Paper bag

3K 125 1
                                    

"Menikah itu adalah kesiapan dua pihak, mental, kondisi fisik maupun batin."

.

.

.

.

Gina tersenyum kecil, sangat terlihat dari wajah Hana jika dirinya sedang ada yang dipikirkan. Gina menghela napas, Hana tipe orang yang ada masalah selalu saja di pikirkan baik itu yang kecil ataupun yang besar. "Harusnya awal-awal pernikahan masih panas-panasnya."

"Matamu."

Gina tertawa sembari memegang perutnya. "Gue juga gitu dulu, engga mau tuh di tinggal satu menit pun sama Mas suami." Gina langsung teringat awal-awal ia menikah dengan suaminya, begitu indah.

Sayang sekali Hana tidak merasa apa yang di rasakannya saat itu. "Beda cerita, Gin. Lo saling cinta lah gue sama dia?"

"Dia bakal cinta sama lo." Kalimat itu di ucapan oleh Gina tanpa ragu, ia percaya Hana akan di cintai oleh Arga dan juga oleh anak sambungnya kelak jika Hana bersabar.

Hana tersenyum kecil. "Gue engga berharap lebih, yang paling utama itu Arka. Bapaknya nomor terakhir."

"Mereka sama-sama penting sekarang baik Arga ataupun Arka. Peran lo di sana bisa merubah segala hal, baik sikap Arga sama lo atau pun sikap Arka. Gue yakin Lo bisa, Han."

"Tujuan lo nikah sama dia cuma buat Arka, bukan? Tapi Lo lupa masalah dari ribuan masalah di rumah itu adalah bapaknya. Lo harus luluhin dia dulu, gue yakin Arka akan lebih terbuka jika orang tuanya lebih memperhatikannya. Bukan satu pihak, tapi dua pinak. Peran seorang ayah itu sangat penting, kadang mereka adalah panutan anak-anaknya."

Ya, Hana tau. Arga adalah sumber masalahnya, jika laki-laki itu berubah pasti Arka ikut sedikit-sedikit berubah. "Pelan-pelan, Ha. Rebut hatinya, beri dia juta-juta perhatian yang udah lama dia engga dapatin dari seorang perempuan, masak makanan favoritnya, siapkan baju kerjanya, kecup tangannya, beri dia pelukan hangat. Karena rumah itu butuh kehangatan."

"Bukan gue sok tahu, tapi ini pengalaman gue yang udah nikah beberapa tahun. Hidup pernikahan pasti ada masalahnya, gue juga pernah di titik itu. Lo tau itu, sampai gue nekat balik ke rumah orang tua gue karena suami gue bales mantannya."

"Gue dulu egois, gue berharap lo jangan egois, Han."

"Gue yakin Arga itu butuh sosok istri kayak lo, walaupun lo berisik tapi gue yakin lo mampu."

Hana melirik Gina saat sahabatnya mengatakan dirinya berisik, Gina malah tersenyum lebar seperti tidak ada rasa bersalah. "Lo ngerti engga, gue harap lo praktekin yang gue ucapkan tadi. Pelan-pelan, coba sentuhan fisik."

"Itu engga."

"Kenapa? Sentuhan fisik engga harus berhubungan intim. Lo bisa kecup tangannya, Lo bisa pijitin dia, lo peluk dia. Kalau Lo terbiasa itu engga akan risih ataupun canggung, lo istrinya Lo berhak atas itu semua."

"Iya, nanti gue coba."

"Gue harap begitu, supaya anak gue dapat temen."

Hana memutarkan bola matanya.

_

Tangan Hana melambai keatas saat mobil yang di tumpangi oleh Gina melesat meninggalkannya. Hana menghela napas, ia berjalan kearah halte menunggu angkutan umum. Ponsel yang ada di dalam tasnya berdering, langkah kakinya terhenti seketika.

Takdir Cinta HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang