17 Februari, Sabtu: Kencan yang Begitu Penting (Part 2)

1.1K 173 21
                                    

Hujan kini benar-benar turun dengan sangat lebat. Tidak ada orang lagi yang keluar dari toko untuk menuju ke toko lain untuk ganti tempat berteduh. Awannya benar-benar kelabu di atas langit, dan curah hujannya menghantam kacamata Harry dan membuat penglihatannya kabur saat dia mengejar pacarnya sambil berusaha untuk tidak semakin basah kuyup.

“Draco!” panggil Harry, menyusulnya yang kini sudah berada di toko terakhir di ujung desa. Jelas bahwa dia tampak buru-buru, dan sama sekali tidak berhenti sampai Harry menggenggam tangannya. Baru ketika itulah dia berhenti, dan Harry melihat pundaknya naik turun, seperti menyiapkan sesuatu sebelum berbalik untuk menghadapnya.

Raut wajahnya membuat Harry terdiam lagi, karena kini kecamuk itu terlihat jelas alih-alih raut wajah yang datar. Ada kilat memohon di matanya, dibingkai oleh beberapa helai rambut yang sempat menutupi mata.

“Lepaskan aku, Harry,” ujarnya, nadanya sudah tidak datar lagi seperti sebelum dia meninggalkan Three Broomstick. “Lepaskan aku,” ulangnya lagi, namun sama sekali tidak berusaha melepaskan diri, melainkan hanya memandang Harry memohon sambil melangkah mendekat.

“Tidak mau,” jawab Harry, berpikir bagaimana caranya ia mengatakan apa yang ia inginkan. Dia tidak tahu harus apa, dia tidak yakin atas apa yang dia inginkan, dia cuma tahu bahwa dia tidak mau Draco pergi, tidak saat Draco terlihat sekacau sekarang.

Draco menatapnya tidak percaya. “Aku tidak mau duduk di sana, melihatmu mengatakan pada wanita itu soal apa fakta yang kamu miliki untuk menghancurkan nama Ayahku,” nadanya tampak semakin marah. “Kamu tidak bisa menyuruhku menyaksikan—”

“Tapi dia memang di sana, Draco,” balas Harry, merasakan dirinya tiba-tiba menjadi marah. Kemarahan yang sepertinya bukan berasal dari dirinya. Amarah yang teramat sangat yang entah ditujukan oleh siapa.

“Aku tahu!” bentak Draco, lalu menyentakkan tangannya sendiri dari cengkeraman Harry, kemudian memandang Harry tajam. Mereka memandang satu sama lain, sampai akhirnya Draco menghela napasnya. “Aku tahu,” ulangnya dengan nada yang lebih tenang. “Aku cuma tidak mau mendengarnya.”

Harry masih diselimuti oleh amarah dan walau dia tahu perasaan amarah ini bukan berasal dari dirinya dan mungkin adalah amarah Voldemort yang dia rasakan, dalam kepanikannya, Harry membiarkan amarah itu bertumbuh. “Tidak mendengarkannya tidak akan mengubah kenyataan yang sebenarnya,” ujarnya.

Kata-katanya sedikit kasar, membuat Draco berjengit. Namun Harry tidak bisa menahannya. Jika Draco berada di posisinya sekarang, memangnya apa yang terjadi nanti kalau kenyataannya sudah terbongkar? “Draco, yang terjadi sekarang ini—”

“Jangan berani-beraninya bicara padaku soal apa yang terjadi,” potong Draco dengan dingin. “Aku sepenuhnya tahu, oke? Aku tahu apa yang terjadi, dan apa yang akan terjadi. Aku tahu! Aku cuma—” Draco lalu mengerang frustrasi, seperti menyerah dengan keadaan.

“Dia itu Ayahku, Harry,” ujarnya, dengan suara bergetar, membuat amarah Harry sedikit mereda. “Kamu tidak bisa menyuruhku duduk dan mendengarkan sesuatu yang bisa menghancurkannya, di saat aku tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkannya. Kamu tidak bisa menyuruhku melakukan itu!”

Harry hanya memandangnya, menahan dirinya untuk tidak menyuarakan kedua kalimat yang berlomba-lomba ingin diutarakannya. Yang pertama, ‘Ayahmu itu jahat, kenapa kamu belum juga paham?’ dan yang kedua, ‘Aku tidak akan melakukan wawancara itu, jadi berhentilah terlihat seperti akan menangis’.

Yang terakhir benar-benar tidak bisa Harry utarakan karena dia tahu, dia harus melakukan wawancara itu. Namun saat dia memandang Draco yang kini tengah bergetar akibat dinginnya hujan dan juga karena perasaannya, Harry sadar bahwa apapun jawabannya, tidak akan ada jawaban yang benar.

✓ The Owlery #2 (INA Trans)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang