Arka menangis di kamar setelah Siti menyuruhnya untuk tidur. Seperti biasa semua kegiatan Arka sudah di atur dari bangun hingga ia kembali tidur. Arga memegang semua kuasa di rumah ini, Siti menjalankan tugas sebagai pengasuh sekaligus pembantu.
Sebuah aturan pun di tempelkan di dinding kamar Arka. Setiap malam Arka harus belajar dua jam sebelum tidur, ia tidak boleh bermain terlalu lama. Pernah satu kejadian Arka tidak mau belajar dan menangis.
Arga yang jengkel pun menarik Arka dan menguncinya di kamar mandi hingga pagi hari.
"Den Arka, ayo tidur. Nanti Ayah marah." Siti mulai bernegosiasi dengan Arka, anak itu asik bermain mobil-mobilan di lantai.
Siti melihat kearah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh tapi Arka belum tidur. Ia sudah gelisah, jika telat sedikit. Arga pasti marah padanya dan juga pada Arka.
"Arka dengerin Bibi, sekarang waktunya tidur. Besok main lagi." Siti mengambil mainan dari tangan Arka membuatnya kembali menangis.
Siti menunjuk bibirnya dengan telunjuknya sembari menatap Arka yang sedang menangis kencang. "Nanti Ayah Arka marah."
Seperti biasa bukannya tangisan itu mereda, tangisan itu malah lebih kencang. Hingga suara ketukan pintu terdengar dari luar, Arka langsung menghentikan tangisan tapi tubuhnya masih bergetar menahan tangis.
"Tuh, Ayah sudah marah sekarang tidur."
Dengan berat hati, Arka merebahkan tubuhnya di kasur. Waktu bermainnya makin hari makin menipis, waktunya hanya di habiskan belajar dan juga belajar.
Seperti biasa punggung Arka di usap olehnya, sebuah kebiasaan anak itu ketika tertidur dari kecil hingga saat ini. Arga tidak pernah menanyakan kabar anaknya yang Arga tau hanya Arka makan enak itu saja.
Arka selalu menangis setiap hari, di sekolah lamanya. Arka selalu di buli oleh sahabatnya, mereka mengatakan kalau ia tidak memiliki ibu dan Ayahnya jarang sekali untuk mengunjunginya walaupun ada rapat orang tua. Siti selalu mewakili kadang-kadang Laila juga senantiasa ikut ke sana.
Siti menutup pelan kamar Arka, sebelum menuruni tangga ia bertemu dengan Laila.
"Arka sudah tidur?" tanya Laila pada pengasuh Arka.
Siti mengangguk. "Sudah, Bu. Baru saja."
Laila mengangguk. "Kalau gitu Mbak bisa istirahat."
Wanita parubaya itu mengintip, menatap cucunya dengan sendu. Beberapa tahun ini, masa tersulit untuk Arka. Selalu sendiri dan tidak pernah mempunyai teman kecuali pengasuhnya.
"Mengapa nasib cucuku begini?" Laila menundukkan kepalanya kembali menutup pintu kamar Arka pelan.
_
Arga menyeret anaknya ketika Arka tidak mau mandi, Arka hanya tahu menangis dan menangis membuat Arga jengkel mendengar tangisan putranya setiap hari.
Arga menatap tajam putranya, tangannya ia tarik hingga ke kamar mandi. Arga menyalakan shower membuat tubuh Arka basah oleh air dingin.
Tubuh Arka seketika menggigil, biasanya ia mandi dengan air hangat tapi kali ini berbeda. Arga keluar meninggalkan Arka yang masih diguyur oleh air dari atas tubuhnya, Siti hanya diam. Ia tidak berani bertindak jika tidak ada perintah dari Arga.
Itu adalah hukuman dari Arga untuk putranya, aturan tetaplah aturan. Jika di langgar akan di berikan hukuman, Arka sudah biasa dengan semua itu dari kecil hingga saat ini.
Laila langsung menyelimuti tubuh cucunya setelah mematikan air shower terlebih dahulu. Mengangkat tubuh Arka, Laila menatap putra laki-lakinya dengan tajam.
Kejadian ini selalu terulang bahkan ketika Laila berada di sini dan Arga tidak pernah kapok dengannya.
"Ayah macam apa kamu ini, Nak!" Laila menaikkan nada biasanya sembari menatap putranya. Dengan cepat tangan mengambil selimut untuk menutupi tubuh Arka, handuk saja tidak cukup.
Tubuh Arka masih menggigil hebat, Laila langsung sigap memeluk tubuh cucunya memberikannya kehangatan. Siti bergegas mengambil minyak telon untuk Arka dan juga bajunya.
Setelah Arga keluar, Laila menatap Siti dengan sendu. Ia tahu Siti juga takut kepada Arga. "Jangan takut sama Arga, Mbak."
"Tapi, Bu."
"Kalau macam-macam sama Arka, laporin sama saya langsung." Siti hanya mengangguk paham, sebenarnya ia juga ragu dengan ucapan Laila. Beberapa kali beliau melarang Arga untuk seperti itu, tapi tidak pernah Arga melakukannya.
Siti menyerahkan minyak telon pada Laila, membalurkannya keseluruhan tubuh Arka supaya hangat. Setelah itu langsung memakaikannya baju seragam sekolah, Laila mengecup kening cucunya sembari menahan air yang akan jatuh.
"Nanti ke sekolahnya sama Oma, ya, Nak." Arka mengangguk.
Arka langsung berlari menuju meja belajarnya, merapihkan buku-buku miliknya yang berantakan karena semalam tidak sempat membereskannya. Laila hanya menghela napas panjang, semua urusan kamar Arka hanya anak itu yang membereskannya. Siti juga tidak boleh merapihkan apapun di tempat ini, tugas Siti hanya pengasuh dan pembantu.
"Sekarang jadwal pelajarannya apa aja?" tanya Laila setelah mendekat kearah cucunya. Arka menoleh, ia menunjuk buku yang bertuliskan Matematika.
"Arka suka matematika?"
Arka menggelengkan kepalanya. "Engga."
"Ayah dulu suka matematika." Mata Arka berbinar seperti mendengar fakta baru tentang Ayahnya. "Oma engga bohong, Ayah dulu pintar sekali."
Arka menundukkan kepalanya, sepintar-pintarnya Arga. Laki-laki itu tidak pernah mengajari Arka sedikit pun walaupun anak itu kesusahan dan Siti tidak tahu jawabannya. "Tapi Ayah engga pernah ajarin Arka matematika," ucapnya di dalam hati.
"Sudah?"
Arka mengangguk. "Ayo berangkat."
Laila menepuk punggung Arga yang sedang berdiri di luar menunggu mereka. Jika tidak ada Ibunya pasti Arga sudah marah. "Berlakulah seperti seorang Ayah, Nak."
Arga tidak mendengar ia memilih masuk lebih dahulu ke dalam mobil. Arga menekan klakson membuat Arka yang berada di dalam langsung bergegas, suara klakson pertanda bahaya menurut Arka. Apalagi jika bunyi itu terdengar beberapa kali, Arka bisa mendapatkan hukuman karena telat.
Laila menahan tubuh Arka yang hampir saja terjatuh, anak itu berlari dari rumah menuju keluar tanpa mengikat tali sepatu dengan benar. "Hati-hati, Ikat dulu sepatunya."
Arka melihat kearah mobil Ayahnya terparkir lalu menatap Omanya. Laila mengangguk. "Ikat dulu," ucap Laila menyakinkan Arka.
Arka langsung menundukkan tubuhnya, dengan cepat ia mengikat tali sepatunya dengan benar. Arka kembali berlari kala masuk ke dalam mobil, anak itu duduk di belakang dengan Siti sedangkan Laila duduk di depan di sebelah anaknya Arga.
Mobil yang di tumpangi mereka berhenti ketika sampai di sekolah Arka. Laila mengecup kening Arka ketika mereka sudah turun kecuali Arga. "Oma mengantarnya sampai ke sini, ya, Nak."
Arka mengangguk paham, mengecup punggung tangan Laila.
Laila tersenyum mengusap pelan rambut cucunya. "Salim dulu sama Ayah Arka." Arka langsung mendongakkan kepalanya keatas setelah mendengar ucapan yang di lontarkan oleh Laila.
Setiap Arka menjabat tangan Arga, Ayahnya selalu menolak dan memilih pergi. "Sana." Arka mengangguk.
Kali ini salam di terima oleh Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Hana
EspiritualTakdir mengantarkan Hana menuju sebuah perjodohan. Siapa sangka laki-laki yang di jodohkan adalah orang duda anak satu yang tidak lain adalah Ayah dari anak didiknya. Apa yang akan di lakukan Hana? Menerima atau menolak?