6

17.5K 1K 15
                                    

Hari ini sedikit mendung, ditambah angin dingin menyapu kulit. Pria Altezzio awalnya ingin mengajak bocah kecil jalan-jalan, namun harus urung.

Jadilah mereka disini, di karpet bulu ruang keluarga dengan berbagai macam mainan dino; upaya menemani Alva dalam menyelam imajinasinya.

"Abang ih! Yang biyu cowok!"

Leo tertawa kikuk. Ketahuan salah memanggil salah satu dino yang berujung diomeli si bocah kecil. Keenan tersenyum bangga di pojokan sofa. Ia rasa sudah saatnya ada yang menggantikan posisinya dalam mengomeli Leo.

"Ga sakit kakinya, sayang? Jangan ditekuk gitu ya. Coba diluruskan kakinya."

Alva mengangguk. Kakinya yang terlipat ia luruskan. Tangannya masih asik memainkan boneka dino, "kejal dia pink dino! Jangan yepas!"

"Rambutmu mau dikuncir, princess? Sudah terlihat agak panjang. Nanti gerah."

Alva menggeleng pelan. Rambutnya memang sudah mencapai leher, tapi tidak sepanjang itu sampai harus dikuncir. Toh ia bermain hanya dengan kedua tangannya, tidak ada hubungannya dengan rambut.

"Dia laki-laki, dad. Jangan terbiasa memanggilnya princess."

"Biar saja. Alva kan imut, seperti princess. Iya kan, sayang?"

Keenan menggeleng pelan. Ia pun menggendong Alva dan membawanya ke halaman rumah, "Hei mau dibawa kemana anak daddy?! Kembalikan, Keenan!"

"Biar aja, dad. Alva ga betah sama setan. Paling ntar nangis dianya." Mulutmu jahanam sekali Leo..

Panggilan pria tua itu tidak Keenan gubris. Biar saja. Ia ingin bermain berdua dengan si kecil, tanpa ada pengganggu.

Sebenarnya Ia sangat kasihan dengan bocah satu ini. Tidak boleh keluar rumah kecuali taman, itupun harus dengan pantauan Mattew.

Bahkan kamar Alva sudah disulap seperti kamar kerajaan; lengkap dengan kelambu yang menghiasi atap ranjang. Alasannya sih hanya satu, agar nyamuk-nyamuk nakal tidak bisa hinggap di tubuh mulus Alva.

Ketiga anak kandungnya saja tidak ada yang dipasangi kelambu dalam kamar. Digigit nyamuk? Efeknya hanya gatal, tidak sampai bikin mati.

Nampaknya sila kelima Pancasila belum ternanam dalam keluarga aneh ini.

"Se-istimewa apa sih kamu sampai bikin daddy segila ini?"

Tolong ingatkan Alva untuk memberi pelajaran pada kakak sulungnya yang demi Tuhan, sangat menyebalkan!

Lagi asiknya bermain malah digendong begitu saja. Ditambah dengan kondisi salah satu boneka dinonya yang berwarna hijau—yang diberi nama Gyeen Dino—terbujur kaku tak berdaya. Dilindas kaki besar Keenan.

"Lho kok menangis? Ada apa? Hei jangan menangis, nanti daddy menyalahkanku!"

Tangisannya malah lebih kencang. Sengaja, biar daddy tau dan memarahinya. Hitung-hitung sebagai pembalasan dendam karena Gyeen Dino wafat 3 menit lalu.

Mendengar jerit tangis anak kesayangannya, Mattew panik. Ia berlari ke halaman dan menemukan sang anak penuh dengan linangan air mata tepat di gendongan Keenan.

"Ada apa ini? Keenan, kamu apakan anak daddy?" Mattew mengambil paksa Alva. Mengecup dahi, kedua mata, serta hidung si bungsu.

Keenan? Mendengus kasar. Belum di apa-apakan saja sudah sepanik ini, "Ga di apa-apain kok. Dianya aja tiba-tiba nangis. Tadi Keenan tanya, malah makin nangis."

"Gyeen dino, daddy.. gy-gyeen dino nin-ninggal.."

Mattew menahan senyumnya. Niat awal ingin menenangkan malah yang ada diperlihatkan keimutan. Ingin rasanya ia kunyah. Terlalu gemas.

Keenan pun sama. Ia kira ia akan membenci bocah kecil ini. Dari awal memang hanya Keenan yang sedikit menolak si kecil. Ia sudah punya 2 adik, sengklek pula. Melihatnya saja sudah bikin pusing.

Namun agaknya ia harus membuka hati untuk Alva. Bocah yang satu ini terlalu berharga untuk disia-siakan.






















Selamat pagi!

ALVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang