"Main sama otter terus. Sama akunya kapan?"
Leo benar-benar tidak habis pikir. Dari kedatangan hewan itu seminggu lalu, Alva tidak ada hentinya bermain dengan si otter. Leo cemburu.
"Ayo main sama aku.."
"Cantik, yuk main. Ish dicuekin."
Ingin rasanya Leo membuang otter laknat yang kini tengah asik dusel di pangkuan adiknya. Apa-apaan? Harusnya dia yang ada di posisi itu.
"Lebay lo ah. Percaya sama gue, lama-lama juga Alva bosen mainin otternya. Anak kecil suka gitu." Ujar Dion sembari mengetik sesuatu di laptopnya. Entahlah, akhir-akhir ini Dion kelihatan sibuk dan jarang bermain dengan si kecil.
"Tapi udah seminggu bang. Satu minggu gue dicuekin gitu aja. Mau nangis rasanya."
Kalau orang bilang anak teater banyak dramanya, percayalah, Leo lebih drama. Dion sampai jijik sendiri liatnya. Muka sih boleh ganteng, tapi akhlak dan kewarasan nol besar.
"Hai princess, otter udah dikasih makan belum?" Keenan datang setelah menyelesaikan bab terakhir skripsinya. Tak sabar menunggu wisuda sebentar lagi.
"Belum, Ennan."
"Kok belum? Ntar otter mati gimana?"
Perasaan bersalah menyelimuti hati si kecil. Ia memeluk erat otter dan mengucap maaf berulang kali. Berikutnya ia ambil semangkuk ikan berukuran kecil lalu disuapinya otter dengan penuh kasih sayang, "Makan yang banyak ya ottel. Bial gede kayak Apha."
"Bocil nimang bocil."
Dion menutup mulut Leo yang julitnya minta ampun. Untung Keenan tidak dengar. Kalau dengar, bisa mati kutu Leo detik itu juga.
"Sayang, mau makan apa? Beli pancake?"
Tidak mengacuhkan dua manusia sirik disekitarnya, Keenan mengambil langkah terdepan untuk memanjakan si kecil. Hari ini para maid diliburkan dan tidak ada yang bisa memasak, jadilah Keenan inisiatif mengajak makan diluar. Anggaplah sebagai 'kencan'.
"Mau!! Ajak ottel boleh?"
"Ya engga dong sayang. Otter taruh disini dulu ya. Lain kali kita ajak."
Tidak tau saja mereka, ada satu makhluk yang menatap Keenan dengan tajam, "Daritadi gue ngomong, ga digubris. Giliran bang Keenan langsung diiyain. Adakah satu manusia disini yang sayang sama gue?!"
"Drama lo jelek, Le.."
***
"Aaaa Ennan.."
Keenan mengeryit. Adiknya berniat menyuapi dia begitu? Ia pun membuka setengah mulutnya dan sepotong pancake masuk, "Hmm enak banget! Karena disuapin kamu."
Alva? Senyum-senyum malu hingga muncul semburat merah di pipinya. Cantik dan menggemaskan. Tolong, Keenan makin cinta.
"Sini giliran kamu yang aku suapin."
Karena mulut Alva terlampau kecil, Keenan memotong pancake lebih kecil lagi. Meski begitu, tetap saja Alva harus menganga lebar agar pancake bisa masuk dalam mulutnya, "Aaaa Ennan.. mana pancake nya.."
Duh gemas sekali, "Sabar sayang. Nih lagi aku potongin. Nah udah coba aaa nya mana.."
"Ini udah aaaa."
Hap! Sepotong pancake pemberian Keenan berhasil ia lahap. Padahal sama-sama dituang madu, tapi kenapa punya abangnya lebih enak?
"Kenapa liatin aku kayak gitu?"
Si kecil menggeleng pelan, "Punya Ennan enak. Kan sama." Ucapnya seraya menunjuk pancake mereka masing-masing.
Seolah mengerti, Keenan terkekeh. Menurutnya pancake Alva jauh lebih enak. Efek jatuh cinta mungkin ya..
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVA
Teen FictionHanya tentang Alva yang tak sengaja terperangkap dalam keluarga Altezzio.