Kembali lagi....Itu yang bisa Hana rasakan saat kembali lagi menginjakkan kaki untuk ketiga kalinya ke rumah ini. Bukan sebagai guru Arka kini Hana sudah menjadi istri dari Arga Mahendra Siregar, laki-laki yang sangat ingin Hana jauhkan dari hidupnya malah menjadi suaminya selama satu tahun.
Pintu rumah itu terbuka, Hana mengikuti setiap langkah kaki besar yang ada dihadapannya yaitu Arga. Mereka sudah berada di lantai dua, Hana teringat dengan Arka.
Hana sedikit mencuri pandang kearah belakang, Arga masih sibuk berjalan sembari membawa koper miliknya. Setelah kesempatan untuk berlari, Hana langsung berjalan cepat menuju kamar Arka, meninggalkan Arga yang berada di belakangnya.
Hana membuka pintu kamar dengan perlahan. Mereka berangkat berpisah, Arka dengan Laila sedangkan Hana bersama dengan Arga.
Pintu itu terbuka, Hana langsung tersenyum melihat Arka sedang fokus dengan buku di tangannya. Hana melangkah kaki perlahan, melihat apa yang sedang di baca oleh Arka.
Arka menoleh. "Ibu guru sekarang tinggal di sini, kalau Arka butuh apa-apa kasih tahu ibu."
Arka tidak menjawab, Hana menghela napas panjang.
Hana memungut bekas cemilan yang berserakan di lantai dan memasukkannya ke tempat sampah. Hana menantikan Arka berbicara dengannya. Tapi Hana tidak tahu kapan itu terjadi.
Lagi-lagi helaan napas terdengar, Hana merasa Arka sedikit menjauh darinya daripada dulu. Hana berjalan mendekat, ia terus mengamati buku yang sedang di baca oleh Arka. "Mau ibu guru bantu?"
Hana masih menyebut dirinya ibu guru bukan ibu.
Arka menggelengkan kepalanya tanda tidak.
Hana mengangguk, ia memilih membereskan kamar ini daripada mengganggu Arka. Tangannya tiba-tiba di tarik oleh seseorang hingga keluar, Hana menatap tajam suaminya. "Apa?"
"Jangan bereskan itu."
"Kenapa?"
"Semua itu tugas anak itu."
Hana menghela napas panjang. "Bapak engga kasihan, dia masih kecil."
"Kebersihan kamar itu penting, Pak. Bagaimana bisa Bapak membiarkan Arka tidur di tempat yang tidak pernah di bersihkan."
"Siapa bilang tidak di bersihkan, anak itu selalu membersihkannya."
Hana memijat keningnya yang pening, bicara dengan laki-laki yang sudah menjadi suaminya memang menguras tenaga. Baru saja sehari di sini, Hana sudah cape dengan Arga. "Sudahlah, Bapak engga akan ngerti maksudnya." Hana kembali masuk ke dalam kamar Arka.
Arga mendengus, apa perkataan tidak jelas hingga perempuan itu tidak mengerti. "Arka!"
"Sini ibu guru mau bicara." Arka hanya menoleh tanpa berbicara, Hana menghela napas panjang. Kedua laki-laki ini begitu menguras energi.
"Sini dulu."
"Ibu mau tambahin peraturannya boleh?" Hana menunjuk peraturan yang tertempel di dinding kamar. Mata Arka melihat kearah Hana menunjuk, keningnya mengerut. Bagaimana bisa di ganti atau di tambahkan semuanya tidak bisa di ganggu gugat. "Sini dulu."
Arka bangkit, berjalan kearah Hana dengan ragu. "Peraturannya ketat banget, Arka bosan engga selama ini?" tanya Hana.
Dengan polosnya Arka mengangguk. "Kita ganti oke."
"Ibu guru tambahkan satu saja."
Hana menulis setiap hari Minggu Arka tidak boleh belajar dan tidak boleh ada yang melarangnya. Minggu adalah hari Hana dengan Arka.
Hana menulis dengan tebal di bawah tulisan yang ada lebih dulu, Arka mengerutkan keningnya saat membacanya. Setiap hari Minggu Arka selalu berada di rumah, membaca buku, bermain mobil-mobilan. Ia tidak pernah keluar dalam waktu lama, Arka hanya keluar dengan Siti untuk membeli es krim.
Arka menatap Hana dengan ragu.
Hana menghela napas, ia mengambil kertas yang tadi ia tulis. "Ibu akan bicara sama Ayah kamu, oke." Arka menatap Hana dengan tatapan ragu, peraturan itu tidak mungkin bisa di rubah oleh siapapun termasuk Laila.
"Bu!" Hana menoleh saat seseorang memanggilnya dari belakang. Siti yang melihat kertas berisi peraturan itu hanya meringis pelan, bisa-bisa Hana akan kena semprot oleh Arga. "B-bu, itu?" tanya Siti dengan terbata-bata sembari menunjuk kertas yang sedang di pegang oleh Hana. "Oh, ini saya tadi tambahin sesuatu. Mbak mau lihat?"
Siti menerima kertas yang ada di tangan Hana. "Ibu ini." Siti membacanya dengan rasa tidak percaya.
"Kenapa?"
"Ibu engga takut kena omel sama Bapak? Saya yang sudah bertahun-tahun takut, Bu." Siti menundukkan kepalanya.
"Takut? Arga itu Manusia Mbak bukan setan jadi buat apa takut." Hana menggelengkan kepalanya, lucu sekali.
"Kalau ada saya Mbak sama Arka engga usah takut. Mbak bisa berlindung di punggung saya, insyaallah saya tahan banting." Bisa-bisanya Hana bercanda seperti ini di waktu yang tidak tepat. "Jangan ke ruangan Bapak, saya engga tega kalau nanti Ibu di bentak."
Hana mengerutkan keningnya. "Di bentak?"
Siti mengangguk. "Semua pelayan di sini takut sama Bapak, Bapak engga segan bentak kami kalau soal Den Arka."
Siti menarik Hana untuk bersembunyi saat mendengar suara pintu terbuka dari kamar Arga. "Ibu di sini jangan kemana-mana, saya lihat dulu." Hana makin gila sehari di sini, apa-apaan ini?
"Kita bicara di sini, Bu." Kini mereka berada di taman yang berada di dekat dapur.
"Ibu duduk dulu, siapin napas dulu. Tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan."
"Mbak mau bicara apa?"
"Saya mohon ibu jangan macam-macam sama Bapak, bahaya Bu. Jujur saya engga tega lihatnya apalagi kalau Arka di bentak di tarik tangannya."
"Apalagi yang dia lakukan?"
"Setiap Arka engga mau belajar atau sekolah, Bapak selalu kurung Arka di kamar mandi bahkan mengguyur tubuh Arka sama air, Bu. Saya engga tega tapi saya engga berani. Semua yang ada di sini engga berani, ada Ibu Laila Bapak sedikit engga buat ulah sama Arka tapi Bapak masih susah di bilangin, Bu."
"Kemarin saja tangan Arka memar karena bapak terlalu keras narik tangan Arka."
"Kalian diam saya?" tanya Hana.
"Saya engga berani, Bu."
"Kenapa engga berani, Mbak. Arka anak kecil engga seharusnya dapat perlakuan seperti itu."
"Iya Bu, saya tahu tapi Bapak engga pernah anggap Nak Arka anaknya sendiri setelah Bu Alia pergi dari rumah ini."
"Alia?" Hana mengerutkan keningnya. Ia baru mendengar nama itu masuk ketiganya. "Mantan istri bapak."
"Hana!" Siti mendorong tubuh Hana. "Itu, Ibu di panggil sama Bapak."
"Iya saya tau."
"Kertasnya, Mbak."
Mbak Siti menggelengkan kepalanya, kertas itu kini berada di pelukannya. Hana hanya bisa menghela napas, memutuskan untuk pergi menghampiri Arga tanpa kertas yang tadi ia janjikan pada Arka.
"Bapak tadi panggil nama saya?" tanya Hana.
"Stop panggil saya Bapak, saya bukan bapak kamu."
Hana mendengus. "Mau di panggil apa? Mas?"
"Terserah kamu."
"Yasudah Bapak saja."
"Saya bukan bapak kamu."
"Terus apa?"
"Terserah."
"Lah."
Hana memijit keningnya yang pening.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Hana
SpiritualTakdir mengantarkan Hana menuju sebuah perjodohan. Siapa sangka laki-laki yang di jodohkan adalah orang duda anak satu yang tidak lain adalah Ayah dari anak didiknya. Apa yang akan di lakukan Hana? Menerima atau menolak?