Hana Jiara Kamila

15K 280 1
                                    

Wanita yang mengomel di perkarangan rumahnya yaitu Hana. Wanita dengan gamis hitam dengan kerudung berwarna pink itu memegangi kepalanya, ketika mendengar ucapan dari semua orang. Apa salahnya, jika belum menikah di usia yang akan menginjak usia 30 tahun. Saat ini kepala wanita itu nyaris meledak mendengarkan ucapan semua orang dari kanan dan kiri.

"Kapan nikah Han, jangan lama-lama nanti susah punya anak."

"Cari laki sana, Han. Jangan sampe jadi perawan tua."

"Selera kamu terlalu tinggi, pantes engga ada yang mau."

Ucapan itu hanya masuk ke telinga kanan dan keluar di telinga kiri.

Hana masih enggan untuk menikah, bukan tidak menarik tapi ia memang bukan wanita penggoda yang gampang memacari seseorang. Hana memang bukan wanita alim yang tau segalanya, tapi yang ia dambakan. seseorang yang bisa membimbingnya kejalan yang benar.

Hana masuk ke dalam rumah, sudah cukup ucapan-ucapan yang masuk ke telinganya sekarang. Bahkan seumuran sudah menikah dan mempunyai anak tinggal dirinya yang melajang.

Sejujurnya, banyak yang mendekatinya tapi ia belum yakin laki-laki itu bisa membimbingnya atau tidak. Hana tidak mencari laki-laki yang tinggi derajatnya, ia mencari seseorang yang tidak memamerkan kekayaan, tidak sabaran ataupun memintanya untuk segera menikah.

Ia harus sigap ketika memilih pasangan hidupnya, karena ia akan menua bersamanya dengan imannya bukan dengan kekayaan atau pun tampangnya.

Langkah kakinya berhenti ketika mendengar suara yang memanggilnya, Dia menoleh rupanya Ibunya memanggilnya. Hana segera menghampiri ibunya yang sedang duduk itu.

"Kenapa, Bun?" tanya Hana sembari menjatuhkan tubuhnya di sofa.

Wanita parubaya itu menggelengkan kepalanya. "Sana istirahat."

Hana mengangguk, hari ini ia libur mengajar. Satu hari ini, Hana akan tidur dan tidur.

Ibunya memandang Hana dengan sendu, dia takut anaknya tertekan dengan ucapan-ucapan yang di lontarkan oleh semua orang tentang dirinya yang belum menikah.

Ia sangat khawatir tentang keadaan anaknya sekarang, Wanita parubaya itu tidak tau harus bagaimana. Menjodohkannya dengan seseorang, belum tentu Hana menginginkannya tapi ia akan mencobanya siapa tau itu berhasil.

Membujuk Hana untuk menikah.

Orang tua mana yang mau anaknya gagal dalam sebuah percintaan dan juga pernikahan. Hana bahkan belum pernah memperkenalkan seorang laki-laki kecuali masa SMAnya dulu.

Hana yang berada di kamar, menghela napas. Dia tau orang tuanya khawatir tapi ia bisa apa, mungkin jodohnya belum datang atau masih belum lahir.

Dia tidak mengkhawatirkan perkataan orang lain karena yang menjalani pernikahan adalah dirinya sendiri. Menikah bukan karena terburu-buru tapi sudah siap dan juga memiliki calon yang mantap.

Mantap akhlaknya dan mantap segalanya bahkan mantap yang berada di bawah.

Hana kerap sekali mendengar orang tuanya berbicara satu sama lain. Membicarakan perjodohannya dengan seseorang tentu saja Hana menolaknya, ia tidak mau menerima hidup seperti itu.

Keesokan harinya, Hana menyambar pakaiannya yang tergantung di dinding kamar lalu memakainya. Hari pertama Hana kembali mengajar sebagai guru di mulai, Dia mengajar di sekolah dasar sebagai guru. Hana sudah mengajar hampir dua tahun lamanya.

Dengan motor miliknya Hana melesat membelah jalan ibu kota, setiap hari seperti ini mengajar setelah selesai lalu tidur.

Ia memarkirkan motornya di perkarangan sekolah, Hana mengajar murid kelas 1. Mereka sangat menggemaskan tapi kadang menyebalkan.

"Pagi, Bu." Hana mengangguk. "Pagi kembali juga Bu Gina."

Mereka tertawa, Gina adalah seorang sahabat yang Hana miliki. Mereka bahkan bekerja di tempat yang sama, Hana menjongkok mengsejajarkan tubuhnya dengan seseorang yang berada di samping Gina.

"Halo selamat pagi, cantik." Hana mencubit pipi milik Ziana dengan gemas.

"Ya, cantik anak gue." Hana mengangguk. "Iya."

"Yuk, Masuk." Mereka masuk ke dalam.

Kelas satu kedatangan murid baru, pindahan dari sekolah lain. Hana menyuruhnya masuk, anak itu tetap diam sembari memegang seseorang di sampingnya dengan erat.

Hana menghampiri, sedikit membungkuk lalu mengulurkan tangannya. Tapi tidak ada balasannya, Hana menghela napas. Ia kembali berdiri, ia mengusap pucuk kepada anak itu.

"Maaf, Bu. Arka anaknya pendiam sekali," ucap seseorang dengan sopan.

"Tidak apa-apa."

"Arka, sana masuk. Mbak mau pulang nanti Ayah jemput." Hana mengandeng tangan Arka, anak itu malah menangis kejer seolah tidak ingin di tinggalkan oleh pengasuhnya.

Wanita di depannya tampak gelisah, dia mencoba menenangkan anak majikannya yang menangis. Hana sangat maklum dengan apa yang terjadi, semua anak pasti enggan di tinggal sendiri ketika pertama kali masuk ke sekolah. Banyak di sini yang juga seperti Arga, tidak mau di tinggal.

"Aduh, maaf, Bu. Arkanya nangis."

Hana menggelengkan kepala. "Engga apa-apa, ayo masuk sama mbaknya supaya Arkanya nyaman."

"Nggih, Bu."

Hana memperkenalkan Arka ke semua murid kelas satu, dia menyuruh anak itu duduk di bangku belakang yang kosong bersama dengan pengasuhnya.

Hana mulai mengajar, di sela-sela ia mengajar. Hana mencuri pandang kearah Arka yang tidak memperhatikannya, anak itu tampak tidak bersemangat dan tidak senang.

Sedangkan pengasuhnya, begitu menyimak segala ucapannya. Hana mengerti, mungkin nanti pengasuhnya mengajarkan Arka lagi.

Waktu istirahat

Hana memandang seorang anak yang tampak asik menyendiri di kelas, ia berinisiatif mendekatinya. Arka anak yang sulit untuk di dekat dalam waktu cepat, Hana harus mulai dengan hal-hal kecil yang di sukai oleh anak itu.

Hana menghampirinya, melihat apa yang sedang dilakukannya. Terdiam di belakang anak itu sembari mengamati apa yang sedang anak itu buat, Arka membuat gambar dua orang saling memegang.

"Arka, ini siapa?" tanya Hana sembari menunjuk gambar yang di buat olehnya.

Arka menadahkan wajahnya keatas, menatap dirinya sejenak lalu kembali menunduk.

Arka tidak menjawab pertanyaan yang ia ajukan, dia malah menjauh darinya. Hana menghela napas, butuh waktu untuk bisa membuat Arka mengobrol. Hana mengusap pucuk kepala Arka sebelum kembali duduk di bangkunya.

Setelah duduk, Hana terus memperhatikan gerak-gerik Arka, tidak lagi menggambar. Arka hanya diam memperhatikan anak-anak yang sedang bermain di luar lewat pintu kelas yang terbuka lebar.

Hana mengerti Arka ingin bermain tapi anak itu tidak berani, Hana juga tidak berani mengajak anak itu sekarang. Biarlah anak itu beradaptasi dengan sendirinya, Hana akan membantunya diam-diam.

Hana harus berbincang dengan orang tua Arka, tentang kondisinya saat ini. Hana menoleh, pengasuh Arka muncul dengan membawa makanan. Menguapinya, Arka bukan anak yang pilih-pilih makanan.

Ia akan membuatkan Arka sesuatu, siapa tau anak itu akan berbicara dengannya. Walaupun hanya menyebut namanya sendiri.

Takdir Cinta HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang