Kepergianmu

3 3 0
                                    

Pagi ini entah kenapa kepalaku terasa sakit, oleh karena itu aku duduk di atas tempat tidur.

"Ah ! Sakit sekali !"

Ku raih segelas air di atas nakas dan segera meminumnya, tidak lama dari sana aku berusaha berbaring sembari menenangkan pikiranku.

"Hah .. Astagfirullahalazim ... sakit — kenapa tiba-tiba aku melihat diriku memasukkan cincin pada seorang wanita ? Siapa dia ? Apa ..."

Seketika aku mengingat akan perkataan yang pernah terucap oleh Raihanah kemarin.

'Bapak benar tidak ingat dengan tunangan kita ? Bapak jahat !'

Perkataan itu terngiang ditelingaku berulang kali membuat kepala semakin sakit dan penglihatanku semakin gelap.

"Ah ! Sakit ! Raihanah ! Raihanah sakit Rai ! Gelap Rai kamu di mana ?"

"Ilyas ! Ilyas bangun Yas"

"Ma-ma gelap ... di mana Raihanah"

***

Kini ku buka mata namun, tetap tidak mendapati kehadiran Raihanah dan keluarganya, malah aku mendapati kehadiran Cinta yang tampilannya kini lebih sopan.

"Ma-ma di mana Raihanah ? Ilyas mau minta maaf padanya ?"

"Dia tidak bisa hadir ke sini Nak termasuk keluarganya"

"Yas kau tidak perlu khawatir aku ada di sini untuk menemanimu — lagian perempuan itu cuma murid kamu 'kan"

"Ya sudah kalian mengobrol saja ya Mama mau ke dapur ya Sayang"

"Tapi Ma —"

"Sudah Yas 'kan aku ada di sini"

Selepas kepergian Mama, Cinta duduk di sebelahku membuatku merasa risi. Setelah beberapa saat aku tidak merasa pusing lagi.

"Yas mau ke mana ?"

"Aku mau duduk"

"O-oh biar aku bantu"

"Tidak terima kasih"

"Oh iya Yas aku bawa buah-buahan untuk kamu" ia memberikan sebuah jinjingan berwarna merah "Ini ambil" aku menerimanya dengan senang hati.

"Terima kasih"

"Sudahlah yang penting kamu lekas sembuh" ia mulai menyentuh pundak dengan halus membuat mataku sedikit membulat dan hal itu menyadarkannya "O-o-oh ma-maaf"

***

Setelah lumayan lama akhirnya Cinta pergi, hal itu membuatku merasa jauh lebih baik.

"Ilyas" aku mendapati Mama memasuki kamar

"Iya"

"Apa kau sudah mengingat semuanya ?"

"Raihanah ?"

"Dia sudah tidak ada — dia pergi ke pesantren untuk mengejar mimpinya, karena ia sakit hati melihat kedekatanmu dengan Cinta dan perlakuanmu pada Raihanah selama ini ..."

"Ma ! Aku sekarang harus ke rumahnya"

"Tapi kamu belum sehat total — lagi pula motor milikmu sudah tidak ada" Mama tertunduk cemas, setelah itu ia menatapku kembali " Apa kau mengingat semua ? Apa kau ingat jalan menuju rumahnya ?"

"Iya Ma, aku mengingatnya —Assalamu'alaikum"

"Wa’alaikumussalam"

Aku beranjak dari tempat tidur segera mendatangi rumah Pak Galih untuk meminjam motor miliknya.

"Pak Galih — apa saya boleh meminjamnya ?"

"Tentu saja Pak Yas — apa sih yang enggak buat Bapak haha — kecuali istri saya " ia menepuk pundakku "Hati-hati dan semoga berhasil hm.. syukurlah kalo Bapak sudah mengingat semuanya — perjuangkan dia oke — semangat !"

"Iya Pak terima kasih — Assalamu'alaikum"

***

Sesampainya di rumah Raihanah aku tidak mendapati kehadiran siapa pun. ku coba melangkah menghampiri dan mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum"

Tidak ada jawaban sedikit pun dari dalam, hal itu membuat aku semakin khawatir. Aku berjalan mondar-mandir karena tidak ada orang yang bisa aku tanya saat ini.

Waktu berlalu begitu cepat, setelah aku mengecek jam tangan ternyata jam menujukan pukul setengah sebelas.

"Ke mana mereka ? Apa benar Raihanah memutuskan untuk mondok ?"

"Assalamu'alaikum !"

Aku menoleh ke arah suara itu dan mendapati sosok sepasang suami istri yang membuatku tersenyum merekah.

"Bu, Pak" aku menyalami keduanya.

"Nak Ilyas ada di sini ?" Sahut Ibu Santi

"Iya Bu, Raihanah mana ?"

Mereka berdua bukannya menjawab malah saling menatap dan terlihat sedih.

"Mana ?"

"Ra-Rai-Rai-Raihanah — " tatapan Bu Santi tidak tentu arah membuatnya tidak bisa berbicara jelas.

"Dia sudah memasuki lingkungan pesantren Nak Ilyas"

Mendengar pernyataan Pak Rehan membuatku seperti tersambar petir amat terkejut dan membuat hati ini terpukul amat pedih.

"Ta-ta-tapi, kenapa ia pergi meninggalkanku"

"Ini — ada surat untukmu" ku dapati amplop yang amat tebal ditangan Ibu Santi

"Terima kasih Bu — aku pamit"

***

Sore ini aku tidak pulang, hanya pergi ke vila sendiri tanpa sepengetahuan siapa pun. Ku duduk di perumahan kayu dan membuka pesannya satu-persatu.

Surat itu amat banyak karena setelah ku hitung sebelumnya ternyata jumlahnya ada lima belas.

'Bapak ! Semoga lekas sembuh ya :) Rai menyayangi Bapak lebih banyak dari surat yang Rai kasih ini, entah itu dari jumlah suratnya atau jumlah kata, huruf, dan tanda bacanya.

Rai yakin, Bapak kuat dan pasti bisa melawan penyakit sampai Bapak ingat semuanya. Kalo Bapak uda ingat dan ternyata Rai uda enggak ada di depan mata kejar ! Jangan menyerah ya. Kalo nyerah siap-siap Rai jadi milik pria lain — apa Bapak mau Rai dimiliki Satya atau Pak Nata ? Soalnya mereka berdua pernah mencintai Rai. Akan tetapi, Rai enggak bisa mencintai pria mana pun selain Bapak. Lekas sembuh ya :) RAIYAS tidak boleh terpisahkan'

Setelah membaca surat itu pikiranku kacau, bisa-bisanya aku melupakan cintaku sendiri dengan mudahnya.

“Ah ! Kenapa aku harus kehilangan ingatanku dan melupakan semua tentangnya ?! Kenapa semua ini terjadi padaku ?! Ya Allah, kenapa ?"

Aku merasa tidak berdaya setelah kepergiannya yang meninggalkan setumpukan surat untukku.

"Lihat saja Rai, Bapak akan mendapatkan dirimu lagi — hari ini dan selamanya, kamu hanya milik Bapak, hanya kamu — RAIYAS Raihanah Ilyas, itu kan maksud dari tulisanmu Rai ?"

Ku peluk erat semua surat yang telah berantakan itu 'tak sadar air mata mengalir begitu saja mengingatkanku akan perkataan Raihanah sewaktu SMP.

'Aah ! Bapak enggak seru, enggak nangis, kesel deh'

'Memang enggak usah nangis 'kan'

'Ish 'kan kisah cintanya seperti ini — kasihan sekali Derana pergi dari kehidupan Tias'

'Ya itu salah Tias kenapa melupakan Derana begitu aja, jadi kena batunya 'kan'. Dan kisah itu kini menjadi kisahku denganmu Raihanah, yang berakhir penyesalan.

Bukan Cinta BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang