SECOND - BERHARGA

652 26 1
                                    

Jakarta, 2012.

            Nayya meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri dengan erat. Nafasnya sesak, karena itu kali pertama dalam hidupnya, kali pertama Nayya merasa sangat kehilangan. Bagi anak kecil berumur enam tahun, tentu itu adalah permasalahan yang sangat berat.

            Dia rindu pelukan Mama yang selalu menenangkannya.

            Dia rindu lelucon Papa sebagai pengantar tidurnya.

            Dia rindu Pak Ongah yang selalu mengantarkan susu segar setiap hari.

            Dia rindu segala sesuatu yang terjadi sebelum kepindahannya ke sini. Jadi, hari itu Nayya menangis dalam kesendiriannya selama berjam-jam.

            Sampai sebuah benda mendarat di puncak kepalanya, tangisan Nayya berhenti saat itu juga. Nayya menaikkan kepalanya, mengusap air mata begitupun ingus lalu mengambil pesawat kertas itu. Pesawat kertas yang dilipat asal seperti tidak ada perhitungan sama sekali dalam membuatnya.

            "Sssst," Nayya mencari suara itu, hingga pupil matanya menangkap lelaki sebaya dengannya tengah duduk di atas pohon mangga. Lelaki itu menatapnya sambil tersenyum dan mengisyaratkan untuknya membuka pesawat kertas, Nayya dengan cepat menurutinya. Ada tulisan khas anak kecil, yang tertulis di sana. Walau belum masuk sekolah, Nayya tetap bisa membacanya.

            Jangan nangis!!!

            Samar, Nayya tersenyum. Merasakan perasaan hangat menjalar di dalam aliran darahnhya. Lelaki itu turun lalu mendekatinya.

            "Tuh, kan, Nayya cantik kalau lagi senyum." Ucap lelaki itu menggoda, bukan menggoda seperti yang sering dilakukan orang dewasa, tapi lebih kepada menggoda agar dia tidak menangis lagi.

            "Kamu tahu nama Nayya?" lelaki itu mengangguk, dia lalu mengulurkan tangannya kepada Nayya.

            "Nama aku Nadir, anak panti juga." Ujarnya. Ia duduk di sebelah Nayya, menatap nya dalam. "Ibu Ayu punya buku kumpalan nama bayi, nama Ainayya ada disitu, artinya mata yang indah. Jika Nadir perhatikan, mata Nayya memang indah jadi jangan menangis lagi biar keindahannya gak hilang!"

            Nayya tersenyum mendengarnya, "Kalau nama Nadir artinya apa?"

            "Berharga, bagus, ya?"

            Nayya mengangguk sambil tersenyum. Mata sembab dan merahnya selepas menangis itu menyipit. "Nayya kenapa nangis?" Nadir menatapnya bingung. Karena jujur selama dia hidup tidak pernah ada dalam hidupnya kata menangis.

            "Nayya kangen Mama sama Papa."

            "Emang Mama dan Papa Nayya di mana?"

            Perempuan itu diam sejenak, mencoba menguatkan hatinya untuk bercerita. "Mereka meninggal."

            Hanya dua potong kata yang diucapkan Nayya, namun Nadir sudah terlanjur bersalah telah bertanya seperti itu.

            "Maaf, Nay!"

            "Enggak pa-pa, wajar kalau Nadir bertanya. Kalau Nadir sendiri gak kangen sama Papa dan Mama?"

Nadir menggeleng pelan, "Nadir gak punya Papa dan Mama, sejak kecil Nadir sudah diasuh oleh Bu Ayu."

"Jadi, Nadir gak pernah lihat wajah mereka?"

Nadir tidak menjawab hanya menganggukkan kepala. Ia memang tidak menangis, tapi dari raut wajahnya Nayya dapat sekali tebak bahwa sebenernya lelaki itu juga menyimpan kesedihan sama sepertinya. Bedanya, Nayya bisa sedikit lebih beruntung karena dapat melihat wajah kedua orang tuanya sebelum mereka pergi.

UNDERCOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang