12

10.5K 685 9
                                    

Alva demam.

Satu apartemen kelimpungan karena si kecil yang tiba-tiba mengeluh sakit tadi pagi. Hidungnya memerah serta badannya panas. Mattew yang semalaman tidur dengan Alva merasa khawatir sekali. Ia mengingat apa saja yang anaknya konsumsi sejak mereka sampai New York. Tidak ada yang aneh, semua adalah makanan yang biasa dimakan Alva. Lalu anaknya kenapa bisa demam?

"Panggil Alex. Beri tau dia kita di apartemen." Titah Mattew tanpa melihat ke arah Edward. Masih ingat kan? Beberapa hari lalu ia diangkat menjadi asisten pribadi Mattew. Ia rasa sudah saatnya untuk mencari pengganti asisten pribadinya yang lama, dan untung saja Edward bersedia.

Semoga betah ya Edward.

"Baik, Tuan. Ada lagi?" Edward mencatat apa-apa saja yang Mattew sebut. Seperti membeli jaket lebih tebal untuk Alva, membeli persediaan sayur dan buah, serta memanggil Alex, sahabat Mattew yang juga dokter di rumah sakit dekat apartemen mereka.

"Tidak ada, kau boleh pergi."

Edward membungkukkan badan lalu keluar dari apartemen untuk membeli jaket dan persediaan makanan yang habis.

"Alva masih panas, dad?" Tanya Dion yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Terlalu fokus dengan Alva membuat Mattew tidak sadar Dion sudah mengetuk pintu kamar dan langsung masuk sesaat tidak ada jawaban.

"Sudah mendingan. Leo dan Keenan kemana?"

Dion meletakkan secangkir teh di meja samping kasur, "Pergi ke apotek, nyari obat bebas yang seenggaknya bisa meredakan demam Alva sampai Uncle Alex datang."

Mattew mengusap wajahnya kasar. Hari ini seharusnya menjadi hari yang spesial. Ia berencana mengajak anak-anak jalan-jalan mengelilingi New York lalu malamnya christmas dinner di salah satu restoran ternama. Tapi semua harus gagal karena bungsunya sakit. Mattew merasa menyesal karena lalai dalam menjaga buah hatinya.

Tak lama ada suara pintu terbuka, pertanda orang datang. Dion bergegas keluar kamar setelah melihat daddy nya yang masih bergeming ditempat. Disaat-saat seperti ini hanya dirinya lah yang bisa diandalkan. Meskipun tampak luar slengean, namun Dion lebih banyak menuruni sifat keibuan mendiang sang mommy.

"Yaampun keponakan! Udah gede aja! Sini peluk uncle sini."

Niat awalnya ingin melihat siapa yang datang, tapi sedetik kemudian Dion langsung menghindar. Itu Alex dengan Edward mengekor dibelakang.

"Ayo sini peluk uncle mu. Ga kangen? 3 tahun ga ketemu udah makin bongsor aja kamu!" Alex menghampiri Dion lalu memeluknya. Rindu sekali.

Memang dari semua anak Mattew, Dion yang paling dekat dengan Alex. Itupun karena mereka punya kesamaan hobi; mengoleksi gundam.

"Jangan kenceng-kenceng peluknya, uncle. Dion gabisa napas ini."

Alex sampai lupa kalau yang ia peluk manusia. Keseringan meluk gundam di kasur, sih. Hehe

"Maaf ya. Eh siapa yang sakit?"

Dion menunjuk kamar paling ujung dekat dapur, "Alva. Semaleman demam."

Alex mengkerutkan keningnya bingung. Sedetik kemudian ia tersenyum cerah, "Ah.. adik baru kamu ya? Uncle sampe lupa."

Dion mendengus saja. Kebanyakan pasien membuat Alex sedikit lupa dengan kehidupan pribadi dan keluarganya. Dari dulu memang begitu. Saking seriusnya bekerja, keluarga sampai menyuruh Alex pensiun. Namun tetap saja itu semua tidak meruntuhkan kegigihan Alex dalam merawat pasien. Karena dedikasinya itulah, Alex bisa membuka rumah sakitnya sendiri.

Edward meletakkan belanjaan di meja pantry lalu menuntun Alex ke kamar Mattew. Setelah sampai Edward mengetuk pintu lebih dulu. Dirasa Mattew mengizinkan, barulah pintu dibuka.

"Hai, sahabat!"

Mattew tersenyum tipis. Ia menggeser duduknya agar Alex dapat memeriksa Alva.

"Semalam panas dia berapa?" Tanya Alex seraya mengeluarkan alat-alat penunjang pemeriksaan.

"38."

Cih, singkat sekali. Alex memaklumi saja. Toh sifat itu bawaan dari lahir. Sangat susah diubah.

Baju Alva sedikit dibuka keatas lalu Alex mengarahkan stetoskopnya ke dada hingga perut Alva. Ia pun mengecek leher dan pergelangan tangan. Semua Alex lakukan dengan hati-hati mengingat si Tua Bangka disampingnya termasuk tipe posesif.

"Sudah belum? Lama sekali."

Tuh kan, baru saja dibahas. Kata orang sih pertanda panjang umur. Benarkah?

Alex berdecak, "Ya sabar dong. Dukun aja harus jampi-jampi dulu biar tau kondisi pasiennya, apalagi dokter."

"Kau mau menjampi-jampi anakku?"

Entah dosa apa yang sudah Alex lakukan sedari tadi hingga ia harus dihadapkan dengan manusia bodoh seperti ini, "Gue bukan dukun."

"Dan tolong Matt, jangan pake bahasa formal mulu. Kita sahabatan dari masih piyik asal lo tau."

Alex lelah jujur saja. Berkali-kali diingatkan untuk memakai bahasa santai, Mattew malah tetap memakai bahasa formal. Seperti berbincang dengan wali pasien rasanya.

"Susah. Aku terbiasa bicara formal dengan adikku dan Keenan." Bela Mattew. Benar, kok. Dirinya memang seperti ini aslinya. Bicara singkat, formal, dan kalau ada perlu saja. Bahkan kadang dengan Dion dan Leo juga formal. Terkecuali Alva, Mattew tidak akan pernah bisa formal dengan si bungsu.

"Sama nyokap lo bisa tuh. Sama Dion dan Leo juga bisa. Udahlah, Matt.. jelek kalo lo ngomong formal gitu dalam lingkup keluarga. Kalo mau ngomong formal sama klien aja, atau orang lain."

Mattew mengangguk. Untuk kali ini ia akan menurut dengan perkataan Alex. Anggap saja rasa terima kasih karena menyempatkan waktu memeriksa anaknya ditengah kesibukan.

"Dia pernah naik pesawat sebelum ini? Atau baru pas lo pada kesini?"

"Baru kali ini. Alva gapernah naik pesawat sebelumnya. Kenapa emang?"

Alex mengangguk paham, "Karena baru pertama kali, apalagi dalam jangka waktu yang lama, tubuh dia mungkin kaget. Apalagi selama di pesawat jam tidur dia berubah. Kalau dirumah biasa 5 jam, di pesawat cuma 2 atau 3 jam, itu sangat mempengaruhi. Alhasil demam."

Mattew menatap sayu si bungsu. Diraihnya salah satu lengan Alva untuk dikecup sambil merapal permohonan maaf karena kurang peka dengan hal-hal kecil.

"Gausah minta maaf, Alva pasti ngerti kok. Yang lo harus lakuin temenin dia selama masa demam ini. Untung demamnya masih kategori ringan, jadi gaperlu dirujuk ke rumah sakit. Gue bakal kasih obat dan diminum setiap abis makan, 3 kali sehari. Khusus antibiotik dihabisin." Jelas Alex dengan lembut. Ia menepuk-nepuk lengan kiri Mattew, berusaha memberi kekuatan. Dirinya memang belum punya anak, tapi ia paham sekali rasanya ketika anak tiba-tiba sakit. Pasti khawatir sekali.

"Makasih, Lex. Kira-kira Alva bisa sembuh dalam berapa lama?"

"Biasanya kurang dari 5 hari. Tergantung apa yang dikonsumsi sama teratur ga minum obatnya. Tapi lo tenang aja, gue yakin Alva anak strong. 3 hari kemungkinan udah bisa semangat lagi."

Tiba-tiba saja pintu kamar Mattew dibuka dengan sangat tidak elitnya. Disana terpampang dua makhluk beda usia yang kaget sekaligus kesal.

"Uncle dateng kok ga ngabarin dulu?! Aku sama bang Keenan kira masih lama datengnya! Kalo gitu ngapain jauh-jauh beli obat coba! Kes—awmphh!!"

Mulut berisik Leo ditutup oleh tangan besar Keenan. Ia hanya bisa tersenyum dikala sang adik mencak-mencak tak terima.

"Maaf yaw.. uncle kebetulan lagi gaada pasien, jadi bisa langsung kesini." Ucap Alex dengan tampang tanpa dosa. Leo kesal sekali melihatnya.

"Ya kan bisa—"

"Dad.. cakit.."

Terkutuklah Leo dengan segala umpatannya. Mattew sudah menyiapkan beberapa opsi hukuman dan siap mengeksekusi hari ini juga.












































Semoga cepet sembuh ya kecintaan kakak-kakak semua 🫶

Btw kalian suka cerita ini tanpa cinta-cintaan alias fokus ke Alva aja atau sebaliknya?

ALVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang