Pulang sekolah, lelah sekali. Hari ini ada lima mata pelajaran yang menguras otak. Dengan seragam dan kaus kaki yang masih terpakai, Alva rebahan atas sofa. Persetan dengan ocehan sang kakak yang super cerewet.
"Harus berapa kali abang bilang sama kamu? Lepas dulu seragam sama kaus kakinya, baru rebahan! Duh mana ini dapur berantakan banget.. kamu abis masak apa sih? Kan udah ada maid."
Keenan baru pulang kerja. Sebelas tahun berlalu tidak membuat wajahnya menua. Di usia yang memasuki kepala tiga, Keenan masih seperti dulu. Kadang Alva menaruh rasa iri. Bagaimana wajah tampan itu tetap terukir indah walau usia terus bertambah.
"Kenapa liatin abang kayak gitu?"
Jika dulu Keenan akan memaklumi setiap tingkah Alva, sekarang sudah jauh berbeda. Mungkin karena sekarang adiknya telah menginjak usia remaja yang harus ditegaskan.
Tapi bukan berarti kata-kata manis tidak ia lontarkan. Keenan masih gemar mencium, menyesap, serta memanggil Alva dengan sebutan manis lainnya.
"Gapapa. Abang kepedean!"
Dasar nakal. Kelinci kecilnya telah berubah ratusan derajat. Sesekali Keenan rindu dengan si manis yang masih polos dan tidak tau apa-apa.
"Kamu nih ya, lama-lama abang balikin kamu ke mansion. Mau?"
Alva menggeleng ribut. Ia jauh lebih suka disini, tinggal bersama Keenan walaupun dirumah yang lebih kecil dari tempat tinggal mereka dulu.
"Kenapa gamau? Kan daddy sendirian disana."
Tidak hanya Keenan dan Alva, namun Leo dan Dion juga telah memiliki rumah sendiri. Terlebih Dion yang kini telah melangkahkan Keenan untuk menikah lebih dulu.
Kata Dion abangnya yang satu itu betah menjadi perjaka tua. Ia tidak mau bernasib sama dengan Keenan.
"Kalo aku kesana, abang juga harus kesana. Kita kan harus selalu bareng, abang!!" Ucap Alva seraya mengapit lengan Keenan yang super kekar. Hasil latihan belasan tahun memang tidak mengkhianati.
"Kata siapa?"
Belum barang semenit, Alva langsung melepas apitan tangannya. Keenan terkekeh lalu menggenggam kedua tangan si kelinci manis, "Jangan ngambek ah. Udah gede juga. Masih mau dicium emangnya?"
Alva langsung memundurkan wajahnya. Mencegah Keenan yang ingin menempelkan kedua bibir mereka, "Aku udah gede ish! Malu!"
"Bilangnya malu, tapi tangan abang malah dipegang erat. Gimana sih.."
Iyakah? Alva melirik tangan mereka yang masih bertaut. Tak lama bibirnya terhantuk sesuatu yang kenyal. Menjalarkan rasa hangat di seluruh tubuh.
"Siapa tuh yang bilang gamau?" Ejek Keenan yang dihadiahi tendangan keras pada tulang keringnya. Sakit, serius. Meskipun imut, Alva juga laki-laki. Tenaganya tidak main-main.
"ABANG IH!! AKU BILANG KE DADDY BIAR GA DIIZININ TINGGAL BARENG AKU LAGI!"
Mampus.
Kira-kira beginilah kalo adik gemas kita dibikin remaja. Masih lucu ga nihh 🫣
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVA
Teen FictionHanya tentang Alva yang tak sengaja terperangkap dalam keluarga Altezzio.