Pertemuan

20 5 2
                                    

Pagi ini aku membersihkan tempat tidur, kebetulan hari libur jadi, setelah membersihkan rumah aku bisa beristirahat di ruang TV sembari memakan camilan.

Saat melipat selimut tiba-tiba ponsel di atas tempat tidur berbunyi dan setelah aku mengambilnya. Di sana ku dapati panggilan dari Devika, segera ku geser gambar telepon berwarna hijau di sana.

"Assalamu'alaikum Dev"

"Wa'alaikumussalam, Rai kamu di mana sekarang ?"

"Di rumah, memang kenapa ?"

"Rai tolong sekarang kamu datang ke rumahku ya"

Kudengar suaranya amat cemas tanpa basa-basi aku segera membereskan tempat tidur dan memakai kerudung seadanya.

Aku dapati kehadiran Mama di ruang tengah yang sedang duduk santai sembari meminum susu panas.

"Rai kamu mau ke mana pagi-pagi uda rapi 'kan sekolah libur ?"

"Aku mau ke rumah Devika Ma, boleh 'kan"

"Iya boleh tapi 'kan kamu belum sarapan"

"Gak apa-apa Ma nanti aja, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam, hati-hati !"

"Iya Ma"

Sesampainya di sana aku benar-benar cemas karena sudah kuucapkan salam berkali-kali pun tidak ada yang menjawab.

Di sekitar rumahnya begitu sepi tidak ada orang yang bisa aku tanya. Memang kami satu kampung tapi, di blok ini jarang ada orang datang.

Kini kekhawatiranku semakin menjadi setelah meneleponnya ke sekian kali tidak terhubung. Sehingga aku dapatkan suara jeritan dari dalam rumahnya.

"Aaahh ! Tolong !"

"De-Devika"

Aku berlari segera membuka pintu tanpa izin siapa pun. Sesampainya di sana tempat itu kosong rumahnya yang luas amat berantakan.

"As-salam-mu-mu-alaikum Devika"

Suasana pagi di luar tidak mengubah rasa takutku di dalam karena untuk pertama kalinya aku masuk ke rumah orang tanpa izin pemiliknya.

Tubuhku gemetar saat tahu di sini tidak ada orang. Lalu siapa tadi yang menjerit bukankah arah suaranya dari sini ?

Dibalik suasana rumah yang sepi dan berantakan tiba-tiba ada tangan yang menyentuh pundakku tangan itu teramat dingin.

"Raihanah"

Seketika itu aku menjerit sejadi-jadinya sembari menutup wajah dengan kedua tangan.

"Rai kamu baik-baik aja 'kan ?"

Saat kubuka mata ternyata itu Devika hampir saja jantungku copot bisa-bisanya ia bertingkah laku menyeramkan seperti itu.

"Ih Dev aku kira kamu hantu lho soalnya tangannya dingin banget terus tadi aku dengar ada yang berteriak minta tolong di sini aku kira kamu tapi, ternyata saat aku masuk di sini tidak ada siapa-siap aku takut."

"Oh tadi ? Tadi tuh aku lagi beresin gudang eh tiba-tiba ada kecoak menyerbu jadi teriak heheh"

"Ish kira in ada apa aku khawatir tahu - oh iya tadi kamu suruh aku ke sini ada apa ?"

"Eh iya ya sampai lupa - emm duduk dulu deh maaf ya berantakan"

Seketika itu aku duduk di atas kursi kayu di ruang depan. Kuamati keadaan sekeliling membuatku menggelengkan kepala karena melihat rumah yang seberantakan ini. Semalas-malasnya aku membereskan rumah bila melihat rumah seperti kapal pecah begini mana mungkin bisa tahan.

"Gimana ? Ada apa hm ? Kenapa kamu panggil aku ke sini ?"

"Gini Rai - ada seorang laki-laki yang pengen ketemu kamu katanya"

"Laki-laki ? Siapa ?"

"Katanya sih sahabat karib kamu waktu SMP dulu"

"SMP ? Masa Ilham sih dia 'kan dulu pernah bilang kalau kita berdua uda enggak satu sekolah lagi berarti persahabatan kita uda cukup sampai di sini dan kita enggak akan pernah bertemu atau saling mengabarkan lagi kecuali kalau aku atau dia yang nikah pasti harus datang ke pernikahannya"

"Mm.. jangan-jangan dia mau melamar kamu lagi"

"Eits - enak aja, enggak, aku enggak mau punya suami kaya dia cuek-cuek juga kalau uda akrab sama perempuan beuh ! Gombalnya enggak ketolongan ingat aja dulu pas dia temenan sama Nadia gombalannya itu ampuh banget sampai Nadia yang menembak Ilham"

"Wis ! Keren, terus-terus kamu gimana, pernah digombali enggak ?"

"Sering sih tapi untungnya aku kuat jadi digombalinya berkali-kali pun enggak mempan"

"Tapi kamu pernah digombali sama Pak Ilyas 'kan sampai kamu BAPER dan akhirnya jatuh sakit"

Seketika itu jantungku berdetak kencang mengingat sakitnya masa-masa bersama Pak Ilyas dulu yang berani-beraninya membuat hatiku yang keras ini luluh akan kata manisnya.

"Ah uda ah Dev jangan bahas itu aku jadi enggak mood aku mau pulang dulu ya"

"Ya uda hati-hati ya - oh iya terus ke temuan itu gimana ?"

"Nanti aja deh agak siang - Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam"

***

Sore ini aku memakai pakaian kesukaanku baju gamis berwarna biru tua beserta kerudung syar'i berwarna putih tidak lupa bros bunga berwarna biru muda yang ku pasang di pundak sebelah kanan.

Aku segera pamit kepada kedua orang tuaku yang sedang bersantai di teras rumah. Aku segera menelusuri jalan yang telah Devika sampaikan lewat pesan di aplikasi hijau.

Kini aku berakhir di sebuah vila yang pemandangannya amat asri nan indah yang dihiasi berbagai macam bunga.

Sekitar setengah jam aku menunggu laki-laki itu namun, tak kunjung datang sampai akhirnya aku mendapati ucapan salam dari seseorang dan aku segera menoleh ke arahnya.

"Wa'alaikumus ..."

Seketika itu ucapanku berhenti setelah mendapati sosok seorang laki-laki yang berusaha aku lupakan.

"Raihanah apa kabar"

Ucapan itu seketika membuyarkan lamunanku tak sangka ia akan hadir lagi dalam kehidupanku yang telah lama berusaha melupakannya.

"Ba-bapak MTK"

"Kamu ini uda keluar SMP juga masih saja sebut Bapak dengan sebutan Bapak MTK enggak ada perubahan"

"O-oh ma-maaf Pak"

"Panggil Bapak ini Pak Nata hm"

"O-oh i-iya Pak Nata"

Apakah ini mimpi ? Sosok laki-laki yang selama ini berusaha aku hindari kini ia hadir dalam hidupku.

Bagaimana tidak aku menghindar darinya sedangkan ia dulu pernah membanting wajah Pak Ilyas demi mendapatkan diriku.

Aku tidak mengerti dengan kedua guru itu bisa-bisanya mereka bersaing demi mendapatkan hati anak didiknya sendiri sedangkan di luar sana banyak wanita yang mengejar cinta keduanya terutama Pak Ilyas.

***

Setelah beberapa saat kami berbincang kini aku pulang sendirian. Aku tidak bisa berlama-lama di sini karena masih banyak hal yang harus aku kerjakan di rumah apalagi besok sekolah jadi, banyak hal yang harus aku persiapkan.

"Kamu mau pulang sekarang ?"

"Iya Pak lagi pula takut kemalaman di sini 'kan enggak baik, apa lagi berduaan bersama laki-laki yang bukan mahram, takut jadi fitnah"

"O-oh iya Rai ... kalau gitu mari Bapak antar"

"Tidak Pak terima kasih"

Seketika itu aku mengucapkan salam dan segera berlari menjauhinya. Untung saja di jalan ada pangkalan ojek jadi aku tidak perlu berjalan menuju rumah seperti tadi apa lagi sampai dibonceng oleh Pak Nata menggunakan sepeda motor.

Bukan Cinta BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang