Teringat Senyuman Manismu

5 5 2
                                    

Malam ini ku ratapi nabastala yang amat hitam kelam berhiaskan bintang. Saat ini aku tidak sendiri karena ditemani oleh Pak Galih beserta putri kecilnya yang baru berusia empat tahun.

Karena aku merasa jenuh berada di rumah jadi, aku main di teras Pak Galih. Kami duduk di atas tikar yang tipis, sederhana, nyaman untuk keadaan pikiranku saat ini.

"Oh iya Pak Yas mau minum apa, teh atau kopi ?"

"Enggak usah Pak  terima kasih"

"Eh Pak Yas ini ya kayak ke siapa aja 'kan kita uda tetanggaan lama masih aja malu-malu. Ya uda kalau saya buatkan kopi susu bagai mana ?"

"Terserah Bapak saja"

"Ya sudah tunggu sebentar ya saya buatkan"

Seketika itu ia pergi ke dalam rumah untuk membuatkannya . Aku sangat salut dengan Pak Galih walau sudah menikah memiliki istri dan anak ia tetap mandiri untuk melakukan sesuatu hal sendiri yang baginya masih bisa ia kerjakan tanpa menyuruh istrinya.

Ia sosok seorang pria yang paham dalam ilmu agama berumah tangga oleh karena itu ia tidak pernah merepotkan istrinya.

"Eh ada Mas Ilyas, kenapa ada di sini ? Mari masuk Mas " sahut Ibu Marwah istri Pak Galih yang saat ini tengah memangku anaknya.

"Tidak usah Bu makasih, lagian saya jenuh berada di rumah oleh karena itu lebih baik saya duduk di sini bersama Pak Galih"

"Oh ... tapi , Mas Galih nawarin Mas Ilyas untuk ke dalam enggak sebelumnya ?"

"Ditawari kok cuma ... saya tolak"

"Hm.. kalau gitu saya mau masuk dulu ya ... mari Mas"

"Mari Bu"

Selang beberapa lama akhirnya Pak Galih datang dengan dua gelas kopi susu di atas baki hitam lalu ia duduk sembari menyodorkan salah satunya.

"Monggo Pak Yas"

"Ah Bapak ini, saya jadi merepotkan Bapak"

"Enggak lah Pak Yas — monggo di minum"

"Iya Pak"

"""

Pagi ini aku segera berangkat ke sekolah dan berharap ini bukan mimpi. Sesampainya di sana seperti biasa di kantor hanya sendirian.

Untunglah tadi malam aku tidak begadang setelah meminum kopi, bila tidak bisa-bisa terjaga lagi malam tadi.

Karena aku khawatir bahwa saat ini aku sedang bermimpi oleh karena itu aku mencubit telapak tangan sebelah kiri dengan kencang.

"Aw ! Ternyata ini bukan mimpi aku benar-benar ada di sekolah"

"Pak Iyas kenapa ?!"

Sontak aku terkejut setelah  mendapati seorang siswi yang berada di ambang pintu dan kini ia berlari menghampiriku.

"O-oh enggak ... enggak apa-apa kok"

"Jangan bohong" ia bersikap amat manja aku tidak menyukainya

"Enggak Sar .. Bapak enggak apa-apa"

Seketika itu segera aku mengeluarkan laptop dari tas dan membukanya karena hal itulah caraku menghindar dari godaan para siswi di sini.

***

Saat ini aku tidak mengajar di kelas mana pun karena akan ada rapat penting. Rapat berlangsung sekitar satu setengah jam membuat kepala terasa berat sehingga aku malas untuk keluar ruangan dan berhadapan para siswi.

Perut kini mulai terasa perih ternyata memakan roti saja itu tidak cukup untuk mengganjal sampai pukul dua belas nanti.

Tanpa berpikir panjang segera aku berdiri dan berjalan menuju ambang pintu. Rasanya amat ragu untuk melangkah lebih jauh dari ini tapi, mau gimana lagi.

Seketika itu aku mendapati Rafi dan Dika yang baru saja keluar dari perpustakaan. Tanpa basa-basi lagi aku memerintahkan mereka untuk menghampiriku saat ini juga membuat mereka sedikit berlari untuk menuju ke arahku.

"Iya Pak ada apa memanggil kami ke sini ?" Sahut Rafi

"Enggak Fi cuma mau menyuruh beli in makanan ya ke kantin enggak apa-apa 'kan"

"Oh siap Pak ! Mau tolong beli in apa ?" Timbal Dika

"Mm.. bakso aja deh — oh iya jangan pake mie oranye itu ya"

"Oke siap Pak !"

***

Akhirnya bakso itu sudah ada di depan mata saatnya aku memasukkannya ke dalam mulut yang sedari tadi menunggunya.

"Oh iya anak-anak makasih ya"

"Iya Pak"

"Oh iya Dik tadi kalian uda apa aja di perpustakaan"

"Baca buku lah Pak masa ngegames"

"Wis ! Sejak kapan kalian suka baca buku ? Biasanya juga bikin onar dan bikin Pak Harun emosi"

"Ish Bapak ini kita 'kan uda tobat jangan bikin kita gitu lagi besok"

"Oh iya Pak — kita uda satu minggu ini mengunjungi perpustakaan lho Pak — iya gak Dik"

"Hmm"

"Bagus tuh tingkatkan lagi ya anak-anaknya Bapak" seketika itu aku mengacak-acak rambut keduanya secara bergantian.

"Uh Bapak main acak-acak aja ah untung Rafi ganteng kalo enggak ... "

"Iya-iya .. maaf — uda, sekarang kalian masuk kelas"

Setelah kepergian mereka aku segera meminum air yang sedari tadi ada di hadapan dan segera membaca doa.

Entah kenapa saat aku mendengar tentang perpustakaan membuatku teringat akan masa lalu bersama Raihanah di mana tempat itu adalah awal pertemuan kami.

Kala itu aku berada di sana hanya untuk berbincang-bincang dengan Ibu Hana si penjaga perpustakaan.

"Ibu — Rai mau pinjam buku ini saja"

"Cuma satu ?"

"Iya Bu ah untuk saat ini Rai lagi banyak tugas jadi cuma baca satu Novel aja"

"Memangnya kenapa kalau banyak tugas ?" Seketika itu aku memberanikan diri untuk bicara sembari melihat ke arahnya.

"O-oh eng-enggak kok Pak cuma takut enggak ke baca aja" ia menundukkan kepala seperti canggung

"Oh iya nama kamu siapa ? Memang Bapak sering dengar tentang kamu Rai tapi, enggak tahu kepanjangan dari Rai itu apa ?"

"Mm.. Raihanah Pak"

"Hm .. unik sekali ya lain dari yang lain"

"Oh iya Ibu Hana Rai mau ke kelas dulu ya Assalamu'alaikum" seketika itu ia melihat ke arahku "Mari Pak"

Sejak itu kami mulai dekat sampai tidak tahu pasti kapan kami sering berbagi cerita padahal selama ini aku selalu tidak suka bila berhadapan dengan murid perempuan tapi, aku yakin saat itu bahwa ia berbeda.

***

Bukan Cinta BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang