16

7.2K 585 11
                                    

Sialan. Ingin rasanya Leo tendang abangnya berkali-kali. Bodoh lagian.

Alva menangis sepanjang perjalanan. Lalu dengan inisiatif Dion yang bodoh, dia menelepon Mattew. Padahal sudah Mattew bilang untuk tidak menyalakan mode komunikasi apapun. Nah kan, sekarang mereka pergi kemana coba? Mansion pasti sudah dikepung.

"Sekalinya punya inisiatif, lo malah tuntun kita ke jurang. Pinter amat."

"Gue lupa, Le. Yang gue pikirin cuma Alva biar tenang! Lagian hp udah gue buang pas musuh daddy yang angkat!"

Akhirnya gereja menjadi tempat singgah sementara. Mungkin sampai Edward dapat memastikan mereka bisa kemana.

"Udahlah, ga guna juga lo pada adu mulut. Ga bakal bikin masalah selesai. Lo ga liat yang lo pada debatin lagi pules?" Keenan menengahi. Menjadi anak pertama memang harus lebih dewasa. Terutama di situasi seperti ini.

Pandangan Leo dan Dion beralih ke Alva. Dipangkuan Keenan, makhluk kecil itu sudah tidur meringkuk. Jempol kanannya diemut sampai liurnya menetes. Lucu sekali.

Sesaat kemudian datang Edward dan beberapa bodyguard dengan napas terengah. Edward menjelaskan bahwa mereka tidak bisa terbang ke Indonesia saat ini, karena akan sangat beresiko. Sebagai gantinya, mereka akan dibawa ke rumah Grisella di Dubai.

Bukan berita buruk sebenarnya, toh rumah grandma mereka sangat nyaman. Tapi bagaimana dengan Alva? Nyonya tua itu pasti akan memonopoli Alva sampai mereka pulang nanti.

"Kapan kita bisa kesana?"

"Sekarang pun bisa tuan muda. Saya siapkan helikopter di helipad, tidak jauh dari gereja ini."

Keenan mengangguk. Ia memberikan Alva pada Leo, "Dion jalan paling depan, kamu tengah, abang sama Edward belakang. Ambil kursi paling tengah saat di heli nanti."

Leo mengangguk patuh. Mereka pun berjalan sesuai arahan hingga duduk manis di dalam helikopter.

"Ennan.. mau Ennan.." Si kecil rupanya sudah bangun. Mungkin karena proses terbang heli yang agak goyang.

"Ada apa sayang? Eh jangan ke abang!! kamu dipangku Leo dulu ya."

Antara sadar atau tidak, nada suara Keenan terdengar seperti bentakan. Alva yang mengira dirinya dimarahi hanya bisa menangis kencang.

"Duh! Abang! Ngomongnya jangan kayak ngebentak gitu! Ini Alva nangis lagi!"

"Sini biar Alva abang pangku." Final Keenan. Tolong, dia sendiri juga sedang pusing.

Berkali-kali Keenan menenangkan, namun tangisan si kecil malah lebih kencang. Tidak kehabisan akal, Keenan merapal beberapa permintaan maaf dan melakukan hal yang tak terduga.

Ia mencium bibir Alva, hanya kecupan tapi agak lama. Dan berhasil! Tangisan si kecil berangsur reda.

Dion dan Leo yang disuguhi pemandangan live seperti itu hanya bengong. Tidak berani mengeluarkan sepatah kata apapun setelah Keenan melayangkan tatapan tajam.

"Sst! Le! Lo mikir yang sama ga kayak gue?" Bisik Dion. Leo mengangguk samar.

"Ini kita laporin ke daddy apa gimana?"

Dion tampak berpikir lalu menggeleng, "Ga berani gue! Masih sayang nyawa. Lo aja."

Leo menatap kakaknya tak percaya. Ia ditumbalkan? "Lo aja ga berani apalagi gue! Tapi bang Keenan woi! Sempet-sempetnya kepikiran nyium si adek!"

Mata Dion melirik bagian belakang. Alva bersenda gurau dengan Keenan. Mereka tertawa lepas seakan lupa kejadian beberapa saat lalu, "Kalo gini gue yakin abang kita ga normal. Tapi masa iya Alva juga disikat? Anak sekecil itu Le.."

ALVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang