"Bagaimana kalau Nadir gak ada?"
Nayya tak bergeming, matanya memerah dengan spontan. "Nadir mau pergi?" tanyanya dengan suara sendu.
"Nadir cuma bertanya, bagaimana kalau Nadir gak ada? Nayya akan kesepian karena gak punya teman selain Nadir."
Pere...
Nayya dan Nadir turun dari kereta saat sampai di pemberhentian terakhir Stasiun Jakarta Kota. Kira-kira perjalanan mereka tadi memakan waktu sekitar dua puluh menit, kalau Nayya tidak salah menghitung. Mereka berjalan keluar dari stasiun dan langsung menyebrang.
"Sampai." Ucap Nadir.
Nayya melihat sekelilingnya, terdapat bangunan-bangunan tidak asing yang pernah Nayya lihat dalam buku. "Kota Tua?" tanya Nayya memastikan.
"Iya, salah satu tempat yang harus diperkenalkan pertama kali untuk orang yang gak kenal kota Jakarta, ya, ini." Ucap Nadir.
Mereka berjalan beriringan memasuki kawasan Kota Tua yang pada sore itu padat pengunjung. Angin sepai-sepoi mengiringi perjalanan mereka di sepanjang jalan dengan bangunan bernuansa eropa yang kental di samping kanan-kirinya.
Nadir menarik tangan Nayya menuju orang-orang yang berdandan layaknya tantara belanda.
"Ayo foto, Nay." Ucap Nadir yang mau tidak mau dituruti Nayya.
Nayya berdiri kikuk mendekat, lalu membuat senyum yang dipaksakan. Nadir mengintip di balik kameranya, lantas tertawa melihat gaya kaku Nayya.
Merasa ditertawakan, Nayya merengut kesal sambil memukul lengan lelaki itu, "Jangan diketawain,"
Mereka melanjutkan perjalanan mengunjungi beberapa museum iconic di Kota Tua seperti Museum 3D, Museum Bank Indonesia, dan terakhir Museum Fatahillah. Sayangnya tidak semua tempat bisa mereka explore pada sore ini, karena langit perlahan-lahan menggelap.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mereka keluar dari Museum Fatahillah melalui pintu belakang Museum, lantas pandangan mereka tertuju pada Penjara Bawah Tanah yang berukuran sangat kecil. Hawa mencekam langsung terasa saat mereka mendekat, tidak masuk hanya berdiri dari luar.
Penjara yang digunakan sebagai tempat penampungan para tahanan yang membangkang terhadap pemerintahan Belanda, konon katanya penjara ini bisa menampung 20-50 orang. Nayya jadi merinding sendiri membayangkan seberapa menyiksanya penjara itu.
"Kamu lihat cannon ball itu?" tunjuk Nadir pada tumbukan bola-bola pada sudut ruangan yang gelap dan pengap.
"itu digunain untuk merantai kaki para tahanan. Sebenarnya banyak kisah-kisah penyiksaan yang dialami rakyat Indonesia waktu itu, yang sedih rasanya kalau diingat. Untungnya itu semua cuma masa lalu kelam dan Indonesia sudah merdeka." Lanjut Nadir menjelaskan.
Nayya mengangguk setuju.
Setelah lama berkeliling, mereka kemudian tertarik mencoba kuliner Jakarta yang letaknya tidak jauh dari Penjara Bawah Tanah. Mereka duduk di dekat pohon rindang sambil menikmati kerak telor.
"Kamu tau, gak, kalau kerak tolar yang kita nikmatin sekarang adalah hasil percobaan?"
Sebagai salah satu orang yang selama hidupnya, memakan kerak telor bisa dihitung jari, Nayya tentu menggeleng, "Iya, kerak telor itu tercipta dari hasil percobaan sekelompok masyarakat Betawi karena dulu buah kelapa itu berlimpah akhirnya mereka coba mengolah berbagai makanan, salah satunya ini."