Siang ini aku tengah menonton kartun bersama putri semata wayangku sembari memakan potongan buah melon dan semangka yang beberapa hari lalu Mas Ilyas beli.
“Ummah lihat, robot kucing itu bisa terbang dengan kincir dikepalanya, Maa Syaa Allah ! Hebat sekali ya ciptaan Allah” sahur Atifah yang tengah meletakan kepalanya di pangkuanku beberapa saat lalu.
“Eh, jangan makan sambil tiduran”
“Enggak kok Ummah, uda habis makanannya, uda pindah ke perut” sembari mengelus perutnya
“Hm.. kira in, eh iya, sebenarnya robot itu ciptaan manusia bukan Allah”
“Ooo, gitu ya Ummah, Ummah bisa buat gak ?”
“Enggak”
“Kenapa ?”
“Gak semua orang bisa sayang, itu cuma orang-orang tertentu, dan hal seperti itu tidak wajib dipelajari, yang wajib itu, kita belajar Al Quran dan Hadist, tidak lupa menjaga shalat lima waktu”
“Lagi bahas apa sih Atifah sama Ummah ? Sampai salam Abah dari tadi gak dijawab, suara motor aja gak kedengaran kayaknya” tiba-tiba ku dapati Mas Ilyas yang ikut duduk bersama, segera ku raih tangannya yang diikuti Atifah”
“Eh Mas Ilyas” aku tersenyum kikuk, “Wa’alaikumussalam”
“Lagi bahas apa sih serius banget ?” tanyanya lagi yang membuatku menjelaskannya secara detail, “ Oh”
“Idih, uda dijelas in panjang lebar ujungnya oh doang” seketika Atifah tertawa, “Kenapa ?” kini aku fokus pada Atifah yang mulai bangkit dari tidurnya.
“Pipi Ummah lucu” ia mengelus pipi yang sepertinya tambah tembam, tanpa aba-aba ia menciumku bersama Mas Ilyas, membuat kami saling berpelukan.
“Sekarang mulai tembam, pasti gak cantik lagi kan ?” keluhku yang tengah menenggelamkan kepala pada dada Mas Ilyas
“Enggak kok, tambah cantik malah” bisiknya
“Bohong” balasku tak kalah berbisik sembari memukul dadanya secara perlahan
“Beneran, eh, bidadari surga aja kalah cantik sama kamu” gombalannya kali ini lolos membuat pipiku merah padam, seketika mataku membulat sempurna mengingat bahwa di sampingku ada Atifah.
Namun, untungnya ketika aku menoleh pada Atifah, ia tengah tertidur pulas yang artinya ia tidak mendengar gombalan Abah yang membuat pipi Ummahnya memerah.
***
Hari mulai gelap, selepas shalat Isa aku langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur, karena seharian ini entah kenapa tubuh terasa lelah.
Segera ku bangkit sesaat untuk matikan lampu kamar dan menjatuhkan diri lagi, tidak lupa membaca ayat kursi dan doa sebelum tidur, saat mata akan mulai ku tutup tiba-tiba terdengar seseorang menyalakan lampu kamar yang membuat mataku tertuju pada ambang pintu.
Di sana kudapati Mas Ilyas yang tengah memangku tangan yang diikuti gayanya oleh Atifah.
“Ish .. ish .. ish” sahur mereka sebari gelengkan kepala yang membuatku heran
“Kenapa ?” kini mereka saling bertatapan
“Kasih tahu tuh Ummah, sayang” sahut Mas Ilyas
“Siap Abah” balas Atifah sembari memberi hormat, seketika ia menghampiriku “Ummah sayang, uda baca surah Al Mulk belum ?” sembari tersenyum dan menaik-turunkan kedua alisnya
“Astagfirullah Al Azim ! Lupa sayang” seketika aku bangkit dan duduk, tidak lama Mas Ilyas juga ikut duduk bersamaku dan Atifah.
“Kita baca tiga ayat pertama aja ya, setelah itu baru bisa bobok, Bismillahirrahmanirrahim, hafalkan, Ummah sama Atifah ? ”
“In Syaa Allah hafal Abah” sahut kami berdua hampir bersamaan
“Alhamdulillah kalo pada hafal, kita mulai ya bareng-bareng, Bismillahirrahmanirrahim, tabarrakallazi biyadihil-mulku wa huwa ala kulli syai’ing qadir .. allazi khalaqal-mauta wal-hayata liyabluwakum ayyukum ahnanu’ amala, wa huwal-azizul-gafur .. allazi khalaqa sab’a samawatin tibaqa, ma tara fi khalqir-rahmani min tafawut farji’il-basara hal tara min futur” setelah selesai, kita mengucapkan Hamdallah “Nah, kalo sekarang baru bisa tidur” sambungnya sembari memegangi kepalaku dan Atifah secara bersamaan dan mengecup kening satu per satu sembari membaca doa khusus.
***
Pagi ini seperti biasa, ya itu menyiapkan perbekalan untuk Mas Ilyas, bedanya hari ini selain menyiapkan perbekalan untuknya, aku juga menyiapkan segala keperluan Atifah karena mulai hari ini ia akan masuk PAUD.
Setelah menyelesaikan semuanya kamu bertiga naik motor karena kebetulan tempat Atifah sekolah tidak jauh dari tempat Mas Ilyas mengajar.
Sesampainya di sana aku dan Atifah menyalami tangan Mas Ilyas secara bergantian.
“Belajar yang rajin ya anak Abah dan jangan bikin repot Ummah oke”
“Siap Abah”
Aku hanya tersenyum menyaksikan semua itu sampai akhirnya Mas Ilyas pamit untuk pergi dan secara perlahan punggungnya menghilang dari pandangan.
“Kita masuk yuk sayang”
“Ayo Ummah”
***
Jam menunjukkan pukul sembilan, saatnya aku dan Atifah pulang, saat akan menelepon, tiba-tiba suara yang kunantikan tengah datang, suara apa lagi bila bukan suara motor Mas Ilyas.
“Hey, sudah ke sini aja, baru juga mau ditelepon suruh jemput” sahutku sembari meraih helm yang Mas Ilyas berikan tidak lupa mencium tangannya
“Biasalah firasat seorang ayah dan suami itu gak pernah salah apa lagi yang sering antar jemput” sahutnya yang diiringi senyuman bangga
“Hm ... Ayo Atifah kita naik”
***
Malam ini kami tengah berkumpul sembari hafalan yang ditemani camilan, selesai hafalan aku meneguk segelas air putih karena tenggorokan terasa kering. Setelah beberapa saat hafalan itu selesai dan akhirnya kamu bersantai.
“Ummah” panggilan itu membuyarkan lamunanku
“Iya sayang” sembari menoleh ke arahnya
“Pengen punya adik” perkataan itu lolos membuatku melotot sembari membuka mulut “Kok Ummah gitu reaksinya” ia terlihat kecewa
“Memangnya kenapa toba-tiba Atifah ingin adik ?” timbal Mas Ilyas
“Ya karena Atifa suka emes pas liat orang tuannya teman Arifah bawa dede bayi suka pengen bawa pulang, tapi orang tuanya suka bilang, kenapa Atifah gak minta aja sama Ummah sama Abah, supaya Atifah punya sendiri”
Mendengar hal itu aku hanya bisa mengelus pipinya dan menyuruhnya segera tidur karena memang sudah larut malam.
Tidak lama ia tidur di pangkuanku dan Mas Ilyas dengan sigap membawanya menuju kamar yang satu lagi membuatku merasa heran.
Setelah ke luar dari kamar aku tanyakan kenapa ia meletakan Atifah di kamar sebelah. Tanpa menjawab kali ini ia malah membopongku ke dalam kamar, sesampainya di kamar ia menurunkan ku membiarkannya berdiri di hadapan cermin dan ia memelukku dari belakang sembari berbisik.
“Bukannya tadi Atifah menginginkan dede bayi ? Kenapa kita harus menunda lama bila bisa malam ini “
Seketika tubuhku di putar menghadap padanya dan perlahan ia menyembunyikan wajahnya di antara leher dan dadaku.
“Aku rindu bermanja seperti ini bersamamu”
Aku tidak tahu harus berkata apa rasanya pikiranku setengah menghilang karena nyatanya hal itu pun aku rasakan. Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu Mas, selama berumah tangga bersamamu aku tidak pernah mendengar suara nada tinggi darimu.
Tidak lama lampu ia padamkan dan tangannya menarik tubuhku kembali pada pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Biasa
Fanfiction🍉Selamat Membaca🍉 Cinta segitiga antara dua guru pria dan seorang siswi SMK sedangkan kedua guru tersebut tidak lain adalah guru SMP-nya dulu. Sebut saja Raihanah, ia adalah seorang siswi yang lugu dan pendiam, sangat anti dengan keramaian. Sedang...