Hana masih kesal dengan sifat seorang Arga, laki-laki tidak mencirikan seorang Ayah yang baik untuk anaknya. Pantas saja Arka pendiam seperti itu rupanya anak itu kurang perhatian orang tuanya.
Begitu miris memang, menjadi seorang Arka. Memiliki seorang Ayah yang begitu tidak memperdulikannya, yang di perdulikan laki-laki itu pasti uang dan pangkat saja.
Hana mendengus kesal, ia membuka laptop yang berada di depannya. Mencari siapa tau sosok Arga, laki-laki yang membuat kesal.
Arga Mahendra Siregar
Nama laki-laki itu, Hana mengangguk-angguk sembari membaca profil tentang laki-laki itu.
"Ternyata umurnya 35."
Rupanya Arga sangatlah kaya, ia mendirikan rumah sakit yang berada tidak jauh dari rumah Hana. Rumah sakit yang bisa menampung puluhan pasien, Hana bangga dengan prestasinya tapi Hana tidak suka sifat arogan laki-laki itu.
Suara ketukan pintu kamar terdengar, Hana langsung menoleh. Ternyata Sarah masuk dengan segelas susu di tangannya, meletakkannya di atas nakas.
"Sini, Nak." Sarah menyuruh Hana untuk duduk sebelahnya, gadis itu mengangguk. Duduk di sebelah wanita yang sudah melahirkannya.
Tangan Hana di genggaman Bundanya, Hana langsung tau apa maksudnya. Ia menghela napas, "Kenapa, Bun?" tanya Hana seolah ia tak tau maksud Bundanya.
"Masih tentang jodoh, Nak."
Hana memejamkan matanya sejenak, ia tersenyum. "Masih belum di kasih sama Allah bisa apa, Bunda?"
"Apa yang kamu cari, Nak?" tanya Sarah.
Hana menggelengkan kepalanya. "Engga ada, Bunda."
"Lalu mengapa selalu menolak untuk di jodohkan?"
Hana menunduk kepalanya. "Hana masih belum siap jadi seorang istri. Apalagi jika di jodohkan, Hana tidak tau laki-laki itu masih sendiri atau duda berapa anak."
"Jika laki-laki itu seorang duda dan memiliki anak. Hana belum tentu bisa mengurus atau membimbingnya, Hana belum bisa adil jika kelak Hana mempunyai anak kandung Hana sendiri."
"Hana takut gagal, Bunda. Jadi seorang Ibu, Hana takut membuat Bunda sama Ayah kecewa jika Hana gagal dalam pernikahan."
"Sebab itu Hana belum siap Bunda."
Sarah mengusap kepalanya putrinya. "Di jalani dulu, Nak. Kalau jodoh insyaallah yang terbaik, ya kita harus bisa milih mana yang terbaik. Bunda engga kecewa sama kamu, Bunda cuma kecewa sama diri sendiri engga bisa mencarikan kamu calon yang terbaik."
Hana menggelengkan kepalanya. "Engga perlu di cari, Bun."
"Kalau engga di cari bagaimana cara untuk mendapatkannya? Jodoh itu di cari bukan di nanti," ucap Sarah.
Hana terdiam. "Bunda ada calon buat kamu, anak teman Bunda waktu SMA tapi dia Duda anak satu."
Hana menghela napas lalu menggelengkan kepalanya. "Hana belum siap mental untuk itu Bunda."
Sarah mengangguk. "Pikirkan dulu, Nak. Ke depannya serahin sama Allah, biarkan mengalir sesuai jalannya."
Hana menatap tubuh Bundanya yang menghilangkan di balik pintu, ia menghela napas. Menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, Hana mengacak-acak rambutnya. "Kenapa berurusan sama Duda mulu sih, s Arga duda yang ini duda. Argh, pusing."
_
Arka menatap makanan yang tersedia di meja makan. Ia menatap sekelilingnya tidak ada orang hanya dirinya seorang diri dengan makanan yang banyak.
Pengasuh Arka, Siti bergegas berjalan cepat menuju anak kecil yang sedang duduk itu. "Ayah mana?" tanya Arka pada pengasuhnya.
"Pak Arga sudah berangkat pagi-pagi, Den." Arka menghela napas, ia mengambil sendiri makanan tersebut dan memakannya habis.
"Ayo ganti bajunya, den. Nanti telat." Arka menggelengkan kepalanya. "Kenapa?"
Arka malah menangis, Siti langsung menyetujuinya. Ia menghela napas, mengambil ponsel di dalam sakunya lalu menghubungi Arga.
"Terserah."
Kata itu terlontar dari mulut Arga, di matikan begitu saja. Siti terdiam, membiarkan Arka tidak sekolah untuk dari ini.
_
"Arka?" Hana mengabsen satu persatu siswa yang berada di kelas, saat bagian Arka tidak ada jawaban. Hana melihat ke arah tempat duduk anak itu tapi tidak ada.
Hana menghela napas, tidak ada absen sakit ataupun ijin. Ia tak tau mengapa Arka tidak masuk sekarang, Hana ingin menanyakan kabar anak itu tapi ia tak tau kepada siapa ia menghubunginya.
"Ada yang tau Arka kemana?" tanya Hana.
Mereka menggelengkan kepalanya. "Bu guru." Amira berdiri, Hana langsung menghampiri anak itu.
"Ada apa, Mira?"
Mira membisikkan sesuatu. "Hah? Di bully?"
Anak kecil itu mengangguk, Hana kembali menghela napas. Bagaimana ia tak tau jika Arka di bully oleh temen sekelasnya, mereka mengatakan kalau Arka tidak mempunyai ibu.
"Anak-anak dengerin ibu bicara dulu." Mereka semua terdiam. "Hildan, Ibu guru mau tanya boleh?" tanya Hana.
Anak laki-laki itu mengangguk. "Hildan, kemarin kamu bicara apa sama Arka?"
Anak di depannya menggelengkan kepalanya. "Hildan tau engga, kisah seorang kelinci yang berbohong?" Hana mencoba membuat cerita supaya anak laki-laki itu berbicara.
"Engga, ibu guru."
"Suatu hari ada seekor kelinci yang sangat baik, tapi tiba-tiba kelinci itu berubah menjadi jahat. Ketika ada seekor kelinci yang lain yang mencuri perhatian hewan di hutan. Kelinci itu marah, dia merusak rumahnya sendiri. Lalu saat lebah, gajah dan rusa datang. Kelinci itu berkata. "Rumahku." Sembari menangis.
Sontak mereka melihat keadaan rumah kelinci tersebut. "Bagaimana bisa hancur?" tanya Lebah.
"Kelinci berwarna hitam itu yang menghancurkannya."
"Jangan berbohong."
"Aku melihatnya sendiri."
Mereka percaya dengan ucapan kelinci tersebut. Rusa, lebah dan gajah mulai menjauhi Kelinci berwarna hitam itu bahkan semua hewan di hutan. Menganggap Kelinci hitam itu jahat.
Seminggu sudah, kelinci hitam itu menghilang.
Kelinci putih itu sangat senang, dia membereskan rumahnya sembari bergumam sendiri. "Mudah sekali membohongi mereka semua, dasar bodoh. Mana mungkin kelinci hitam itu berani merusak rumahku."
Tanpa si kelinci itu tau, lebah, gajah dan rusa mendengar ucapannya. "Kau berbohong, kelinci."
Mereka pergi dan mulai menjauhi Kelinci berwarna putih yang sering berbohong itu.
"Hildan mengerti?" tanya Hana.
Anak kecil itu mengangguk. "Bohong itu engga baik, Hildan mau kayak kelinci putih yang di jauhi karena berbohong?"
Anak kecil itu menggelengkan kepalanya. Hana kembali mencoba berbicara dengan Hildan lagi, menanyakan apa yang ia lakukan kemarin. Hildan membisikkan sesuatu kearahnya, Hana langsung tertegun saat mendengar.
Tidak hanya Hildan tapi anak kelas dua pun ikut membullynya, Hildan hanya ikut tapi tidak berbicara. Ia hanya terdiam, Hana menghela napas menyuruh mereka untuk duduk di kursinya masing-masing.
Hana mulai mengajar walaupun pikirannya tertuju pada anak itu.
Setengah jam berlalu, Hana kembali ke ruang guru. Dia membuka laptop miliknya, mencari informasi tentang Arka. Dimana alamat anak itu, Hana tidak mendapatkannya.
Dia memanggil nama Gita yang berada di sebelahnya. "Apa?" tanya Gina.
Hana menghampiri Gina sembari membisikkan sesuatu. "Alamat s duda?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Hana
SpiritualitéTakdir mengantarkan Hana menuju sebuah perjodohan. Siapa sangka laki-laki yang di jodohkan adalah orang duda anak satu yang tidak lain adalah Ayah dari anak didiknya. Apa yang akan di lakukan Hana? Menerima atau menolak?