23

4.2K 371 17
                                    

Alva hari ini tidak sekolah. Katanya sih ingin mogok belajar karena Mattew sampai detik ini tidak ada tanda-tanda membujuknya untuk baikan. Tidak seperti biasanya.

Sudah dua hari Mattew mengurung diri dikamar. Keluar hanya untuk mencium kening si bungsu sebelum total mendekam.

Dion yang bertugas mengetuk pintu dan memberi makan. Dari semua saudaranya, hanya Dion yang sadar bahwa tubuh Mattew sedikit kurus. Ia memang tidak tau apa yang sedang daddynya lakukan, namun bukan berarti ia tidak peduli.

Ingin sekali ikut campur dalam masalah yang Mattew hadapi, tapi orangnya melarang. Dion bisa apa selain menurut?

"Daddy udah makan?" Tanya Keenan saat mereka berempat makan bersama. Sesekali ikut menyuapi Alva yang masih fokus dengan mainan robot baru. Pemberian Leo tempo hari.

Dion mengangguk pelan, "Bang, gue rasa masalah daddy kali ini berat banget. Tubuh daddy kurusan bang."

"Udah coba nanya Edward?"

"Berulang kali. Dan jawabannya selalu sama. Dia ga pengen kita semua tau, perintah daddy soalnya."

Hela napas berat keluar begitu saja. Semakin hari sepertinya ada saja masalah yang menghampiri keluarga mereka, "Le, samper daddy gih. Kita harus ajak daddy bicara."

Merasa tidak ada kaitan dengan semua ini, si yang tertunjuk pun menggeleng kaku, "Kok gue sih bang? Ga ah. Gue diem aja lho padahal. Dion aja gih suruh."

Dion menginjak salah satu kaki Leo. Tentu tidak diketahui Keenan karena tindakan itu dilakukan dibawah meja makan, "Kok gitu sih Le? Kan abang nyuruh lo. Durhaka ngelawan sama yang tua."

"Tapi kan gue diem aja Yon daritadi. Masa iya gue dijadiin tumbal."

Bukan mendapat solusi, justru Keenan pusing sendiri. Ia rasa hanya Alva adik satu-satunya yang masih waras disini, "Sayang coba kamu pilih salah satu diantara kita yang ajak ngobrol daddy."

"Gak mau. Alva kesel sama daddy."

Harapan terakhir Keenan pun musnah. Kini ia yang mau tidak mau menjadi tumbal, "Sayang, kalo udah selesai makan diberesin ya. Biar maid yang bawa ke dapur. Jangan berantakan makannya. Oke?"

Si bungsu mengacungkan jempol pertanda setuju. Setelah dirasa semua baik-baik saja, Keenan mulai melangkahkan kaki menuju neraka dunia.

"Dad.. ini Keenan."

"Keenan sendiri dad. Ga sama adik-adik."

Pintu akhirnya terbuka. Mattew menarik tangan si sulung lalu memeluknya erat, "Daddy takut.. sangat takut.. daddy harus apa, Ken?"

Mattew sudah menangis kencang sedari tadi. Untuk pertama kali dalam hidup semenjak istrinya tiada, ia menangis lagi. Berkeluh kesah tentang semua masalah dalam hidupnya.

"Ada apa dad? Tolong cerita sama Keenan. Keenan bisa jaga rahasia, daddy tau bukan?"

Sebagai anak yang baik, Keenan mengusap lembut punggung kokoh Mattew. Berusaha menenangkan meskipun tidak seutuhnya, "Dari Keenan kecil, daddy selalu bagi masalah dan bahagia daddy ke Keenan. Dulu daddy selalu bilang kalau anak laki-laki ga harus selalu kuat. Ada masanya kita juga bisa nangis. Inget ga dad? Pas Keenan dapet nilai jeblok. Daddy bikin Keenan semangat lagi dengan beliin sepeda. Katanya hadiah karena Keenan berhasil ngelewatin ujian. Padahal nilai jeblok. Berkat semua itu, Keenan tumbuh jadi anak yang bisa mengekspresikan isi hati. Apapun itu, Keenan pasti bilang ke daddy dan adik-adik. Kalau Keenan bisa kayak gitu, daddy juga bisa dong? Kan daddy role model Keenan."

Sepasang ayah dan anak itupun saling menyampaikan kata-kata penguat. Pelukan yang awalnya erat kini semakin mengendur, berbarengan dengan ucapan mengagetkan dari Mattew, "Clara kembali. Dia ngajak tantemu untuk balas dendam ke kita."

ALVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang