Waktu istirahat.
Hanya Arka yang tidak dekat dengannya di sekolah, anak didiknya yang lain begitu dekat tapi anak itu tidak. Arka di kelas sering sekali menangis, anak itu tidak bergaul dengan siapapun. Hanya terdiam dan memperhatikan saja.
Lagi-lagi Hana mencoba mendekatinya, ia merasa anak itu kurang kasih sayang yang membuatnya takut berkenalan dengan semua orang. Seperti sudah terbiasa akan kesepian dari kecil.
"Arka," panggil Hana, anak itu hanya mendongakkan kepalanya sembari menatap. Arka tidak menjawab, wanita itu tersenyum. "Ikut, yuk sama ibu."
Arka menggelengkan kepalanya, matanya melihat kesamping mencari mengasuhnya yang keluar untuk pergi ke WC. "Kenapa engga mau?" tanya Hana, wanita itu masih setia sadar menghadapi Arka.
Anak itu kembali menggelengkan kepalanya lalu menundukkan kepalanya saat Hana mendekat kearahnya. "Kenapa Ibu engga jahat kok." Hana mengelus rambut anak itu.
Arka malah semakin menjauh, tubuhnya bergeser ke samping. Hana menghela napas, ia memutuskan untuk duduk di sebelah anak itu. Cara apa lagi yang harus ia lakukan supaya anak ini luluh kepadanya.
"Han." Hana menoleh ke sumber suara, netranya melihat Gina di ambang pintu sembari menggenggam tangan anaknya Zia.
Hana menyuruh sahabatnya masuk, Gina mengisyaratkan pada wanita itu. Hana mengangkat bahunya, Arka masih terdiam selagi menunduk. "Halo, Arka."
Arka mendongak, Gina langsung tersenyum tapi senyumannya tidak terbalas oleh Arka. Hana lagi-lagi menghela napas, ia melihat Zia yang sedang bermain dengan pensil kesayangannya berwarna pink.
"Zia sini duduk sama Ibu." Zia menggelengkan kepalanya, ia memilih di sebelah ibunya.
Gina hanya tersenyum. "Arka main yuk sama Zia." Anak itu menggelengkan kepalanya sedangkan Zia bersembunyi di balik tubuh ibunya.
Hana bangkit dari duduk, perutnya sudah lapar. Ia memutuskan untuk pergi ke kantin bersama Gina dan juga Zia. "Arka mau ikut Ibu engga ke kantin?"
Arka masih terdiam. "Nanti kamu sendirian di sini, pengasuh kamu lama."
"Mau ikut engga? nanti Ibu traktir Arka, deh." Akhirnya anak laki-laki itu mengangguk.
Akhirnya Hana tau apa yang bisa memikat anak laki-laki itu yaitu makanan.
"Ayo!" Hana mencoba menggenggam tangan Arka tapi anak laki-laki itu menjauh dan memilih jalan terlebih dahulu.
Gina menepuk pundak Hana. "Pelan-pelan, siapa tau ke depannya yang luluh bukan cuma Arka."
Hana memberikan Gina tatapan tajam, wanita itu masih sering menyangkut pautkan dirinya dengan Arga-Ayah dari Arka.
Duren kalau kata Gina.
"Arka mau apa?" tanya Hana setelah berada di kantin beberapa menit yang lalu, Anak itu hanya menunjuk tanpa berbicara apapun.
"Coklat?" tanya Gina.
"Susu?"
Arka menggelengkan kepalanya. "Mau apa?" tanya Hana.
Arka menunjukkan sesuatu dengan jarinya tanpa berbicara, Gina tidak mengerti anak itu mau apa. Gina berpikir, anak ini seperti benar-benar tidak bisa berbicara kalau sedang seperti ini.
Hana dan Gina bertanya-tanya mengapa anak itu susah sekali berbicara dengan orang baru sedangkan dengan pengasuhnya laki-laki itu sering menjawab walaupun tidak terlalu banyak.
Hana ingin sekali mendengar beberapa kalimat yang di keluarkan oleh Arka. Mungkin yang pernah Hana dengar hanya beberapa kalimat saja.
Zia membisikkan sesuatu di telinga Ibunya, anak perempuan itu mengerti apa yang di maksud oleh Arka.
"Dia mau es krim kalau kata Zia," ucap Gina dengan pelan.
Hana tersenyum sembari menatap anak laki-laki itu, wajah Hana benar-benar di buat seceria mungkin. "Arka mau es krim?" tanya Hana.
Arka mengangguk. "Iya."
Hana mengusap puncak kepala anak laki-laki itu sebelum beranjak mengambil es krim. "Mau rasa apa?" tanya Hana lagi
"Coklat?" Arka mengangguk.
Hana membeli es krim untuknya dan juga untuk Arka. Tidak pula membelikannya untuk Zia, anak itu suka menangis ketika tidak mendapatkan apapun yang di beri oleh Hana apalagi jika yang di beri hanya Arka.
Hana menyerahkan es krim yang baru saja ia beli, Zia tersenyum saat menerimanya. "Bilang makasih."
"Makasih."
Hana mengusap rambut Arka yang sedang menjilati es krim yang berada di tangannya. Ia sangat bahagia, awal yang baru untuknya.
_"Nak." Hana yang baru pulang mengajar langsung duduk di sofa setelah ibunya memanggilnya.
Ia melihat kearah Ibu dan Ayahnya, wajah mereka begitu sangat serius. Membuat kening wanita itu mengerut, apa yang tengah terjadi dan apa yang akan mereka katakan padanya sekarang?
"Kenapa? kok tegang banget?" tanya Hana, berusaha mencairkan suasana walaupun nyatanya usahanya sia-sia saja. Wajah mereka begitu serius, Hana makin takut.
Laki-laki parubaya itu mengisyaratkan pada istrinya untuk berbicara, Nia menghela napas. "Soal perjodohan kemarin."
Hana menggelengkan kepalanya saat mendengar kata yang di ucapkan Ibunya. "Perjodohan? Hana masih engga mau."
"Kenapa, Nak. Bukannya kita berdua sudah kasih kamu waktu yang cukup buat berpikir?" tanya Ayahnya sembari menatap Hana.
Hana menundukkan kepalanya. "Hana engga tau siapa? Berapa umur anaknya, Bu?"
"Kalau anaknya engga mau Hana jadi ibu sambungnya bagaimana?" Hana menceritakan keluh kesahnya pada orang tuanya, menikah dengan seseorang memerlukan waktu yang tidak sedikit. Minimal mengetahui sifatnya, bagaimana cara laki-laki itu memandang sebuah pernikahan. Hana tidak ingin gagal, tidak ingin membuat orang tuanya kecewa untuk kesekian kalinya.
"Ibu tau, tapi coba dulu. Siapa tau cocok, kalau kamu mau. Nanti ibu suruh kalian ketemuan sekalian sama anaknya di rumah."
Ia menghela napas. "Hana masih belum siap, Bu. Hana belum siap menerima tanggung jawab yang besar untuk jadi ibu."
"Ibu hanya takut kamu terluka karena ucapan orang-orang. Katanya anak ibu perawan tua dan engga laku, hati orang tua mana yang engga sakit hati dengarnya, Nak." Banyak sekali ucapan yang tidak enak di dengar masuk ke telinganya. Mengatakan jika anaknya terlalu pemilih hingga akhirnya tidak kunjung menikah.
Hana mengusap air matanya, semua ucapan itu memang sudah sampai di telinganya sendiri. Bagaimana orang-orang begitu penasaran dengan kehidupannya, mereka selalu bertanya.
Kapan menikah?
Bukannya menikah itu kesiapan, ia belum siap apalagi dengan seseorang yang sudah punya anak.
Ia tidak tau bagaimananya nantinya.
"Ini terakhir kalinya Ayah Ibu minta sesuatu sama kamu, Nak. Kita sudah tua, seharusnya kita sudah gendong cucu dari kamu. Hanya kamu yang kita punya."
Hana menghela napas panjang, setelah berpikir tidak ada salahnya jika bertemu terlebih dahulu. "Oke, Hana mau tapi Hana harus tau dulu orangnya sama anaknya. Berapa umurnya dan bagaimana orangnya, walaupun Hana guru tapi Hana engga bisa luluhin anak orang, Bu."
"Kamu cantik, Nak. Siapa yang engga mau sama kamu?"
"Banyak, Bu."
"Arka engga luluh sama Hana, Bu," ucap Hana di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Hana
SpiritualTakdir mengantarkan Hana menuju sebuah perjodohan. Siapa sangka laki-laki yang di jodohkan adalah orang duda anak satu yang tidak lain adalah Ayah dari anak didiknya. Apa yang akan di lakukan Hana? Menerima atau menolak?