Hai-hai! Assalamualaikum!
Aku baru selesai baca Atheis karya Achdiat K. Mihardja.
Pertama kali baca cerita yang ditulis oleh penulis kelahiran 1911 dan setting tahunnya 1940-an. Keren dan seru!
Aku jadi paham kenapa penulis perlu menggambarkan dan menghidupkan suasana yang terjadi pada tahun cerita itu dituliskan. Karena bisa jadi hal itu 'biasa' pada tahun ceritanya terbit. Tapi, setelah sepuluh atau dua puluh tahun berlalu? Hal itu jadi sebuah kekayaan sejarah. Aku lebih bisa membayangkan suasana kota Bandung pada tahun 1940 melalui novel ini ketimbang membaca literatur sejarah. Ada kait emosional di sana, karakter yang bercerita seolah-olah mengajak kita jalan-jalan ke sana, dia menjadi juru kamera yang merekam segala situasi. Apa yang dia dengar, dia lihat, bahkan seberapa besar suasana mencekam ketika datang ancaman, sebuah novel bisa memberikan eksperimen itu.
(Dan, aku agak payah menggambarkan setting. Aku masih harus lebih perhatian lagi)
--
Jadi, Atheis karya Achdiat K. Mihardja dilabeli karya sastra roman yang berkisah soal Hasan. Hasan diceritakan sebagai karakter agamais yang taat, tetapi kalau diamati perilaku Hasan ini hanya lahir karena dia dilahirkan di keluarga religius. Apa pun yang dikatakan orangtuanya dia anggap sebagai kebenaran sejati.
Dan, suatu ketika bertemu teman lama yang ternyata sudah berpaham atheis, Hasan goyah. Hasan merasa kecil, merasa kurang berilmu pengetahuan, segala yang dipaparkan Rusli jadi berkesan masuk akal di benaknya. Sampai satu per satu ketaaatan pada agamanya memudar, dia kehilangan semangat, dalam hatinya ada bisikan, "Bisa jadi apa yang dikatakan Rusli itu benar." Hasan sempat berpikir untuk menjauhi Rusli, tetapi Kartini, perempuan yang dia sukai berteman baik pula dengan Rusli. Secara nggak langsung, Kartini jadi jembatan mulus bagi Rusli untuk menyampaikan hal-hal yang selama ini memang tidak pernah dipikirkan Hasan.
Sampai ketika dia menyatakan diri pula sebagai atheis. Ironi memang, tapi itulah yang kebanyakan terjadi (apalagi kalau dia beragama bagai Hasan). Apakah Hasan akan mati dalam keadaan atheis? Itu juga yang membuatku penasaran dan membacanya sampai akhir. Recommended!
---
Dan, yang ingin aku garis bawahi adalah teman-teman yang sezaman denganku ini seharusnya sudah nggak beragama bagai Hasan yang hanya mewarisi agama karena garis keturunan. Dia nggak pernah kepikiran kenapa ada Tuhan? Kenapa dia harus beragama? Yang dia tahu, kalau nggak mengakui Tuhan itu dosa, kalau nggak punya agama akan jadi orang yang paling rugi, kalau nggak nurut apa kata ayahnya, dia durhaka. Jadi, aku bisa mengerti (bukan menyepakati) kenapa Hasan ini imannya mudah goyah. Karena dari awal, dia hidupnya mengalir saja. Hanya ikut apa yang diajarkan padanya. Apalagi, digambarkan ajaran agamanya pun sudah bercampur dengan ilmu mistik. Hasan mengakui itu sendiri.
Oleh karena itu, agaknya, aku jadi mengerti kenapa Sembilan Nyawa Al Barra sulit tembus penerbit. Bukan pada tema (toh, banyak ide yang lebih liar daripada ini), tapi pada 'hal-hal yang aku bawa' di cerita itu.
Dalam ranah fiksi, ceritaku itu hitam-putih. Secara terang benderang tidak menyepakati ateisme di lingkungan agamais. Ya, sampai sana sama seperti cerita Atheis, sih. Hasan juga awalnya nggak sepakat, tapi dia nggak punya ilmu untuk melawan perkataan Rusli (Ya, karena nggak diajarkan dan Hasan juga nggak dibiarkan berpikir. Giliran nanya-nanya dibilangnya nanti Allah akan ungkap. Ya, gimana mau paham? Boleh mikir saja nggak!) Bahkan Hasan sempat kepedean kalau dia pasti bisa membawa Rusli ke jalan sama kayak dia. Eh, malah dia yang keseret.
Nah, ada momen aku gemas sama sesuatu, kan? Momen itulah yang ingin kusoroti di Sembilan Nyawa Al Barra. Momen membantah pemikiran ateis yang di cerita Atheis pun dasar pemikirannya sama kayak Albar bahwa Tuhan itu menurutnya adalah ciptaan manusia. Hanya sebuah harapan, bahkan ada yang menyebutkan sebagai alat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only Diary
RandomKetika Kata Bercerita~ Hanya tulisan suka-suka milik Ana agar tak lagi sesak di kepala. ©Copyright Onlyana 2020