Arka menangis memeluk pengasuhnya sedangkan Arga memaksanya untuk sekolah tapi anak itu tidak mau. Arka malah berlari, bersembunyi di kolong meja dan menangis, Laila yang baru masuk kamar cucunya langsung menghela napas panjang.
Ia menepuk pundak anaknya yang berdiri sembari memandang Arka yang sedang menangis. "Sana, biar Arka sama ibu."
"Sama kamu engga akan benar sampai kapanpun." Arga melenggang pergi begitu saja, mengambil kunci mobil lalu pergi.
"Arka sini sama Oma." Arka menggelengkan kepalanya.
"Ayah sudah pergi, Arka engga perlu takut ada Oma." Mata Arka melihat sekeliling, seperti melihat keadaan di sekitarnya. Akhirnya Arka luluh, Laila langsung memeluk tubuh cucunya dengan erat.
Laila melirik kearah Siti, mengisyaratkannya untuk mengambil air untuk Arka. Siti mengangguk, Laila mengusap punggung kecil Arka yang bergetar. "Sudah, sudah jangan nangis ada Oma."
Tangisan Arka mulai sedikit mereda sekarang. Laila berharap Hana bisa membantu Arga berubah menjadi lebih baik. Karena penyesalan selalu datang di akhir bukan di awal. "Minum dulu."
Laila membantu Arka minum. "Udah?" Arka mengangguk.
Laila meringis ketika melihat tangan cucunya sedikit lebam di pergelangannya. Bekas ini adalah ulah Arga, laki-laki itu selalu menarik tangan anaknya dengan kasar dan tidak pernah lembut sama sekali.
Tutur kata dan tatapannya tidak pernah lembut.
"Ini sakit?" tanya Laila.
Arka mengangguk kemudian menangis ketika Laila tidak sengaja menyentuh pergelangan. "Oma ambil dulu es batu, Arka di sini sama Mbak Siti."
"Iya."
Laila memberitahu Hana kalau Arka tidak akan masuk sekolah hari ini. Jika di paksakan sekolah, Arka pasti menolak dan kembali menangis. Arka memeluk tubuhnya sendiri di atas ranjang, Siti menatap Arka dengan sendu.
Semoga saja ada seseorang yang bisa merubah sifat Arga nantinya. Kasihan Arka jika selalu seperti ini. "Arka," panggil Siti pelan.
Arka melirik pengasuhnya. "Mau es krim?" tanyanya.
Arka menggelengkan kepalanya, ia selalu saja di bujuk oleh es krim ketika sedang sedih. Kali ini Arka tidak mau itu, Siti menghela napas panjang.
Laila masuk ke dalam dengan wajah kecil berisikan es yang sudah di tutup oleh kain. Laila duduk di pinggir ranjang, Arka mendekat kearah Laila.
"Sini tangannya." Arka mengulurkan tangannya yang sakit.
Arka meringis ketika kain yang berisikan es batu itu mengenai tangannya. Laila melirik Arka sekilas kembali fokus pada luka lebamnya. "Bi tolong ambil salepnya, saya lupa tadi."
Arka menggelengkan kepalanya, salep membuat tangannya perih.
Ia tidak mau.
Laila menghela napas berat. "Yasudah engga pake salep, sekarang Arka makannya."
Arka menggelengkan kepalanya, pertanda tidak mau.
Di tempat lain, Hana menghela napas panjang saat mendapatkan pesan dari calon mertuanya mengatakan Arka tidak akan sekolah hari ini. Selalu saja seperti ini, Hana akan mampir untuk melihatnya nanti.
Gina yang berada di sampingnya langsung bertanya. "Kenapa?"
"Biasa Arka mogok sekolah lagi."
"Samperin sana." Hana melirik kearah Gina. "Apa? ucapan gue benar bukan?"
Hana mengangguk. "Nanti."
_
Pulang sekolah....
Hana memutuskan untuk mampir membeli sesuatu, ia tidak tahu apa yang Arka suka selain es krim. Hana memutuskan membeli kue coklat untuk Arka, siapa tahu Arka menerimanya.
Hana kembali menjalankan motor hitam miliknya menuju perumahan milik Arga. Di sepanjang jalan Hana hanya fokus pada Arka, ia bertanya-tanya kenapa anak itu kembali tidak sekolah lagi.
Hana memarkirkan motornya saat sampai di tujuannya, ia menekan bell setelah beberapa menit pintu gerbang itu terbuka lebar. Ternyata pengasuh Arka yang membukakannya. "Mari, Bu."
Hana mengangguk.
Laila langsung memeluk tubuh sama saat ia masuk ke dalam. "Arka di kamar." Laila menunjuk ke lantai atas.
Hana mengikuti langkah kaki Laila, kamar Arka sangat jauh dari perkiraannya. Kamarnya di pojok, Laila mengerti kenapa Hana terdiam. "Semua ini gara-gara Arga."
Hana mengerutkan keningnya. "Kamar di sana kamar Arga sebentar lagi akan menjadi kamar kalian." Hana meringis mendengarnya.
Kamar mereka berdua? Tidak-tidak.
"Ini kamar Arka." Laila membukakan pintu kamar. Hana melihat sekeliling, ruangan ini tampak besar untuk Arka dan juga berantakan. "Kenapa berantakan sekali, Bu?" tanya Hana.
"Pelayan di sini tidak berani membereskannya."
"Semua pekerjaan di sini hanya Arka yang mengerjakannya."
"Tapi dia masih kecil, Bu."
"Ibu juga engga tahu, di mana letak otak Arga bersarang sekarang."
Semua gara-gara Arga dan Arga. "Sana masuk, Ibu pergi dulu."
Hana mengangguk.
Hana berjalan berlahan, Arka sedang tidur di ranjang. Lagi-lagi Hana menghela napas panjang, melihat buku-buku berserakan di mana-mana dan lantai tampak kotor. Hana menyimpan kue coklat yang ia beli di atas meja.
Tangannya mulai membereskan buku-buku yang berada di lantai dan menyimpannya di atas meja belajar. Pandangan Hana tertuju pada sebuah peraturan yang tertempel di dinding, sontak Hana langsung menggelengkan kepalanya.
Peraturan apa ini?
Hana membalikkan tubuhnya, ternyata Arka sudah bangun dan menatapnya. "Ibu guru bantu bereskan semua ini, ya?" Hana meminta ijin terlebih dahulu pada Arka.
Arka menggelengkan kepalanya, semuanya ini pekerjaannya. Jika tidak pasti ia akan di marahi seperti tadi. "Kenapa?"
Arka menunjuk dirinya sendiri, Hana menghela napas. Ia mengerti maksudnya sekarang. Hana duduk di atas ranjang, menatap Arka yang sedang menunduk.
Jika sedang tidak memakai baju sekolah, tubuh Arka begitu kurus. Hana mengambil kue yang ia beli lalu menyodorkannya pada Arka. "Buat Arka."
Arka mengerutkan keningnya sembari menatap Hana. "Buat Arka," ucapnya lagi.
Mata anak itu berbinar, menerima bok kue yang tadi di pegang Hana. Ia tidak sengaja melihat tangan Arka yang lebam, Hana segera menarik pelan tangan kecil itu lalu melihatnya. "Astaghfirullah, ini kenapa Arka?"
Arka menarik tangannya.
Hana memejamkan matanya, muak ia sekarang. Pasti semuanya gara-gara Arga lagi, bagaimana bisa anak sekecil ini mendapat perlakuan tidak adil dari Ayahnya sendiri. "Sudah diobatin?"
Arka mengangguk.
Hana mengelus rambut Arka yang sedang memakan kue yang ia beli tadi. "Ngapain kamu di sini?" tanya seseorang dari belakang.
Hana menoleh ke belakang, ternyata Arga sedang berdiri dengan angkuh sembari menatapnya. "Bapak bisa lihat sendiri, saya sedang apa di sini."
"Makan saja, Arka. Anggap saja Ayah kamu engga ada di sini," ucap Hana saat melihat Arka terdiam dan tidak memakan kuenya.
Arga mendengus kesal.
Hana bangkit dari duduknya, berjalan kearah Arga yang sedang berdiri. "Mari kita percepat pernikahannya," ucap Hana dengan tegas.
Hana tidak mau melihat Arka seperti ini, jika ada Hana di sini. Ia bisa mencegah semua itu terjadi, dengan cara apapun.
Arga mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan ucapan yang di lontarkan Hana.
"Ayo kita menikah secepatnya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Hana
EspiritualTakdir mengantarkan Hana menuju sebuah perjodohan. Siapa sangka laki-laki yang di jodohkan adalah orang duda anak satu yang tidak lain adalah Ayah dari anak didiknya. Apa yang akan di lakukan Hana? Menerima atau menolak?