kembali berdebat

4K 152 2
                                    

"Pernikahan yang tidak di landasi cinta."
.

.

.

"Arka makan yang benar!" suara bentakan membuat Hana tersentak. Ia langsung memberikan tatapan tajam kearah Arga.

Mata Arka berembun, tidak lagi tangannya memainkan makanan yang ada di depannya. Hana menghela napas panjang, mengambil piring yang sudah tidak layak di makan oleh Arka dan menggantinya dengan yang baru. "Makan yang ini, jangan yang itu."

Hana menginjak kaki Arga yang ada di bawah membuat laki-laki itu meringis kecil. "Hana!"

"Apa?"

"Sudah-sudah, ini bukan waktunya kalian berdebat," ucap Laila.

Suasana yang tadinya panas sekarang berubah menjadi hening. Hana menghela napas berulang kali sebelum melanjutkan menyantap makanan yang ada di depannya. Yang tadinya Arka hanya memainkan makanannya kini anak itu mulai memakannya, setelah ia mendengar suara sendok yang di pukulkan ke meja oleh Arga.

Makan malam berakhir dengan keheningan, semuanya tidak berbicara apapun. Hana berdiri memandang tubuh Arka yang berjalan menjauh membelakangi, langkah kaki kecil itu perlahan menaiki tangga satu persatu. Rapuh, Arka adalah si kecil yang paling rapuh yang pernah Hana temui.

Arga sosok Ayah yang keras pada anaknya sendiri dan juga pada dirinya.

"Saya mau bicara," ucap Hana ketika Arga berjalan melewatinya. Arga menoleh keningnya mengerut. "Hm."

Hana berjalan terlebih dahulu, ia memutuskan untuk berbicara di teras rumah. Menjauh dari Arka dan mertuanya lebih baik sekarang, apalagi dengan sifat Arga membuat Hana ingin melontarkan kata-kata kasar kepadanya. "Bicaralah."

"Hm."

Hana mengambil napas panjang sebelum bicara, ia memandang wajah suaminya yang ada di depannya lalu ia berbicara. "Bapak bisa engga bicara sama anak sendiri yang benar? Arka itu anak kecil, engga seharusnya Bapak pake nada tinggi. Saya memang orang luar tapi setidaknya  saya tahu mendidik anak itu tidak sekeras yang Bapak lakukan."

"Kalau anak itu trauma dengan ucapan atau perlakukan Bapak, bagaimana? Luka batin itu di sini Pak bukan di dengkul." Hana menunjuk dadanya sendiri ketika berbicara.

"Bapak dengar saya bicara?" Hana memijit keningnya yang pusing. Sialnya ia terjebak di dalam keluarga yang sangat toxic begini. "Itu cara didik saya kepada Arka. Kamu engga punya hak buat ngatur saya, sebelum kamu kenal Arka saya sudah melakukan itu dari dulu. Kalau saya tidak melakukan itu apa anak itu bisa disiplin seperti anak-anak lain?"

"Stop membanding-bandingkan Arka dengan anak yang lain. Arka berbeda Pak, semua anak ada kepintaran masing-masing dan jangan sekali-kali Bapak melarang Arka untuk bermain. Bisa gila kalau Arka di paksa untuk belajar setiap waktu dan kalau Arka engga disiplin engga mungkin anak itu belajar setiap waktu."

"Bukan, karena Arka takut sama saya."

"Bapak tau sendiri."

"Sudahlah Hana, kamu di sini hanya sebentar. Tidak usah mengurusi hidup anak itu, urusin saja hidup kamu. Bagaimana nanti kedepannya ketika kamu bercerai dengan saya dan cara kamu berbicara dengan orang tua kamu." Arga berjalan menjauh darinya, suara pintu tertutup membuat Hana tersentak.

Hana menyerka air matanya. Ya, bagaimana nanti ketika ia bercerai dengan Arga?

Bagaimana dengan orangtuanya?

Hana menjatuhkan tubuhnya di kursi yang berada di depan rumah. Ia menenangkan dirinya di sana, kalau tidak pasti emosinya semakin meledak ketika melihat Arga. Tubuhnya ia senderkan ke belakang, ponselnya bergetar. Hana langsung merubah posisi tubuhnya kemudian mengangkat panggilan yang tertuju padanya.

Ternyata ibunya yang menghubunginya sekarang.

"Assalamualaikum, Nak. Bagaimana nyaman tinggal di sana?" tanya Ibunya.

Hana tersenyum kecil, tidak ada nyaman sama sekali. "Nyaman, Bu. Arga baik sama Hana." Semua itu adalah bohong, Arga tidak pernah menganggap ia ada di sini.

"Alhamdulillah, nanti sering-sering main ke sini. Ajak Arka sekalian, jangan lupa sekarang kamu seorang istri Nak. Patuhi ucapan suami kamu, jangan bertengkar harus akur."

"Iya, Bu. Insyaallah nanti kalau Arka libur sekolah Hana ajak ke rumah."

"Barang yang kamu bawa sudah semua, Nak? Ibu lihat barang-barang di kamar kamu masih banyak?" tanya ibunya. Hana terdiam sejenak, ia sengaja membawa sedikit toh Hana hanya sebentar tinggal di sini. "Hana bawa sedikit, Bu. Barang-barang yang di rumah jangan di bereskan, ya, Bu, biarin di sana saja. Siapa tahu Hana nanti pulang lagi ke sana."

"Iya, jangan lupa makan yang benar di sana dan jangan lupa kasih ibu cucu secepatnya."

Hana meringis mendengarnya, cucu? Ah, itu sama sekali tidak mungkin terjadi.

"Iya, Bu. Sudah dulu, ya, Bu. Mas Arga sudah panggil Hana."

"Ya sudah, sana."

Lagi-lagi Hana menghela napas panjang, ia terpaksa berbohong pada ibunya sekarang.

"Bu!" Hana tersentak ketika ia membuka pintu rumah. Ternyata Mbak Siti berada di sampingnya pintu dan memanggilnya dengan keras. "Ibu engga apa-apa? Tadi saya dengar Ibu sama Bapak bicara keras di luar?" tanya Siti dengan wajah khawatir.

Hana mengangkat sedikit sudut bibirnya. "Engga apa-apa, itu hanya berbicara bukan apa-apa. Mbak jangan khawatir, saya baik-baik saja."

"Yang sabar, ya, Bu."

"Saya selalu sabar, Mbak," ucap Hana di dalam hati.

"Iya, Mbak."

Hana membuka pintu kamar dengan perlahan, suaminya berada di ranjang dengan laptop yang ada di pangkuannya. Arga tidak menoleh sama sekali ketika pintu itu tertutup olehnya, Hana menghela napas. Berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka dan menggosok gigi. Hana memutuskan memakai skincare di kamar mandi, ia tidak leluasa berada di ruangan ini.

Ketika ia keluar, Arga tidak ada di kamar ini. Hana memutuskan untuk tidur di ranjang di sebelah kanan dan mulai menutup matanya. Hana bisa merasakan ranjangnya bergerak sepertinya Arga sudah datang dan tidur di sebelahnya. Hana memejamkan matanya kuat-kuat, ia tidak bisa tertidur dengan posisi seperti ini. Canggung, walaupun mereka suami istri tapi tidak ada cinta di antara mereka berdua. "Jangan menguji kesabaran saya, Hana." Tubuh Hana seketika merinding ketika suara Arga masuk ke dalam telinganya.

"Dan Bapak jangan menguji kesabaran saya juga," ucap Hana di dalam hati.

Takdir Cinta HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang