25

2.1K 210 5
                                    

Terhitung sudah seminggu Alva homeschooling. Angka, huruf, sudah beberapa ia kuasai. Hal itu rupanya menjadi bahan bagi si kecil untuk menyombongkan diri.

Padahal abang-abangnya sudah duluan belajar hal tersebut.

"Dua tambah sepuluh, berapa? Hayoo!"

"Ini serius kamu nanya itu, sayang?"

Alva mencebik kesal. Abang tertuanya ini terkesan meremehkan, "Kan Alva cuma nanya! Jawab dong."

Ketus sih, tapi malah terlihat lucu dimata Keenan. Entahlah, sepertinya apapun yang adik kesayangannya ini lakukan, mampu membuatnya tersenyum hangat.

Walaupun saat ini muka si kecil sangat tidak bersahabat.

"Ennan ga jawab, Alva gamau tidur bareng malem ini!"

Duh. Tanda bahaya ini namanya, "Kok gitu? Iya deh jawabannya dua belas."

"Apaantuh? Salah!"

Sumpah, jika bisa memilih, Keenan akan membuang Leo di tempat pembuangan sampah terjauh.

Bagaimana daddy-nya yang terkenal akan wibawa tinggi bisa menghasilkan anak setengil Leo? Keenan curiga bahwa sebenarnya anak kandung Mattew hanya dirinya.

"Iyakah?"

Awalnya Alva sudah yakin kalau Keenan jawab benar. Ia sudah menghitung kok. Namun keyakinannya goyah kala ucapan Leo menginterupsi barusan.

Kalau ucapan Leo benar, itu artinya ia salah menghitung?

"Iya salah. Jawabannya tuh aku cinta kamu."

Keenan meremas kertas sobekan dari buku si kecil lalu dilemparkan pada Leo, "Basi lo!"

"Cih, manusia laknat. Namanya juga usaha bang."

"Niminyi jigi isihi bing."

Giliran Leo yang melempar Keenan dengan bungkus permen karet.

Hanya permulaan. Jika berlanjut, ia bisa melemparkan bola basket tepat di depan kepala abangnya.

Mattew melihat itu dari jauh. Sedikit tersenyum melihat betapa akrabnya anak-anak walaupun usia tidak lagi muda.

Sedetik kemudian ia teringat sang mendiang istri. Andai Marianne masih hidup, wanita itu pasti akan tertawa manis melihat pemandangan sekarang.

Ah.. apakah ini pertanda ia harus berkunjung?

***

"Makam, dad?"

Mattew mengangguk pasti. Ia menggendong Alva sembari tangan kirinya membawa bunga tabur, "Ini rumah mommy, sayang."

Alva ber'oh' ria. Dirinya tidak asing lagi dengan tempat ini. Sejak kecil memang hidupnya selalu berdampingan dengan kematian. Melihat kematian depan wajahnya saja pernah, apalagi hanya makam.

"Mommy cantik, dad?"

"Sangat. Secantik kamu pokoknya."

Aih. Gombalan duda kaya raya memang top!

"Sayang, kenalin ini Alva. Aku sering ceritain dia sama kamu, tapi belum permah aku bawa kesini kan? Nah sekarang aku ajak kesini."

Mattew menahan napas sebentar, lalu menghembuskannya perlahan, "Aku sayang Alva, Anne. Aku harap kamu juga bisa sayang sama dia ya? Kita jaga dia sama-sama."

Tak terasa airmata Mattew jatuh juga. Pertahanan yang ia bangun pun runtuh. Depan belahan jiwanya, Mattew tidak bisa berpura-pura kuat.

"Aku kangen, Anne. Kenapa dua minggu ini kamu ga dateng ke mimpiku?"

Tangis Mattew makin keras. Seolah ia meluapkan semua emosi yang terpendam akhir-akhir ini, "Cuma dalam mimpi aku bisa ketemu kamu. Tapi kenapa kamu jarang dateng lagi? Kamu ga bosen sama aku kan?"

Alva mengerti betul setiap ucapan Mattew. Setiap mengunjungi makam kakek pun dirinya selalu mengajak bicara kakek. Tapi memang tidak sampai menangis, hanya sebatas tersenyum sedih.

"Daddy, udah sore. Kita ke makam mommy besok lagi ya?"

Mattew terkesiap. Ia melihat sekeliling makam yang sudah sepi pengunjung. Ah, terlalu larut dalam kesedihan sampai lupa waktu.

"Maafin daddy ya, cinta? Yuk kita pulang. Sambil beli es krim mau?"

"Mau!!"

***

"Tinggal sisa coklat sama karamel aja, princess. Mau yang mana?"

"Mix aja dad!"

Mattew mengangguk. Alva pun mengedarkan pandangannya mencari tempat duduk. Ketika sudah menemukannya, Alva lari guna 'menandakan' agar tidak diduduki orang lain.

Dirinya hampir sampai tempat itu sebelum seorang wanita menabraknya, "Yaampun! Maafin tante ya, sini coba tante liat, kena es krim ya? Yaampun maaf banget."

Wanita tersebut langsung mengeluarkan tisu basah dari tas mungilnya. Walau Alva sudah menolak, wanita itu tetap mengusap lembut pipi si kecil.

"Kalau anaknya tidak mau, jangan dipaksa!"

Mattew yang kelewat posesif langsung mengambil alih Alva. Digendongnya anak itu sambil membersihkan noda es krim dengan jarinya.

"Maaf, saya ga sengaja. Tadi saya buru-buru mau keluar. Sekali lagi saya minta maaf."

Belum sempat pergi, tangan wanita itu dicekal.

Mattew butuh penjelasan lebih. Siapapun, baik pria atau wanita, jika berani menyentuh anaknya tanpa izin, wajib tanggung jawab.

"Mau kemana? Jangan kabur."

"Daddy! No! Tantenya udah minta maaf."

Alva tak tega melihat wajah takut wanita yang menabraknya. Ia yakin, wanita itu benar-benar tidak sengaja.

Kalau sengaja, untuk apa pipinya dibersihkan dengan lembut? Kenapa masih meminta maaf? Kenapa tidak langsung kabur?

Banyak sekali pertanyaan 'kenapa' dalam otak Alva yang kecil ini.

"Tapi dia udah—"

"Tantenya ga sengaja dad! Udah minta maaf kok."

Sepanjang tinggal bersama, baru kali ini Mattew lihat si kecil bersusah payah membela orang lain.

Karena jujur saja, membela dirinya sendiri saja tidak pernah, apalagi orang lain?

"Ya sudah. Kamu boleh duduk disitu. Saya traktir sebagai permintaan maaf."

"Ah, maaf sekali, saya buru-buru. Mungkin bisa lain waktu." Tolak wanita yang baru Mattew ketahui bernama Irene—dari kartu nama yang disodorkan— itu dengan sopan.

"Tante mau kemana?"

Mattew terdiam. Tumben sekali anaknya bisa akrab dengan orang baru, "Tante ada acara di gedung sebelah. Kapan-kapan ketemu lagi ya!"

"Oh iya, nama kamu siapa?"

Alva tersenyum, "Alva."

"Nama yang bagus. Kenalin nama tante Irene. See u soon ya Alva!"

Lalu wanita itupun pergi seiring dengan bunyi lonceng dari pintu kedai yang mulai tertutup.

Seiring pula dengan jantung Mattew yang berdetak lebih keras, hanya dengan melihat senyuman hangat wanita tersebut.





































Era baru keluarga ini akan dimulai.

Dibuka oleh sang kepala keluarga dulu nih, hehe 🤭

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang