30 Juni, Minggu: ...Menuju Akhir yang Pahit

1.6K 100 20
                                    


Perjalanan pulang dengan Kereta Hogwarts ke London benar-benar terasa berbeda dengan awal tahun pelajaran. Gerbong tempat Harry duduk kini jauh lebih sepi dari sebelumnya, Luna mengikuti Parkinson entah duduk di mana karena Parkinson masih marah dengan Harry, segala bentuk simpati yang terbangun sepanjang tahun kini hilang tak berbekas. Neville dan Ginny juga tidak ada di sana, Blaise pun juga.

Hanya ada Harry, Ron, Hermione dan Draco yang begitu diam. Meja di depan mereka tidak lagi ramai oleh permainan catur. Para Gryffindor saling bertukar pandangan khawatir, namun tetap tidak tahu harus berkata apa. Berita soal jadwal persidangan Lucius Malfoy baru saja keluar tadi pagi dan Draco langsung tenggelam dalam diam yang tegang hingga siapapun tidak berani mengganggunya,

Sampai Harry tidak tahan lagi karena pacarnya itu daritadi membawa koran di tangannya dan membaca artikel yang sama berulang kali, padahal Draco selalu gemetar setiap melihat foto Ayahnya. Jadilah Harry merampasnya dan membakarnya dengan mantra Incendio.

Selama beberapa detik hanya ada keheningan ketika percikan apinya melalap habis koran tersebut. Harry memandang Draco, menunggu reaksinya.

Tidak butuh waktu lama sampai tatapan marah Draco terarah sempurna pada Harry. "Apa kamu mau membakar seluruh gerbong, Potter?"

"Apapun supaya kamu berhenti."

Draco mengeraskan rahangnya. "Berhenti melihat beritanya tidak akan membuat faktanya hilang." ujarnya menatap sisa abu sekilas, lalu menyilangkan lengan dan membuang muka ke luar jendela. Harry mengira Draco akan tetap diam sepanjang sisa perjalanan, namun kemudian Draco menghela napas dan bergumam. "Pengadilannya tiga hari lagi."

"Kok—"

"Terlalu cepat? Tidak juga." Pacarnya itu tersenyum masam tanpa memandang Harry. "Tidak banyak yang harus diurus. Ini sih, cuma formalitas saja."

"Setiap tersangka tetap berhak atas pengadilan," ujar Hermione serius. Mendengarnya, Draco menatap Hermione, tatapan garangnya sedikit melembut. Harry tidak tahu apa yang mereka bicarakan beberapa hari lalu di perpustakaan, namun apapun itu, mereka tampaknya jauh lebih lega pada satu sama lain.

Draco tersenyum simpul. "Terima kasih, aku sebenarnya sudah tahu akan seperti apa tuntutannya. Aku cuma berharap bisa bertemu dengannya sebelum—" nadanya bergetar, lalu Draco berdehem. "Sebelum dia dijebloskan ke—maaf, aku harus pergi," ujarnya lalu bangkit dan keluar dari gerbong.

Segera setelah pintunya tertutup, Ron langsung menghela napas. "Gimana ya, Ayahnya kan memang pantas—"

"Ron!"

"Memang iya, Hermione," Ron mengedik. "Tapi memang susah, karena bagaimanapun dia itu Ayahnya. Dan Draco—tidak seharusnya dia mengalami semua ini."

Harry menunggu sebentar sebelum akhirnya bangkit juga. "Aku mau susul dia," ujarnya, sengaja untuk tidak menatap mata Hermione karena Harry yakin dia pasti akan menyuruhnya untuk menghormati privasi Draco. Persetan dengan semua itu, pikir Harry. Karena sekarang, dia butuh berada di samping Draco untuk menenangkannya.

Sayang sekali Peta Perompak tidak berfungsi di kereta. Hanya ada satu lorong di dalam kereta. Lorong sebelah kiri dihambat oleh troli jajanan, jadilah hanya tersisa lorong di sebelah kanan. Harry berjalan menyusurinya, mengabaikan orang-orang yang menatapnya dari dalam gerbong kompartemen.

Ramainya tatapan mereka sama seperti awal tahun pelajaran, tapi alih-alih tatapan rasa takut dan malas, kini tatapannya penuh kekaguman dan rasa hormat. Harry lebih membencinya karena orang yang menatapnya seperti itu jugalah yang menatap Draco penuh curiga.

Rumor benar-benar langsung menyebar, sesuai perkataan Draco. Karena kini, setelah Umbridge lengser, Blaise langsung menjelaskan soal apa yang sebenarnya terjadi di balik Squad. Saat anggota Laskar yang lain bertanya pada Harry soal kebenarannya, jawabannya langsung menyebar ke seluruh penjuru sekolah.

✓ The Owlery #2 (INA Trans)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang