19

6.5K 529 14
                                    

Dalam hidup, Philemon Keenan Altezzio hanya tau belajar, belajar, dan belajar. Belajar menjadi anak sulung yang dapat diandalkan, belajar mencapai universitas ternama, dan belajar tentang kepemimpinan di perusahaan. Tidak ada waktu untuk hal lain, termasuk cinta.

Teman-temannya selalu berkata bahwa jatuh cinta itu indah. Bagaimana hati berdebar ketika melihat seseorang, memikirkan orang tersebut, semua itu indah. Sekiranya begitulah yang Keenan tau.

Sampai pada akhirnya sosok mungil itu datang, mampu membuat hatinya yang sekeras batu menjadi selembut salju. Senyumnya yang begitu hangat, guratan merah pada wajahnya ketika malu-malu, segala hal pada diri anak itu Keenan suka. Sangat suka.

"Jangan kira daddy tidak tau apa yang kamu perbuat, Keenan."

Pernyataan Mattew di depan akuarium besar menjadi pembuka percakapan mereka pada hari itu. Keenan makin menatap intens ikan-ikan kecil yang berenang dengan lincahnya, berusaha menghindari lirikan sinis dari sang ayah.

"Apa aja yang daddy tau?"

Mattew tersenyum miring, "Banyak. Terutama yang berkaitan dengan anak bungsuku."

Kata terakhir sengaja ditekan kuat, entah apa tujuannya. Keenan anggap itu sebagai gertakan.

"Alva aman, dad. Keenan pernah janji untuk menjaganya bukan?"

Keenan tidak kalah sinis. Obrolan keduanya terasa memanas, "Hanya menjaga. Tidak sampai kelewat batas." Mattew mulai mengepal tangan. Seakan sudah siap untuk meninju seseorang.

Alva adalah harta berharga, penemuan luar biasa yang harus dijaga bak permata. Sebagai kepala keluarga, Mattew berusaha sebisa mungkin menghindari bungsunya dari hal-hal buruk.

Namun kini ia sadar. Hal terburuk juga bisa datang dari lingkup terdekat.

"Oleh karena itu, buang jauh-jauh perasaan anehmu."

Dalam hati Keenan tertawa. Mattew menuduh anaknya sendiri pedofil?

"Keenan cuma cium bibirnya dad. Bukannya daddy pernah menyesap lehernya? Lebih bahaya Keenan atau daddy?"

Sekakmat. Keenan berhasil membuat Mattew terdiam dengan pikirannya sendiri. Ibarat pepatah, senjata makan tuan.

Keenan tau karena di hari pertama bertemu, ia melihat bercak merah samar sebesar uang koin di leher si kecil. Tepat ketika ingin bertanya, dirinya melihat Mattew keluar kamar dengan bibir agak bengkak.

Umurnya sudah kepala dua, otaknya sudah bisa mencerna hal-hal ambigu seperti itu.

Dion dan Leo hanya memandang dari jauh. Sembari menjawab berbagai pertanyaan unik yang mulai si kecil lontarkan, "Kakak suka ottel ndak?"

"Kita udah di deket pari lho. Masa otter terus yang ditanyain?"

Leo menusuk-nusukkan jarinya ke lesung pipi Alva. Sedikit iri karena diantara mereka semua hanya Alva yang memiliki bolongan di pipinya.

"Udah deh Le. Ntar nangis anaknya."

Bukannya berhenti, Leo makin gemas mencubit pipi si kecil. Alhasil...

"Kakak!!! Sakit!!"

Tantrum.

"Tuh kan! Ga iseng sehari bisa ga sih!" Dion mengusap-usap bekas cubitan Leo yang sedikit memerah.

Teriak keras Alva menarik perhatian beberapa pengunjung, tak terkecuali sepasang ayah dan anak yang melupakan situasi panas mereka berdua untuk sesaat.

"Hei.. sayang.. kenapa? Ada apa?"

Mattew dengan cekatan mengambil alih gendongan Alva dari Dion. Ia menatap tajam kedua anaknya, meminta penjelasan.

"Leo, dad! Dia nusuk pipi Alva sampe anaknya nangis. Aku cuma gendong." Dion langsung mencari pembelaan. Padahal beberapa menit sebelum Leo, ia sudah duluan mencubit-cubit perut si gembul.

ALVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang