Hana hanya menatap makanan yang berada di depannya dengan tak minat. Gina menoleh dan bertanya. "Bocah itu udah masuk belum, Han?"
Hana menggelengkan kepalanya. Hari ini Arka tidak masuk sekolah lagi, membuat Hana bertanya-tanya apa anak itu sakit?
Apa laki-laki itu melarang Arka sekolah?
Jika semua pertanyaan itu benar Arga adalah Ayah yang tidak bertanggung jawab.
Hana menggelengkan kepalanya, tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain. Belum tentu laki-laki itu seperti yang ia pikirkan.
Gina mengerutkan keningnya.
"Kok belum, emang Bapaknya engga marah apa anaknya engga sekolah?"Hana mendengus kesal. "Kayaknya Ayahnya bodoamat, Gin. Mau anaknya sekolah apa engga, dia engga anggap Arka anaknya."
Gina mengerutkan keningnya, merasa tidak percaya. Kalau di lihat, laki-laki itu pria bertanggungjawab. "Masa sih, kok gue engga percaya."
"Udah lah kalau lo engga percaya, mana alamat rumahnya," ucap Hana, ia sangat-sangat membutuhkannya sekarang.
"Nanti gue cari dulu." Hana mendengus kesal. "Kelamaan, Gin."
"Ya, sabarkan harus di cari." Gina mendengus kesal.
Hana mengangguk. "Jangan lupa, awas lo."
"Ya, engga sabar banget. Kayak mau ketemu calon suami aja lo, Han."
Hana memijat keningnya pening, bangkit dari duduknya meninggalkan Gina sendiri di kantin. Gina yang menyadari Hana pergi, langsung bergegas menyusulnya.
Gina melirik Hana yang melamun tanpa mendengarkan ucapannya dari tadi. Ia merasa Hana sangat menginginkan alamat anak itu sekarang. Tangannya langsung meraih kertas kecil yang berada di depannya, menuliskan alamat yang ia dapat dari berkas-berkas Arka.
"Nih, udah, ya." Gina menyerahkan kertas yang berisikan alamat tersebut di atas meja.
"Hm."
"Mau sama gue ke sananya?" Gina memberikan tawaran mengiurkan tapi Hana menolaknya. "Engga usah."
"Oke."
_
Motor hitam milik Hana berhenti di sebuah rumah yang pagarnya menjulang tinggi. Hana langsung turun dari motornya, ia melihat no rumah yang berada di sampingnya. Menyamakan apa ini benar rumah Arka apa bukan.
Ternyata benar, Hana langsung berjalan ke pintu gerbang.
"Assalamualaikum."
"Permisi." Beberapa kali Hana bersuara tapi tidak yang menjawab. Hana menghela napas, suaranya sudah serak sekarang.
Untung saja ada orang yang melintas, Hana dengan cepat bertanya. "Mas, kalau yang punya rumah ini ada engga?"
"Kalau jam segini, kerja Mbak."
"Kalau boleh tau dia kerja di mana, ya, Mas."
"Oh kalau itu saya engga tau." Hana langsung mengangguk. "Oh, iya, Mas. Makasih."
Hana menghela napas berat, ia langsung mengambil ponsel yang berada di tasnya untuk menghubungi Gina sahabatnya.
"Gin lo tau engga alamat kerjanya s duda."
"Hah?"
"Alamat kerjanya Bapaknya Arka, Gina." Hana sedikit menaikkan suaranya.
"Oh, ada nih."
"Cepet kirim." Hana mematikan teleponnya sepihak. Gina memang selalu seperti itu sedikit lola, beberapa menit kemudian ponsel yang ia pegang kembali berdering. Pesan masuk dari Gina, Hana langsung memeriksanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Hana
روحانياتTakdir mengantarkan Hana menuju sebuah perjodohan. Siapa sangka laki-laki yang di jodohkan adalah orang duda anak satu yang tidak lain adalah Ayah dari anak didiknya. Apa yang akan di lakukan Hana? Menerima atau menolak?