bocah kecil itu mengangguk paham. Ia mempersilahkan kakak tampan untuk masuk. Kakek pun dibaringkan di kamar. Alva menatap sedih kakeknya. Seharusnya ia saja yang berjualan hari ini.

"Dek? Kamu tinggal cuma sama kakek?"

Alva menoleh. Untung kakak tampan ini bersuara. Alva hampir lupa kalau ada orang lain disini, "Iya, kak. Maaci uda antel kakek puyang."

Shit. Kenapa anak ini imut sekali? Kok bisa-bisanya ada makhluk seimut ini di bumi?

"Nama kakak siyapa?"

Yang ditanya pun sadar dari lamunan. Berdehem sebentar lalu menjawab, "Hai adek manis. Nama kakak Dion. Nama kamu siapa?"

"Alva. Nama aku Alva, kak. Syalam kenal ya."

Duh.. gabisa. Dion tidak bisa diserang dengan ucapan imut si bocil. Andai saja dirumahnya ada satu yang seperti ini, pasti hidupnya akan indah tiap saat.

"Kak? Kok bengong?"

Dion salah tingkah. Ia tersenyum malu sambil menggeleng. Sedetik kemudian ia mengeluarkan ponselnya, "Kamu kan cuma tinggal berdua sama kakek, dan sekarang kondisi kakek ga baik-baik aja. Alva punya nomer telepon kan? Coba ketik disini. Biar nanti kalau ada apa-apa, Alva bisa hubungin kakak. Kakak siap bantu Alva kapanpun."

Alva melirik ponsel itu sebentar, lalu menatap kakak tampan itu dengan wajah kebingungan, "Kakek pelnah bilang nomor teyepon, tapi Alva ga tau kak."

Dion juga ikutan bingung. Di lingkungannya, anak seusia Alva sudah pada mahir main ponsel. Bahkan hafal nomor masing-masing. Sangat berbeda dengan Alva yang tampak kebingungan.

"Alva inget kak! Kakek punya buku teyepon teyepon! Bental.. alva cayi duyu."

Tidak butuh waktu lama, Alva menyerahkan buku telepon milik sang kakek ke kakak tampan tersebut. Dion pun mulai mencatat nomor di ponselnya, "Oke! Kakak udah punya nomor kamu. Sekarang kakak catetin nomor kakak disini ya. Kalau ada apa-apa langsung telepon kakak."

Alva menurut saja. Selesai menulis, Dion langsung pamit pulang. Ingin rasanya menetap lebih lama tapi tugas kampus sudah menanti. Lain kali saja lihat Alvanya. Toh sudah punya nomor, kok.

Modus.

Tidak sadar saja Dion kalau ada seseorang yang memantaunya. Orang itu tersenyum puas dan berbicara di talkie walkie, "Rumah anak itu sudah ketemu, nyonya. Dan sepertinya salah satu cucu anda sudah mengambil garis start lebih awal."
























































Langsung ke part 2 hehe.

Aku tau begitu part ini dirilis, ga ada yang baca selain aku. Tapi kalau ada yang baca, tolong vote dan komen ya. Semua itu sangat berarti buat aku ❤️

Woves u all

ALVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang