Kebencian

5 3 0
                                    

"Hari ini juga gue akan mencelakai Ilyas — ahahah siap-siap untuk mati Ilyas !"

Di rumah sakit amat sepi, oleh karena itu saat ini adalah waktu yang tepat untukku mencelakai Ilyas.

Aku berusaha menyelundup ke ruang ganti perawat supaya memudahkanku untuk mencelakainya tanpa ada yang mencurigai.

Setelah selesai saatnya aku melangkah menuju kamar nomor sebelas tempat Ilyas dirawat.

Saat aku akan membuka pintu tiba-tiba ku dengar suara langkah kaki yang semakin dekat.

"Pak kenapa Bapak masuk ruangan itu ?" Aku menoleh pada suara itu dan aku mendapati kehadiran seorang suster.

"O-oh saya ditugaskan untuk menjaga pasien"

"Akan tetapi Pak kamar ini bagian saya"

"Tidak tahu tapi, kata dokter saya disuruh di ruangan ini"

"Oh ... ya sudah mari kita masuk"

"I-iya"

“Sialan, kenapa suster ini menghalangi rencanaku seharusnya saat ini juga Ilyas sudah aku bungkam” bisikku

“Apa Anda mengatakan sesuatu”

“Ti-tidak”

Karena kesal akhirnya aku mendapati ide untuk membungkam mulut suster itu menggunakan kain yang akan aku gunakan kepada Ilyas.

Oleh karena itu saat ia lengah akhirnya aku membungkamnya dari belakang dan segera membawanya ke sebuah tempat yang menyeramkan yaitu, kamar mayat yang gelap.

"Ahahah akhirnya enggak ada yang bisa halangi rencanaku untuk membunuh Ilyas .. ututu .. wanita cantik selamat beristirahat dan semoga mimpi indah. Tatah --- eh tunggu-tunggu maksudku selamat mimpi indah dan saat kau membuka mata siap-siap kau mendapati ruangan yang gelap dan saat kau meminta tolong sembari meraba semua tempat kau akan berjumpa dengan wanita cantik dan pria tampan pujaanmu. Mana mungkin mereka tidak cantik dan ganteng sedangkan kulit mereka semua sangat putih bersih ahahah !"

Segera aku berlari menuju ruangan Ilyas dan segera masuk ke dalamnya. Saat aku akan membungkam Ilyas aku baru ingat bahwa kain itu aku bungkamkan pada si perawat menyebalkan itu.

Namun, aku punya ide kenapa tidak aku lepaskan oksigen yang Ilyas pakai saat ini mungkin dia akan cepat mati.

"Ahahah Ilyas .. Ilyas .. selamat jalan"

Mulai aku lepaskan oksigen dari mulut dan hidungnya membuat napasnya tersengal benar-benar seperti orang yang akan mati dalam hitungan detik.

Pada saat di titik terakhir aku mendapati pintu yang akan terbuka membuat aku mengakhiri reaksiku sekarang dan segera bersembunyi di balik pintu yang terbuka itu.

"Hah ! Pak Ilyas !"

Aku mendapati Raihanah yang berlari dari luar segera memasangkan oksigen itu pada Ilyas dan berteriak memanggil dokter.

Sebelum dokter dan keluarganya datang segera aku berlari keluar. Namun, sangat disayangkan ternyata Raihanah menoleh ke arahku membuat aku segera berlari sekuat mungkin.

"Eh ! Siapa itu ?! Berhenti !"

***

Sore ini aku datang ke vila karena aku mendapati kabar bahwa Raihanah beserta kedua temannya berada di sana.

Sesampainya di vila ternya benar bahwa mereka ada di sini entah sedang menulis apa padahal mereka bertiga sudah lulus.

Aku pasang wajah ceria dan menghampiri mereka di sebuah rumah kayu.

"Eh anak-anak kalian ada di sini ?" tanyaku sembari memasang wajah seperti anak kecil yang baru saja diberi permen, tersenyum tipis.

"Eh Bapak tidak Pak cuma kami sedang menggambar saja untuk mengisi waktu kebersamaan" sahut Devika.

"Oh gitu ya"

Berbeda dengan Devika, Satya dan Raihanah justru acuh tak acuh padaku membuat hati ini terasa kesal.

"Boleh Bapak ikut duduk di sebelahmu Rai karena di sebelah kamu kosong sedang di sebelah Devika ada Satya"

"Hm"

"Kamu sedang gambar apa ?" Ia tidak menjawab dan berpaling ke arahku sekali pun "Ayolah tunjukan apa yang sedang kau lakukan" kini aku rebut buku hariannya  ‘Tetap semangat Pak Yas aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu salam sayang dari sahabat terbaikmu Raihanah Imut, imutnya Pak Ilyas RAIYAS selamanya’

Hati ini teramat sakit ingin rasanya aku mencengkeram pundak Raihanah dan mengatakan padanya bahwa tidak ada laki-laki yang pantas ia sayangi selain diriku.

"Ini untuk Ilyas ? Eh maksud Bapak untuk Pak Ilyas ? Memang kenapa dia ?"

Ia merebut buku hariannya dan menghadap padaku dengan wajah kesal dan sedih.

"Dia kecelakaan dan saat ini ia sedang dirawat di rumah sakit" ia mulai berpaling dan fokus ke depan.

"Ya ampun ! Pak Ilyas dirawat ? Sejak kapan dan dia kecelakaan kenapa ?"

"Sudah selama beberapa minggu ia dirawat dan ia kecelakaan karena ada yang membuat rem motornya tidak berfungsi"

"Ya ampun kasihan sekali, semoga ia lekas sembuh ya"

"Aamiin  ... dan semoga secepat mungkin aku akan menemukan siapa pelaku perusak remnya dan orang yang berusaha mencelakainya kemarin pagi"

"Oh iya Rai Bapak ingin berbicara dengan kamu tapi, cuma berdua" kali ini aku mengarah ke pada Devika dan Satya "Ya anak-anak izinkan Bapak berbicara dengan Raihanah sebentar bisa kalian berdua meninggalkan kami"

"Oh iya Pak lagi pula sekarang kami akan pulang Assalamualaikum" sahut Satya

"Oh Wa'alaikumussalam berarti nanti Rai Bapak yang antar ya ke rumah" ia tidak menjawabnya sekali pun.

Setelah beberapa saat kini kehadiran mereka berdua sudah tidak terjangkau lagi oleh Indera penglihatanku oleh karena itu sekarang waktunya aku melakukannya.

"Rai"  aku mulai mendekatinya sangat dekat.

"A-apa sih" ia menoleh ke arahku sehingga jarak wajah kami tinggal beberapa senti.

"Aku mencintaimu" bisikku membuat dadanya naik turun sehingga napasnya tidak menentu amat tegang.

Saat aku akan telusuri seluruh wajahnya ia menghindar dan terjatuh. Pada akhirnya ini adalah peluang besar untukku memiliki Raihanah seutuhnya.

"To-to-tolong ! Satya ! Devika !"

"Suuttt .. sekeras apa pun kau berteriak mereka tidak akan mendengarkanmu cantik"

"Lepaskan ! Euh .. tolong !"

Kini suasana di vila semakin gelap langit yang tadinya berwarna jingga kini berubah menjadi abu, sepertinya akan turun hujan.

"Diam lah lagi pula suasana seperti ini tidak akan ada orang yang mendengarkan — Aaahh .."seperti ada yang mengenai kepalaku dan aku mendapati suara seseorang samar.

"Ayo Rai ..."

"Eh tunggu ! Awas kalian ! Aw"

Kepala bagian belakang terasa sakit, membuat penglihatanku berkunang-kunang. Namun, aku tidak menyerah berusaha untuk mengejar mereka.

Amat disayangkan, kini tubuhku terasa lemas ingin rasanya menjatuhkan diri ke tanah karena merasa sudah tidak tahan lagi.

Bukan Cinta BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang