Nadir tidak pernah membenci semua yang terjadi dalam hidupnya.
Untuk semua garis takdir yang telah Tuhan beri untuknya, tidak ada satu kalipun dia pernah mempertanyakan mengapa itu diberikan kepadanya. Seperti, misalnya kenapa dia lahir di dunia ini tanpa memiliki sayap pelindung yang bisa dipanggilnya Ayah dan Ibu. Walau Nadir pernah berada pada titik dimana dia ingin sekali bisa merasakan kasih sayang orang tua yang lengkap, namun Nadir tidak pernah membenci keadaannya.
Menurutnya, pasti ada maksud tersendiri mengapa Tuhan memilihnya dari jutaan manusia di bumi ini. Mungkin Tuhan ingin menjadikannya kuat, melatih mentalnya sejak dini sehingga dia tidak perlu takut akan apapun.
Dia selalu ingin bisa memahami maksud baik itu.
Namun, kali ini dia gagal.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Nadir membenci takdir. Nadir benci keputusannya delapan tahun lalu yang memilih pergi meninggalkan Nayya.
Nadir ingat-ingat lagi apakah perasaan memiliki orangtua bisa sebanding dengan kehadiran Nayya dalam hidupnya.
Dia memejamkan matanya perih, karena sungguh rasanya ternyata jauh lebih sakit mengetahui Nayya membencinya daripada saat pertama kali Nadir sadar dia lahir tanpa orang tua di sisinya.
Nadir jatuh tersungkur dibalik pintu kamarnya, dengan tangan bergetar dia lepaskan kalung yang selama ini bersembunyi, dibalik kemeja army nya, lalu menggenggam nya erat.
Wajahnya sudah bersimbah air mata saat mengingat apa saja efek yang ditimbulkan dari kepergiannya pada hidup sahabatnya itu. Menyatukan puzzle yang menghantui pikirannya selama ini tentang Nayya lantas menggenggam kalung itu semakin erat saat Nadir sadar bahwa dia penyebab hancurnya hidup Nayya.
Nayya yang pendiam, karenanya.
Nayya yang tidak pernah berbaur dan memiliki teman, dia penyebabnya.
Nayya yang kehilangan semangat hidupnya, juga karena dirinya.
Nadir menarik nafasnya yang tak beraturan karena dadanya terasa sangat sakit. Memukul-mukul dadanya dengan kencang, namun tidak ada perubahan sama sekali.
Nadir tidak sanggup menahan ini, dipukulnya pintu berbahan kayu dikamarnya sampai menimbulkan suara yang nyaring. Memukulnya berkali-kali, sebanyak mungkin yang Nadir bisa untuk mengalihkan rasa sakit di dadanya lantas berteriak karena semua usahanya sia-sia.
Rasa sakit itu tidak kunjung hilang. Justru semakin ngilu seiring dengan air matanya yang mengalir deras.
"Nad...Nad...," suara gedoran pintu tidak membuat Nadir bangkit dari keterpurukannya. Dia semakin jatuh tersungkur.
"Nad, buka pintunya! Lo kenapa?" teriak seseorang dari luar kamarnya.
Nadir tetap diam, karena tubuhnya terlalu lemas untuk membuka pintu itu. Jadi, yang dilakukan Nadir adalah memejamkan matanya berharap rasa sakit ini bisa berkurang dan dirinya bisa bernafas sedikit lebih lega.
***
Hal pertama yang dilihat Nadir saat membuka pintu adalah keberadaan Powl yang berjongkok nyaris tertidur di depan kamarnya.
Sudah tiga jam berlalu dari semenjak lelaki itu menggedor kamarnya.
Powl membeku beberapa detik melihat betapa kacaunya Nadir sekarang lantas memekik melihat keadaan tangan Nadir yang berdarah. Powl tidak pernah menduga bahwa keadaannya akan semengerikan ini saat mendapatkan telpon dari Mbak Nunung, pembantunya Nadir. Dia hanya diberitahu bahwa terdengar bunyi kencang dari kamar Nadir. Hal itu adalah alasan yang dipakainya untuk berlari kencang dari rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Nadir.
![](https://img.wattpad.com/cover/352480714-288-k991043.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDERCOVER
Teen Fiction"Bagaimana kalau Nadir gak ada?" Nayya tak bergeming, matanya memerah dengan spontan. "Nadir mau pergi?" tanyanya dengan suara sendu. "Nadir cuma bertanya, bagaimana kalau Nadir gak ada? Nayya akan kesepian karena gak punya teman selain Nadir." Pere...