Mattew bukanlah pria baik-baik. Sejak kecil ia di didik cukup keras oleh mendiang sang ayah. Berbagai materi tentang kepengurusan perusahaan sudah ia pelajari sejak umur sepuluh tahun. Begitupun di usia ketiga belas ia dipaksa untuk berkuda, memanah, dan menembak.
Ayahanda, Veronand Altezzio, sangat berekspektasi bahwa Mattew bisa melanjutkan karirnya di dunia bawah. Berbekal otak yang cerdas, Mattew akhirnya bisa menggantikan posisi sang ayah, sesuai apa yang beliau inginkan.
Namun tatkala dirinya diangkat menjadi ketua, kebahagiaan tidak pernah singgah dalam hidupnya. Tekanan demi tekanan justru hadir hingga Mattew tak mengerti dimana letak bahagia yang ayahnya sebut.
Mattew seakan ditarik menuju jurang kegelapan. Tak ada ruang sedikitpun untuk ia bisa melihat secercah bahagia.
Hingga pesta dansa mempertemukannya dengan satu-satunya alasan kebahagiaan itu muncul.
Marianne Durma Altarick.
Putri tunggal keluarga Altarick yang seakan menjadi cahaya kecil di ujung jalan kehidupan Mattew. Dalam satu pertemuan, pria angkuh dan dingin itu telak jatuh dalam tatapan mata si wanita penghangat senja.
Pernikahan digelar meriah. Sanak saudara, jauh maupun dekat, hadir dan turut merasakan kebahagiaan sang pengantin baru.
Kebahagiaan mereka lantas bertambah seiring bayi mungil menyapa dengan lugunya. Segala perasaan ini tampak baru, membuat Mattew lupa dengan tugasnya yang lain.
Melenyapkan musuh.
Sebagai orang yang memiliki posisi penting, Mattew cukup sering dihadapkan dengan para lintah itu. Makhluk penganggu yang sifatnya hanya merugikan.
Terlalu fokus dengan keluarganya membuat Mattew mengesampingkan hal tersebut. Dan agaknya membuat lintah-lintah berteriak kegirangan. Mattew dapat diluluhlantakkan dengan mudah.
Benar saja. Malam itu, malam yang seharusnya menjadi perayaan ulang tahun pernikahan mereka ke duabelas, beralih menjadi malam penuh darah. Marianne terbujur kaku diatas meja dapur dengan duabelas pisau menancap ditubuhnya.
Seolah mengejek duabelas tahun kebahagiaan yang Mattew rasakan.
Dirinya ditinggal seorang diri, berusaha memberikan dua kasih sayang berbeda untuk ketiga anaknya. Kasih sayang ayah dan kasih sayang ibu. Walaupun ia yakin, rasanya tak akan sama.
Dengan berbagai kejadian yang menimpa dalam satu waktu, membuat Mattew harus memilih salah satu. Ia pun bersikeras meninggalkan pekerjaan dunia bawah dan fokus mengemban tugas sebagai pemimpin perusahaan keluarga.
Ia memang tak bisa menyelamatkan nyawa sang istri, namun ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan anak mereka. Berjanji pada diri sendiri untuk tidak menyentuh apapun yang berkaitan dengan dunia laknat itu.
Dan kini Mattew merapal beribu maaf untuk Anne, karena dengan gamblang hadir di dunia yang merenggut nyawanya.
"Gue bilang apa barusan? Gausah inget yang dulu-dulu. Gue yakin Anne ngerti."
Alex berujar dengan tenang, menghadirkan sekelebat bayang tentang peristiwa malam itu. Dirinya tak bisa..
"Lho, Matt! Mau kemana?!"
Langkah kaki Mattew terhenti kala cekalan tangan Alex menghampiri. Memutuskan untuk duduk sesaat dipinggir kelab malam, gerbang menuju dunia penuh kebencian.
"Trauma lo kambuh?"
Yang ditanya mengangguk, seraya menunjukkan kepalan tangan bergetar dengan darah segar.
Alex mengambil langkah cepat. Ia membuka kotak P3K dalam tas kerjanya, menggunting perban, dan membalut luka kecil yang mulai mengalir.
"Berhenti ngepalin tangan sampe berdarah gini, Matt. Anak-anak tau?"
Mattew menggeleng. Lidahnya kelu untuk sekedar menjawab tidak.
"Mulai sekarang kontrol emosi lo. Kalo sampe mereka liat kondisi lo yang begini, bisa panjang urusan. Apalagi mereka udah pada bujang. Ga termasuk yang paling kecil ya."
Ah.. kata terakhir mengingatkannya pada si bungsu. Kebahagiaan baru yang Mattew harap akan bertahan selamanya.
"Soal anak-anak nih, mereka tau ga kondisi lo sekarang?"
Alex membuka pembicaraan setelah bermenit-menit diam. Sesekali melirik perban hasil karyanya.
"Engga. Gaada yang tau termasuk nyokap. Gue pastiin mereka gaakan tau kabar gue sebelum gue sendiri yang nyamperin mereka."
Netra Alex membola, "Kenapa gitu? Mereka pasti khawatir banget Matt! Apalagi Alva. Gue yakin dia bingung banget sama semua ini. Lo ga mikirin hal itu?"
Hanya kekehan pelan dari bilah bibir tebal sebelum berkata, "Gue gatau gimana nasib gue nanti. Gue cuma takut berakhir sama kayak sebelumnya. Jadi gue sengaja ga ngabarin biar kalo ada hal buruk dateng ke gue, mereka gaperlu tau. Cukup menjalani hidup dengan biasa dan anggap gue gapernah ada."
Pemikiran kolot Mattew menjadi pembuka topik obrolan panjang mereka malam itu. Dimana Alex dengan gencarnya mencaci maki si duda tua yang sok melankolis.
"Melankolis gimana? Gue cuma bertindak benar kok."
Orang dulu berkata bahwa Tuhan maha adil. Alex tak pernah mempercayainya sebelum bertemu dengan sosok Mattew malam ini. Ternyata pernyataan tersebut benar adanya.
Tuhan adil memberikan Mattew kekayaan dan kekuasaan, tapi tidak untuk kepintaran. Setidaknya Alex beruntung mendapatkan bagian yang Tuhan tidak beri pada Mattew.
"Adanya lo yang bodoh. Bodoh sampe ke tulang-tulang. Heran gue.. bentukan begini bisa jadi pemimpin tuh gimana?"
Kini netra Mattew yang menatap tak percaya, "Gue lakuin ini juga buat kelangsungan hidup mereka. Apapun gue lakuin demi mereka bisa hidup dengan tenang."
"Yakin bisa tenang dengan ga tau kabar daddynya sekarang gimana? Yakin bisa menjalani hidup kayak biasa kalo daddynya aja gaada kabar?"
Pertanyaan singkat dari yang lebih waras membuka sedikit otak kumuh Mattew. Ia mulai membayangkan bagaimana tersiksanya hidup anak-anak tanpa dirinya.
"Udah mulai mikir kan lo? Tolol sih."
Maka dengan pasti Mattew beranjak dan bergerak menuju suatu tempat. Tak lupa ia aktifkan earbuds untuk berkomunikasi dengan seseorang.
"Siapkan barang. Aku akan ke Dubai malam ini."
Alex termangu sebelum ditarik oleh kesadaran, "Lho! Matt! Ini gajadi nyamper dunia bawah?! Woi! Belom kelar masalah lo!"
"Gantiin posisi gue, Lex. Gue serahin semuanya ke lo. Terserah lo mau nyeleseinnya gimana. Pekerjaan lo di rumah sakit biar gue nonaktifkan dulu. Sekarang waktunya lo bersinar, Lex."
Mattew meninggalkan Alex yang kaget dengan mulut terbuka. Ini semua diluar rencana.
"Sial. Segampang itu dia nyerahin semua masalahnya ke gue?"
Makin hari makin gajelas aja ini cerita.
Sekalinya bikin konflik malah gagal kayak gini. Mau nangis aja rasanya..
Part selanjutnya akan penuh dengan keuwuan. Siapkan mental yaa 🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVA
Teen FictionHanya tentang Alva yang tak sengaja terperangkap dalam keluarga Altezzio.