"Bagaimana rasanya di roasting setiap hari oleh suami sendiri?"
.
.
.
.
Hana terkejut saat melihat Arga ada di sampingnya, setelah ia membuka matanya. Apalagi tangannya memeluk pinggangnya dengan erat, Arga juga tidak memakai bajunya. Ia melihat ke kanan posisi Arka kini berubah, tubuhnya sangat dekat dengan tembok. Pasti Arka tidak leluasa untuk bergerak, bagaimana tidak sempit, ranjang sekecil ini di pakai oleh tiga orang.
Hana berusaha melepaskan tangan Arga dari pinggangnya tapi tidak berhasil. Hana sudah tidak kuat ingin ke kamar mandi, ini sudah di ujung.
Dengan kekuatan yang ia punya, akhirnya terlepas. Hana menghela napas berat lalu berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan air seni yang sudah lama ia tahan tadi.
"Kok merah?" tanya Hana setelah mengikat rambutnya menjadi satu, ia bisa dengan jelas melihat lehernya merah dari cermin di depannya. Seumur hidupnya tinggal di sini, Hana tidak pernah mendapatkan tanda merah lumayan besar. Biasanya gigitan nyamuk kecil dan gatal tapi ini tidak. Hana mengabaikannya, ia turun ke bawah untuk membantu ibunya memasak.
Sarah hanya tersenyum melihat leher putrinya, manis asam kehidupan sudah ia rasakan. Mana mungkin, ia tidak mengetahui tanda merah itu berasal. Hana mengerutkan keningnya saat ibunya terus saja tersenyum kepadanya dari tadi.
Hana langsung menyimpan pisau yang ada di tangannya. "Kening ibu engga panaskan?" tanya Hana.
Tangan Hana di pukul oleh sendok nasi. "Kamu pikir ibu kurang waras?"
Hana menggelengkan kepalanya. "Rambut Hana jelek, ya, Bu. Sampai ibu lihat mulu?" Rasa kepercayaan dirinya berkurang sekarang.
"Hah?"
Hana menghela napas, mengulangi kembali ucapannya lebih keras dari sebelumnya. Sarah menggelengkan kepalanya, Hana cantik bagaimana pun potongan rambutnya ataupun cara Hana berjilbab. "Terus kenapa Ibu lihat mulu." Jika bukan rambutnya lalu apa?
Tatapannya begitu mengintimidasinya, Hana tidak nyaman walaupun itu ibunya sendiri. "Itu."
Hana memegang lehernya, ibunya mengangguk. "Di gigit nyamuk, merah banget ya, Bu?" Merah sedikit keunguan, Hana tidak tau jika bekas itu tidak hanya satu.
Masih ada beberapa tanda yang tidak akan bisa Hana lihat.
"Kasih tau suamimu, kalau kasih tanda jangan di leher kelihatan banget." Hana menyimpan piring yang ia pegang lalu melangkah kakinya menuju kamar.
Pintu terbuka dengan kasar, Hana dengan cepat mengambil bantal lalu melemparkannya tepat di wajah suaminya. Arga langsung terbangun, ia menatap tajam istrinya yang sedang berkacak pinggang di depannya. Masih pagi tapi Hana sudah membuat masalah.
"Ah!" Hana menangis, Arga yang melihat itu hanya mengerutkan keningnya.
Tidak ada yang menyadari jika Arka sudah terbangun saat mendengar suara pintu terbuka, ia menatap ayahnya dan ibu sambungnya bergantian.
Situasi apa ini?
.
Satu hari setelah pulang dari rumah orang tua Hana, hubungan mereka canggung. Hana marah pada Arga karena membuatnya menjadi bahan candaan ibunya, ia malu apalagi posisinya ada Arka di kamar, pasti ibunya berpikir macam-macam tentangnya.
Hana memijit keningnya yang pening, ia kembali mengajar setelah dua hari libur. Kali ini, Gina yang tidak masuk karena tubuhnya tiba-tiba tidak enak jika di paksakan ia takut terjadi sesuatu dengan janinnya.
Di tempat lain, Arka baru saja kehilangan pensil miliknya. Hanya satu yang ia punya dan sekarang hilang, bagaimana ia akan menulis nanti?
Arka beranjak dari tempat duduknya, mencari Zia. Masih tersisa beberapa menit lagi bell akan berbunyi. Arka mencari Zia di kelasnya tapi tidak ada kali ini ia mencarinya di taman sekolah ternyata Zia berada di sana sedang memakan coklat.
Arka sudah berani sendiri, sekarang Mbak Siti hanya mengantar jemputnya saja. Tidak menemaninya seperti dulu lagi.
"Zi."
"Zi"
Zia menoleh mencari sumber suara itu berasal, suaranya begitu tampak asing di telinganya. "Zi."
Zia memiringkan kepalanya, Arka menunjuk kotak pensil yang tergeletak di kursi. "Pinjam."
Mulut Zia terbuka lebar bahkan matanya berbinar.
"Wah, Arka bisa bicara juga ternyata." Arka mengerutkan keningnya, Zia mengira dirinya tidak bisa berbicara? Ia bisa tapi Arka sudah terbiasa seperti ini, tidak bisa menyuarakan apa yang ia mau dan tidak diinginkan olehnya.
Arga hanya bisa terdiam dan menangis.
"Pensil?" Arka mengangguk.
Zia mengambil kotak pensil miliknya, untung saja ia memiliki banyak pensil yang di berikan oleh Hana. "Tante Hana Ibu Arka bukan? Pensil ini semua dari Tante Hana loh, kalau Arka minta pasti di kasih."
Arka terdiam.
_
Arga pulang dengan keadaan basah kuyup, mobil miliknya mogok terpaksa ia keluar untuk mengecek apa ada yang salah dengan mesinnya. Tapi sayangnya ia tidak membawa payung, terpaksa Arga keluar dengan tangan kosong. Setelah beberapa mencoba memperbaiki tapi tidak berhasil, Arga menghubungi Gilang.
"Bawa ke bengkel, Lang. Mana payungnya?" tanya Arga setelah Gilang sudah sampai.
Gilang menyerahkan payung yang ia bawa dari rumah. "Sama saya saja, Pak?"
Arga menggelengkan kepalanya. "Saya sudah telepon bengkel biasa, kamu bisa kan urus mobil saya?" tanya Arga.
"Baik, Pak." Sebagai sekertaris yang baik Gilang mengangguk.
Arga mengeluarkan dompet yang ada di saku celananya, mengambil beberapa uang berwarna merah lalu menyerahkannya pada Gilang. "Buat kamu, sekali lagi makasih."
"Oh, untuk biayanya kirim nomor saya."
Gilang terdiam sembari tangannya masih menggenggam uang dan kunci mobil milik bosnya. Arga sudah pulang menaiki taksi tadi, Gilang melihat sisi baik dari seorang Arga Mahendra Siregar.
Laki-laki yang terlihat galak dan tegas, memiliki sisi baiknya masing-masing.
"Ternyata Pak Bos bisa baik juga, lumayan buat jajan." Gilang menyelipkan uang itu di sakunya.
_
Tubuh Arga menggigil, ia memang tidak kuat oleh cuaca dingin dengan cepat ia masuk ke dalam. Mbak Siti yang sedang ada di ruang tamu langsung berdiri. "Ya Allah, Den. Cepat masuk, Mbak ambil handuk dulu." Mbak Siti berlari mencari handuk lalu menyerahkan pada Arga.
Bibirnya pucat saat membukakan pintu kamar, Hana yang sedang memakai skincare langsung menghentikan aktivitasnya. Arga masuk ke kamar mandi, Hana yang tidak tega melihat Arga yang pucat.
Mengambil baju ganti, meletakkannya di atas ranjang. Hana berjalan menuju dapur akan lebih hangat jika Arga meminum air teh panas.
"Tolong kerok punggung saya, Hana." Sejujurnya Hana tidak bisa tapi ia mengangguk. Menyerahkan air teh yang ada di tangannya pada Arga.
"Bisa tidak?" tanya Arga, Hana menatap punggung suaminya. Ia sudah melihat tutorial terlebih dahulu, Hana takut salah.
"Ais, sudah-sudah. Kulit saya bisa lecet. Panggil Mbak Siti sana." Hana memutarkan bola matanya malas, siapa suruh dirinya.
"Kamu bisanya apa sih? Pijat saya engga bisa apalagi kerok punggung saya."
Hana yang akan membukakan pintu langsung terdiam. "Oh, saya tau bisanya kamu itu hanya mengomel seperti sekarang."
"Bodo amat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Hana
SpirituellesTakdir mengantarkan Hana menuju sebuah perjodohan. Siapa sangka laki-laki yang di jodohkan adalah orang duda anak satu yang tidak lain adalah Ayah dari anak didiknya. Apa yang akan di lakukan Hana? Menerima atau menolak?