"Bang, udahan ah. Mau sampe kapan diem depan pintu?"
Leo berulang kali menguap lebar. Mata yang sedikit terpejam itu ia paksa buka, "Mereka ga akan dateng sekarang. Kemungkinan lusa. Tau sendiri kan jauhnya ini tempat dari pusat kota?"
Keenan tidak mengubris ocehan tersebut. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana agar adik-adiknya bisa selamat. Info terakhir yang ia dapat, dua setan itu sudah berhasil mengepung markas utama Altezzio. Besar kemungkinan mereka akan sampai sini dalam hitungan jam.
"Kalian tidur duluan aja. Bisa bangun kan kalo ada suara ribut?"
Dion mendesah pelan, "Bang, rumah ini udah dijaga banyak orang. Diawasin pula sama belasan cctv. Istirahatin dulu fisiknya. Kalau sampe mereka dateng, seenggaknya abang udah siap tempur."
"Sekarang juga udah siap tem—"
"Halah. Mata lo kedip-kedip, bang. Gausah bohong. Lo perlu istirahat." Sanggah Leo dengan tatapan mengejek. Sedikit kesal dengan kakak tertua yang bebal minta ampun.
"Giliran kita yang jaga disini. Lo temenin Alva aja bang. Itu anak sendirian dikamar."
Keenan langsung beranjak dari sofa menuju lantai atas. Kesayangannya tidak boleh sendirian. Setidaknya untuk saat ini.
Tok tok
"Sayang? Abang izin masuk ya?"
Semakin hari si kecil nampak dewasa. Dewasa dalam artian 'tidak ingin diganggu privasinya'. Entahlah, mereka menurut saja. Yang penting Alva bahagia.
"Bentar, Ennan. Abis pipis."
Maka Keenan hanya bisa manut. Kepalanya ia senderkan ke pintu, sesekali terdengar suara ribut barang jatuh di lantai dan desisan pelan, "Ennan boleh masuk!"
Pemandangan yang pertama kali Keenan lihat adalah... tumpukan baju berserakan hingga lemari tidak bisa tertutup sempurna. Kepala yang dari awal pusing, tambah pusing.
"Sayang, kenapa bajunya berantakan gitu? Lemari juga kenapa nutupnya cuma setengah?" Ia rangkul si kecil dalam pelukan. Beberapa kali mengecup dahi adiknya guna mengontrol amarah.
"Maaf.. nanti Alva beresin."
Masih dalam posisi yang sama, Keenan mengangguk paham. Ia juga pernah seusia adik kecilnya. Sebab itu, ia tidak akan pernah mau memarahi Alva.
Setidaknya untuk saat ini.
"Ennan.."
"Hm?"
"Merah.."
Dahi si tertua mengeryit. Ia melirik kedua mata si kecil yang ternyata sudah membelalak dengan mulut terbuka. Posisi Alva memang menghadap jendela.
Keenan yang heran mengikuti tatapan takut sang adik. Sejenak terkejut namun instingnya langsung bergerak, "Sekarang kamu sembunyi di bawah kasur. Jangan keluar sebelum abang panggil. Paham, Alvarian?"
Ia pun mengangguk paham. Tubuhnya yang mungil sangat mudah masuk ke sela kolong kasur. Tak lama terdengar bunyi dobrakan pintu beserta suara Dion, "Leo disergap bang.. lo jangan ke bawah! Jaga adik kita disini. Gue udah panggil regu penembak, semoga aja sampe tepat waktu."
Pintu kembali tertutup seraya menghilangnya suara tembakan. Keenan tetap waspada, justru saat-saat hening inilah biasanya penyerang mulai beraksi.
"Alva, sayang, matanya ditutup ya. Apapun keadaannya, kamu harus tetep merem." Bisik Keenan tepat sebelum pintu kembali didobrak, kali ini lebih kencang.
"Well, kita ketemu lagi. Kangen aku kan?"
Wanita sinting. Agak menyesal kenapa baru sekarang Keenan sadar bahwa makhluk ini membahayakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVA
Teen FictionHanya tentang Alva yang tak sengaja terperangkap dalam keluarga Altezzio.